Sep 21, 2020 18:35 Asia/Jakarta
  • Pemilik toko pakaian di Tehran menyimak pidato Rahbar yang disiarkan televisi, Senin (21/9/2020).
    Pemilik toko pakaian di Tehran menyimak pidato Rahbar yang disiarkan televisi, Senin (21/9/2020).

Tanggal 31 Shahrivar 1359 Hs, yang bertepatan dengan 22 September 1980 merupakan momentum penting dalam sejarah Iran. Pasalnya, tanggal tersebut merupakan awal dimulainya Perang Pertahanan Suci (perang yang dipaksakan rezim Baath Irak terhadap Iran selama delapan tahun).

Perang ini merupakan yang terpanjang dalam sejarah perang klasik di abad ke-20, dan perang terlama setelah perang Vietnam. Setelah delapan tahun berlalu, perang yang menelan korban jiwa dan kerugian material yang besar ini, berakhir pada bulan Mordad 1367 Hs, yang bertepatan dengan Agustus 1988.

Menandai Pekan Pertahanan Suci ke-40, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyampaikan pidato melalui konferensi video dan juga disiarkan langsung oleh televisi nasional Republik Islam Iran pada Senin pagi, 21 September 2020.

Ayatullah Khamenei mengatakan, pada era perang Pertahanan Suci, lawan asli Iran bukan Saddam Hussein atau Partai Baath, tapi negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat, yang memberikan pukulan telak terhadap Revolusi Islam.

"Tujuan negara-negara penyulut perang adalah meruntuhkan Revolusi Islam  Iran, dan mereka menggulingkan Saddam Hussein dengan memanfaatkan ambisinya," ujarnya.

Rahbar menambahkan, bukti-bukti yang ditunjukkan kemudian, membuktikan bahwa sebelum perang, Saddam Hussein mencapai kesepakatan dengan Amerika, jika Irak memerangi Iran, sejumlah kapal kargo akan bersandar di pelabuhan Uni Emirat Arab, dan mengangkut peralatan tempur untuk Saddam Hussein.

Menurutnya, Pertahanan Suci adalah identitas nasional kami, dan merupakan salah satu langkah paling rasional yang dilakukan rakyat Iran. Penghormatan atas para pejuang merupakan kewajiban nasional.

Ayatullah Khamenei menjelaskan, veteran dan pejuang, yang hari ini adalah hari penghormatan untuk mereka, merupakan orang-orang yang mengorbankan jiwa, dan ketenangan hidup diri, keluarga, ayah serta ibunya, dan dalam beberapa kasus, menutup mata atas masa depan, dan menggunakan semua kekayaannya untuk melawan musuh, karena mereka menyadari harus melawan musuh demi melindungi perbatasan dan Islam.

"Para pejuang Islam telah membela kemuliaan nasional, dan kehormatan, sebagian dari mereka gugur, dan sebagian lainnya masih hidup untuk menyelesaikan tugas," pungkasnya.

Pada masa itu, rezim Saddam dengan penuh percaya diri melancarkan agresi militer ke Iran dengan dukungan penuh kekuatan adidaya dunia, dan negara-negara Arab. Betapa tidak, rezim Baath Irak menyerang Iran dengan dukungan 12 batalyon infanteri, 15 batalyon bersenjata, 4.500 tank dan kendaraan angkut militer, 360 unit jet tempur dan 400 helikopter dan berbagai jenis peralatan militer lain yang tercanggih waktu itu.

Rezim Saddam Irak menyerang Iran dengan alasan di permukaan terkait friksi perbatasan.Tapi, masalah sebenarnya bukan itu. Ambisi Saddam menjadikan Irak sebagai negara terkuat dan terbesar di kawasan Asia Barat dengan segala cara menjadi perhatian kekuatan adidaya seperti Amerika Serikat, yang memiliki permusuhan terhadap Iran. Watak ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Washington untuk mewujudkan kepentingannya di kawasan.

Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran, AS senantiasa mencari cara untuk melemahkan negara itu. Sebab, Iran dipandang sebagai ancaman bagi hegemoni AS di dunia, terutama di Asia Barat. Zbigniew Kazimierz Brzezinski, penasehat keamanan presiden AS Jimmy Carter dalam salah satu tulisannya mengatakan, saking pentingnya posisi strategis Iran bagi Barat, AS dengan jalan apapun, bahkan aksi militer harus mencegah Iran tidak lepas.

Hal itu disampaikan Brzezinski sebagai reaksi atas kemenangan Revolusi Islam dan berdirinya Republik Islam Iran menggantikan rezim monarki Pahlevi yang selama ini didukung Gedung Putih.

Tumbangnya rezim Shah di Iran yang digantikan dengan berdirinya Republik Islam Iran dilihat oleh rezim Saddam sebagai peluang untuk menjadikan Irak sebagai kekuatan terbesar di kawasan. Aksi serupa saat ini djalankan oleh Arab Saudi yang juga didukung oleh AS. Riyadh juga memanfaatkan jatuhnya rezim monarki di Iran untuk mewujudkan ambisinya sebagai kekuatan berpengaruh di kawasan dengan dukungan penuh Washington.

