Cara Baru Arab Saudi Tutupi Defisit Anggaran
Majalah ekonomi Forbes dalam sebuah tulisannya menyoroti keputusan pemerintah Arab Saudi untuk menjual obligasi dan menilai langkah itu akan mempercepat proses keruntuhan ekonomi Kerajaan.
Keterpurukan ekonomi memaksa para pejabat Saudi untuk memperoleh uang tunai dengan cara menjual obligasi senilai 16,5 miliar dolar. Saham Aramco – sebagai perusahaan minyak terbesar milik pemerintah dan juga terbesar di dunia – akan segera go public dan menawarkan kepemilikan parsial saham kepada publik melalui pasar modal.
Cadangan devisa Arab Saudi dilaporkan tergerus tajam. Negara itu memenuhi 92 persen dari pendapatannya dari penjualan minyak dan anjloknya harga 'emas hitam' ini di samping banjir pasokan di pasar, membuat Saudi mengalami defisit anggaran parah tahun lalu yang mencapai 98 miliar dolar. Para pakar memprediksi bahwa defisit anggaran negara itu akan mencapai 87 miliar dolar untuk tahun ini.
Jika harga minyak terus merosot, penawaran Aramco sekali pun tidak akan menyelesaikan keterpurukan ekonomi Saudi. Masalah anggaran Saudi sendiri telah menciptakan banyak kesulitan bagi masyarakat biasa dan mereka harus menerima program pengetatan ekonomi Al Saud.
Surat kabar Inggris, The Independent baru-baru ini menulis bahwa keterpurukan ekonomi Suadi dapat membawa kejatuhan Al Saud dan Kerajaan mereka.
Tren penurunan harga minyak membawa dampak negatif terhadap cadangan devisa Saudi dan cadangan strategis ini juga tidak mampu mencegah krisis ekonomi di Arab Saudi.
Demi mengurangi defisit anggaran, pemerintah Saudi bahkan menunda pembayaran kepada para kontraktor dan berencana untuk membatalkan sejumlah proyek dengan nilai investasi lebih dari 20 miliar dolar.
Kerajaan juga menangguhkan pembayaran bonus dan memangkas tunjangan untuk pegawai pemerintah, termasuk pemotongan 20 persen untuk gaji menteri. Para ekonom memperkirakan pemotongan belanja akan membebani perekonomian Arab Saudi. Pertumbuhan kemungkinan akan melambat menjadi 0,6 persen tahun ini dari 3,4 persen pada 2015.
Pada dasarnya, pengeluaran besar Saudi terutama untuk membayar gaji para teroris bayaran di Suriah dan Irak serta biaya fantastis perang di Yaman, membuat pundi-pundi keuangan Riyadh terkuras.
Dalam beberapa tahun terakhir, Saudi sejalan dengan Amerika Serikat mendorong penurunan harga minyak di pasar dunia, tetapi negara itu sekarang merasakan dampak negatif dari kebijakan tersebut. Penurunan harga terbaru meskipun membawa dampak temporal terhadap perekonomian sejumlah negara produsen, namun perekonomian produk tunggal Arab Saudi akan sangat terpukul dengan fenomena itu.
Perekonomian Saudi tidak memiliki landasan yang kuat dan banyak biaya dihambur-hamburkan untuk membeli kemewahan. Pendapatan minyak juga dibelanjakan untuk hal-hal yang secara praktis tidak mampu membawa negara itu keluar dari krisis ekonomi. Oleh karena itu, perekonomian Saudi terjebak dalam sebuah siklus yang dapat berujung pada kebangkrutan dan ini adalah sebuah realitas yang diakui oleh para ekonom. (RM)