Feb 24, 2024 21:39 Asia/Jakarta
  • PM Malaysia Anwar Ibrahim
    PM Malaysia Anwar Ibrahim

Mata uang Malaysia ringgit, jatuh ke level terendah terhadap mata uang Amerika Serikat (AS) dolar. Bahkan jatuh terdalam selama 26 tahun, sejak krisis keuangan Asia di akhir 1990-an.

Selama satu tahun ini, ringgit mengalami penurunan 4%. Ekspor yang buruk dan kenaikan suku bunga AS menjadi penyebab.
 
Hal ini kini menimbulkan kekhawatiran di Malaysia mengenai kinerja perekonomian negara tersebut dan dampaknya bagi masyarakat. Ancaman juga muncul ke pemerintahan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim yang kini mendapat kritik keras dari oposisi, yang mengklaim kabinetnya gagal mengelola perekonomian negara.
 
"Ketegangan politik nyata," kata pakar politik James Chin dari Universitas Tasmania, dikutip Channel News Asia (CNA), Jumat (23/2/2024).
 
"Apabila mencapai RM5 per US$1 ... banyak orang akan kehilangan kepercayaan tidak hanya pada pemerintahan Anwar tetapi juga pada kemampuannya menangani perekonomian," katanya merujuk nilai ringgit sekarang R,4,79 per US$1.
 
Dikatakannya kejatuhan ringgit bisa membuat buruknya kualitas hidup warga. Ini memang berbahaya bagi kepemimpinan Anwar Ibrahim.
 
"Malaysia adalah negara dagang sehingga segala sesuatu yang diimpor secara otomatis akan jauh lebih mahal," katanya.
 
"Biaya hidup di Malaysia sangat tinggi (dan) upah tetap stagnan. (Bagi) kelas pekerja dan kelas bawah, (kenaikan biaya) akan sangat berdampak pada taraf hidup mereka. Dan tentu saja hal itu akan menyebabkan ketidakbahagiaan politik," jelasnya.
 
Ia menyebut Anwar harus segera mengambil tindakan. Bila tidak ini akan berbahaya secara politik.
 
"Jika Anwar tidak memperbaiki perekonomiannya, maka dia hanya akan membuat dirinya terpuruk karena akan ada dorongan besar untuk menggantikannya," ujarnya.
 
Hal sama juga dikatakan peneliti senior di Singapore Institute of International Affairs Oh Ei Su. Ini, ujarnya, bisa mengikis dukungan ke Anwar Ibrahim.
 
"Tingginya harga barang impor- terutama produk makanan- yang disebabkan oleh jatuhnya ringgit akan menambah tidak terjangkaunya kebutuhan sehari-hari masyarakat Malaysia," kutip CNA memuatnya.
 
Meski begitu beberapa pengamat lain, tak meyakini itu. Peneliti senior di Institut Penelitian Ekonomi Malaysia (MIER), Shankaran Nambiar mengatakan kepada CNA bahwa ketidakstabilan politik akibat jatuhnya ringgit tidak mungkin terjadi.
 
"Ada stabilitas politik yang belum pernah ada sebelumnya dan Anwar Ibrahim tampaknya tidak dapat diganggu gugat di parlemen, sehingga tidak ada pertanyaan tentang ketidakstabilan politik," katanya.
 
Apalagi, katanya, Anwar saat ini memegang mayoritas super di parlemen. Hal ini terjadi setelah beberapa Anggota Parlemen oposisi dari Parti Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu) menyatakan dukungannya terhadap pemerintah persatuan di bawah kepemimpinannya.
 
"Reformasi ekonomi telah dilakukan oleh pemerintahan Anwar dan upaya- seperti pembangunan infrastruktur dan langkah-langkah fiskal- akan membuahkan hasil dalam beberapa bulan mendatang," tambahnya.
 
Di antara proyek-proyek infrastruktur besar yang sedang berjalan termasuk East Coast Rail Link (ECRL), untuk menghubungkan negara bagian Kelantan di bagian timur dan negara bagian Selangor di bagian barat. Ini termasuk pula Link Johor Bahru-Singapore Rapid Transit System (RTS), sebuah jalur kereta api lintas batas negara untuk meningkatkan konektivitas antara Malaysia dan Singapura.
 
Mengutip Business Times, Gubernur Bank Negara Abdul Rasheed Ghaffour meyakini pendirian bank sentralnya bahwa pertumbuhan ekonomi Malaysia tetap tangguh meski ringgit kini terpuruk. Ini didukung oleh peningkatan permintaan eksternal dan belanja domestik yang kuat.
 
Pernyataan itu dikeluarkan hanya beberapa jam setelah Anwar Ibrahim didesak oleh media lokal untuk mengomentari kondisi mata uang yang buruk. Anwar, yang juga Menteri Keuangan, secara terbuka meminta Bank Negara menjelaskan tren penurunan ringgit. (CNBC Indonesia)