Dengan lampu hijau AS dan dukungan negara-negara Barat dan Arab, rezim Saddam sesumbar bisa menguasai Iran dalam waktu yang relatif singkat. Revolusi Islam yang baru seumur jagung dilihat Irak sebagai kekuatan lemah yang bisa dilumpuhkan dalam hitungan hari. Pasalnya, pasokan persenjataan canggih oleh negara-negara Barat bersama dukungan politiknya terhadap rezim Baath dan sokongan finansial negara-negara Arab menjadikan rezim Saddam semakin besar kepala untuk menjadi penguasa kawasan.

Selain itu, rezim Saddam mengira serangan tersebut akan mendorong munculnya pemberontakan bangsa-bangsa Arab di wilayah selatan Iran dan etnis di Sistan dan Baluchistan, serta Kurdistan di dalam negeri Iran. Sehingga  dalam waktu singkat Republik Islam Iran akan terguling. Tapi fakta sejarah tidak mendukung mimpi Saddam tersebut. Republik Islam Iran berdiri tegak hingga kini, bahkan kian hari semakin tegar berkibar. Sebaliknya, Saddam sendiri harus mati secara mengenaskan, dan negaranya menjadi sasaran agresi militer AS.

Agresi militer Irak terhadap Iran tidak hanya didukung oleh AS. Bahkan Washington mengajak negara-negara sekutunya untuk mendukung rezim Saddam menghancurkan Republik Islam Iran dengan mengirimkan pasukannya di Teluk Persia. Akhirnya, dalam waktu kurang dari tiga pekan, kapal perang Prancis, Inggris, Australia dan Kanada sudah berada di samudera India dan memasuki kawasan Asia Barat dengan jumlah kapal perang mencapai 60 buah. Semua kekuatan tersebut untuk mendukung rezim Saddam menyerang Iran.

Irak menandatangani kontrak pembelian senjata dengan Inggris senilai satu miliar dolar. Selain itu, Irak membeli jet tempur super Etendard dari Prancis yang mulai dipergunakan dalam operasi udara 1984 terhadap instalasi minyak Iran. Atas prakarsa AS, pada akhir tahun 1981, negara-negara Arab menggelontorkan bantuan finansial bagi Irak untuk membiayai perang tersebut. Kuwait menggelontorkan dana senilai tujuh miliar dolar, Arab Saudi tiga miliar dolar, Uni Emirat Arab satu miliar dolar, dan Qatar 500 juta dolar. Dengan demikian, lengkaplah sudah posisi Irak yang didukung barat dan Arab menghadapi Republik Islam Iran seorang diri.

Para analis politik menilai fenomena tersebut terulang kembali saat ini ketika Gedung Putih mengusulkan penjualan senjata dan alutsista serta pelatihan militer kepada Arab Saudi senilai 115 miliar dolar. Angka tersebut merupakan usulan terbesar sepanjang hubungan 71 tahun Riyadh dan Washington.

Di arena internasional, AS juga berperan mengintervensi Dewan Keamanan PBB demi mendukung rezim Saddam dalam perang dengan Iran. Sepanjang delapan tahun perang pertahanan suci yang dipaksakan Baghdad terhadap Tehran, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan delapan resolusi yang berkaitan dengan "Kondisi antara Iran dan Irak", dan empat statemen mengenai penggunaan senjata kimia.

Selanjutnya setelah tujuh tahun perang berkecamuk, PBB meminta dibentuknya sebuah delegasi netral untuk menyelidiki siapa yang memulai agresi militer. Tindakan tersebut seharusnya dilakukan di awal meletusnya perang. Tapi kekuatan adidaya menghalanginya. Sebab merekalah sebenarnya yang menyulut perang dengan menggunakan rezim Saddam sebagai boneka.

Perang Pertahanan Suci hingga kini menjadi bagian penting dalam lembaran sejarah dan masa depan Iran. Sebab, peristiwa tersebut memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat Iran. Ketika rezim Baath Irak menyerang Iran hampir tidak ada analis politik yang memprediksi kemenangan Iran dalam perang tersebut. Bahkan, Saddam sesumbar dalam waktu sepekan bisa menguasai Tehran.

Di belakang rezim Saddam Irak, AS yang dibantu negara-negara Barat dan Arab mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan Iran. Tidak hanya itu, AS juga menggunakan pengaruhnya di PBB sebagai anggota tetap dewan keamanan demi mendukung rezim Saddam dalam perang dengan Iran. Dampaknya, PBB cenderung berpihak terhadap Irak, terutama di awal-awal perang meletus.

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 479 sangat jelas menunjukkan tidak netralnya organisasi internasional ini yang memihak rezim Saddam selaku agresor. Tanpa menyinggung siapa yang memulai agresi, resolusi tersebut menyerukan supaya kedua pihak yang berkonflik menghindari pengerahan kekuatan, dan mencari solusi melalui cara-cara damai berdasarkan prinsip keadilan dan hukum internasional.

Setelah mengeluarkan Resolusi No.479 yang hanya formalitas semata, Dewan Keamanan PBB selama 21 bulan hanya bungkam menyikapi berlanjutnya agresi militer rezim Saddam yang didukung negara-negara Barat dan Arab. Tapi, ketika pelabuhan strategis Khoramshahr berhasil direbut oleh para pejuang Iran dari tangan rezim Baath Irak, pada Juli 1982, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi No.514 yang menyerukan gencatan senjata, dan meminta kedua pihak untuk menarik pasukannya dari perbatasan internasional. (RA)

Tags