Mengapa Doha Menjadi Tempat Dimulainya Babak Baru Perundingan Nuklir ?
Dalam memilih tempat negosiasi biasanya harus memenuhi setidaknya tiga faktor. Pertama, posisi dan kebutuhan negara tuan rumah. Kedua, sikap dari pihak-pihak yang bernegosiasi. Dan ketiga, kondisi yang menentukan negosiasi.
Adapun tuan rumah, Qatar memiliki motivasi yang kuat agar perundingan ini mencapai hasil. Negara ini telah menghabiskan lebih dari $200 miliar untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia beberapa tahun yang lalu, dan sekarang hanya tinggal beberapa bulan lagi untuk menjadi tuan rumah pertandingan bergengsi ini.
Kondisi yang aman dan stabil sangat penting dan vital untuk mengadakan pertandingan ini. Piala Dunia bagi Doha telah menjadi masalah hidup dan mati.
Alternatif untuk kegagalan pembicaraan nuklir ini secara maksimal dapat berupa perang dan minimalnya adalah eskalasi ketidakstabilan dan ketidakamanan di kawasan. Dua pilihan ini tidak ada yang menguntungkan Qatar, meskipun saingan dan lawan Qatar, mulai dari rezim Zionis Israel hingga Arab Saudi, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA), mungkin menyambut situasi seperti itu.
Mereka akan bersukacita karena Qatar telah gagal memenuhi harapannya menyelenggarakan Piala Dunia yang sukses.
Faktor kedua dalam menentukan tuan rumah adalah konsistensi kebutuhan dan sikap-sikap para pihak yang bernegosiasi.
Untuk putaran negosiasi ini, tidak seperti putaran sebelumnya di mana perwakilan dari empat negara anggota tetap Dewan Keamanan dan Jerman hadir, ada tiga pihak yang dapat diprediksi hadir dalam negosiasi. Pertama, Iran, kedua, Uni Eropa, dan ketiga, Amerika Serikat, yang secara tidak langsung akan hadir dalam perundingan Doha.
Bagi Iran, Qatar tepat menjadi tuan rumah negosiasi karena beberapa hal.
Pertama, Qatar adalah tetangga Iran. Qatar dipilih menjadi tuan rumah dimulainya kembali pembicaraan nuklir Iran sejalan dengan pendekatan pemerintahan Raisi yang memprioritaskan negara-negara tetangganya dalam hubungan luar negeri. Selain itu, memprioritaskan negara tetangga dalam negosiasi ini juga sudah pernah dilakukan Iran.
Dalam memilih tempat negosiasi biasanya harus memenuhi setidaknya tiga faktor. Pertama, posisi dan kebutuhan negara tuan rumah. Kedua, sikap dari pihak-pihak yang bernegosiasi. Dan ketiga, kondisi yang menentukan negosiasi.
Kedua, Qatar telah membuktikan persahabatannya dengan Iran di masa lalu. Iran telah menunjukkan telah berada di sisi negara ini dalam situasi kritis, termasuk pengepungan negara ini oleh Arab Saudi dan sekutunya. Iran membantu rakyat dan pemerintah negara ini dengan kemampuan terbaiknya di masa blokade.
Saat ini, Tehran tidak ragu-ragu dan telah melakukan segala upaya bagi penyelenggaraan pertandingan Piala Dunia yang sukses di Qatar dan bahkan telah mengumumkan kesiapan penuhnya untuk menjadi tuan rumah dan menerima para tamu dan penonton Piala Dunia.
Sementara bagi Eropa, Qatar dipandang sebagai mediator dalam negosiasi sebagai negara yang dapat memenuhi kebutuhan gas benua tersebut karena kemungkinan pengurangan dan pemotongan ekspor Rusia. Baru-baru ini, dua perusahaan Eropa, Total Prancis dan Eni Italia telah menandatangani kontrak dengan Qatar sebesar $28 miliar untuk meningkatkan produksi gasnya.
Dan mengingat bahwa Qatar tidak memiliki sumber lain selain cekungan gas bersama dengan Iran, implementasi perjanjian ini dapat berhasil jika kepentingan Iran diperhitungkan.
Adapun Amerika Serikat, meskipun tidak akan terlibat langsung dalam pembicaraan seperti sebelumnya, tetapi Partai Demokrat yang berkuasa telah menjalin hubungan yang lebih baik dengan Qatar selama beberapa dekade terakhir, seperti halnya saingan Partai Republik yang dekat dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Mengingat pengalaman ini, tentu saja, Partai Demokrat dan pemerintah Biden juga melihat Qatar sebagai opsi yang layak untuk melanjutkan putaran baru negosiasi.
Mengenai faktor ketiga, yaitu kondisi internasional yang menentukan negosiasi, harus dikatakan bahwa setelah perang Ukraina, pihak-pihak yang berpartisipasi dalam pembicaraan nuklir praktis berada pada dua kubu. Pihak Barat telah berhadap-hadapan dengan Rusia. Sementara Cina dalam perimbangan internasional baru berada di sisi Rusia.
Mengingat situasi internasional yang berubah akibat perang Ukraina, sudah barang tentu bila perundingan dimulai dalam kerangka sebelumnya, negosiasi ini tidak akan mencapai hasil yang diinginkan. Namun dalam situasi saati ini, tampaknya peluang keberhasilan negosiasi lebih besar dengan menjauhi polarisasi yang berasal dari perang Ukraina.(sl)