Begini Cara Washington Post Justifikasi Keberadaan Pasukan AS di Jepang
Brian P.Walsh dalam tulisannya di situs Washington Post memandang cara narasi kehadiran tentara Amerika di Jepang selama Perang Dunia tidak sesuai dengan citra Amerika dan percaya bahwa narasinya bisa diragukan.
Tehran, Parstoday- Walsh dalam tulisnanya berjudul,"Bagaimana pencemaran nama baik yang brutal terhadap tentara Amerika masuk dalam buku sejarah?" dengan menyajikan gambaran logis dari Shigeru Yoshida, Perdana Menteri Jepang, yang membuka jalan bagi kehadiran pasukan penjajah Amerika. Dalam narasi ini, kerja sama dengan pasukan pendudukan dan menawarkan tanah air kepada mereka dijadikan hal yang rasional.
Patut dicatat bahwa tulisan ini tidak menyebutkan pemboman atom di Jepang oleh Amerika Serikat. Hanya satu negara yang pernah menggunakan bom atom dalam perang, dan Ini terjadi dua kali. Menariknya, artikel Washington Post menyebutkan kebencian dan bias opini publik terhadap Amerika Serikat dalam isu perang Jepang, namun tidak menyebutkan sejarah pemboman warga sipil yang paling aneh dan paling mematikan.
Dalam catatan ini, buku-buku sejarah yang menceritakan kejahatan penjajah Amerika telah ditafsirkan sebagai teks yang ceroboh, bias, dan sepenuhnya salah. Dalam kelanjutan tulisan tersebut, pemerkosaan terhadap perempuan Jepang di provinsi Kanagawa oleh pasukan Amerika dalam 10 hari pertama pendudukan telah diragukan, dan telah ditolak tanpa memberikan dokumen sejarah statistik 1.366 pemerkosaan terhadap perempuan Jepang oleh pasukan AS. Artikel Washington Post ini hanya menerima dan mengakui statistik 1100 pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan sekutu (baik pasukan Amerika maupun negara sekutu lainnya) selama enam tahun pendudukan.
Di bagian lain artikel ini, penulis mencoba meremehkan tingginya angka penyakit menular seksual di kalangan tentara Amerika. Walsh frustrasi dengan suasana anti-Amerika dalam buku-buku dan sumber akademis mengenai pendudukan Jepang dengan menulis, "Politisasi sejarah akademis di pendidikan tinggi Amerika begitu kuat, sehingga bahkan sejarawan yang relatif netral pun tidak dapat terpengaruh oleh bias anti-Amerika yang lazim di negara tersebut,".
Melanjutkan catatannya, penulis menuduh para peneliti sejarah memiliki bias, dengan mengatakan, "Bias yang ada saat ini percaya bahwa Amerika Serikat dan khususnya militernya adalah kekuatan yang menindas, oleh karena itu tidak mampu membawa perubahan positif apa pun di dunia."
Salah satu pihak yang dituduh bias oleh penulis catatan ini adalah Mr. John W. Dower, yang pada tahun 2019 menyebut hubungan antara Amerika dan Jepang bersifat ofensif. Dia dalam sebuah wawancara mengatakan,"Kami menentang kelanjutan perjanjian keamanan AS-Jepang, yang telah membahayakan kemerdekaan Jepang dengan mengubah Jepang menjadi benteng kekaisaran Amerika dan memaksanya untuk mengambil posisi bermusuhan dengan Cina."
Kritik terhadap perilaku kuasi-kolonial Amerika dengan Jepang membuat penulis situs Washington Post, seorang profesor di Universitas Massachusetts dan peneliti hubungan Amerika-Jepang, menyebutnya sebagai seorang fanatik.
Secara umum, prosedur aneh ini terlihat karena kurangnya kerja media Jepang dan profesor sejarah, ilmu sosial, dan lainnya serta keengganan pemerintah Jepang yang patuh untuk mempertahankan narasi dan kenangan sejarah orang Jepang yang tertindas. Beberapa media arus utama Amerika perlahan-lahan berusaha memutarbalikkan sejarah dan membenarkan kejahatan mereka terhadap negara ini.
Banyak kritikus yang berpendapat bahwa Jepang dengan kekurangannya di bidang narasi dan perang media menyebabkan posisi algojo seperti Amerika tergantikan oleh dirinya sendiri yang menjadi korban dan menerima narasi bahwa Jepang bersalah terhadap penggunaan bom atom oleh Amerika Serikat, dan sebagai akibat dari perbincangan tentang melupakan kebrutalan Amerika yang sangat besar ini.(PH)