Tantangan Israel dan AS untuk Melanjutkan Perang di Gaza
Di hari ke-79 agresi Israel ke Gaza, korban jiwa dari tentara pendudukan dalam pertempuran darat dan serangan besar-besaran serta pemboman di berbagai wilayah Gaza oleh Zionis terus berlanjut.
Media-media Palestina melaporkan, terjadi bentrokan sengit antara muqawama Palestina dan pasukan rezim Zionis di Jabalia al-Balad, utara Jalur Gaza.
Lebih dari satu bulan tentara Zionis di sela-sela pemboman tanpa henti baik dari udara maupun melalui serangan artileri, berusaha menerobos ke Jabalia, tapi mereka menghadapi perlawanan sengit dari pejuang muqawama Palestina.
Bersamaan dengan serangan udara dan artileri militer Israel ke seluruh wilayah Gaza, pejuang muqawama baik di utara Gaza, maupun di Tepi Barat Sungai Jordan menarget anasir Zionis dan memberi pukulan telak kepada mereka.
Berdasarkan sejumlah bukti, Israel secara bertahap bersiap mundur dan tunduk terhadap permintaan perlawanan Palestina dan semakin mendekati kondisi dan tuntutan Hamas.
Saluran 12 rezim Zionis mengutip seorang pejabat tinggi Israel yang mengatakan bahwa kita sedang menunggu hari-hari yang menentukan untuk pertukaran tahanan yang baru.
Ribuan penduduk wilayah pendudukan mengadakan demonstrasi besar-besaran di Tel Aviv pada hari Sabtu. Para pengunjuk rasa menuntut kabinet rezim ini untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas mengenai pembebasan tahanan di Jalur Gaza.
Selain itu, dalam demonstrasi yang diadakan di Habima Square di Tel Aviv, para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri rezim ini, Benjamin Netanyahu.
Pasca dimulainya operasi militer di Gaza, rezim Zionis Israel menghadapi tugas sulit dalam mengatur opini publik di wilayah pendudukan Palestina. Sambil menekankan upaya pembebasan tahanannya dari Hamas, rezim ini ingin memperluas cakupan operasi militer di Gaza agar memperoleh prestasi yang dapat membenarkan kegagalan intelijen-keamanan dalam operasi 7 Oktober.
David Hirst, seorang penulis dan analis Inggris terkemuka serta editor situs Middle East Eye, yang telah menerbitkan banyak artikel tentang indikator kegagalan rezim Zionis dalam perang Gaza sejak awal operasi badai Al-Aqsa, menulis dalam artikel barunya untuk tujuan ini, perang melawan Gaza adalah hasil sebuah evaluasi Israel yang sepenuhnya keliru, yang menyebabkan bencana moral dan militer dan memicu kemarahan global terhadap Israel di seluruh dunia.
Seraya menjelaskan bahwa realitas politik setelah 7 Oktober bertentangan dengan keinginan AS dan pendukung Israel lainnya, ia menekankan, Netanyahu dan kabinet perangnya berupaya menghancurkan Hamas, namun perang di Gaza dapat berujung pada kehancuran Israel.
Di sisi lain, koalisi yang ingin dibentuk AS untuk mendukung Israel melawan serangan balasan Yaman telah runtuh sejak awal.
Terlepas dari upaya Amerika untuk bergabung dengan berbagai negara dalam koalisi untuk melawan serangan Yaman terhadap Israel, tiga sekutu Washington di Eropa memberikan jawaban negatif terhadap koalisi ini.
Padahal beberapa hari lalu, Washington mengumumkan pembentukan koalisi angkatan laut dengan partisipasi 10 negara, antara lain Inggris, Bahrain, Kanada, Prancis, Italia, Belanda, Norwegia, Seychelles, dan Spanyol, untuk menghadapi ancaman tentara Yaman di Laut Merah, kini sumber berita mengumumkan runtuhnya aliansi militer selangkah demi selangkah dengan penarikan sekutu Amerika, termasuk Prancis, Italia, dan Spanyol.
Situs Amerika "The War Zone", yang bergerak di bidang masalah militer, menulis dalam sebuah laporan: Operasi " Prosperity Guardian" yang dipimpin oleh Amerika Serikat di Laut Merah mengalami kesenjangan yang luas dan banyak.
Ansarullah Yaman melalui operasi militernya terhadap rezim Zionis Israel dan penargetan kapal-kapal dagang Israel di Laut Merah sebagai salah satu jalur ekonomi, bukan saja membuat Israel dan pendukung utamanya mengalami ketidakberdayaan, bahkan dari sisi ekonomi, Israel dan juga Barat mendapat tekanan untuk menghentikan kejahatan mereka terhadap rakyat Jalur Gaza. (MF)