Dia Adalah Saudaraku!
Sayidina Ali as adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah dan menjadi muslim.
Nabi Muhammad Saw setelah diangkat sebagai nabi, atas perintah Allah Swt, mengajak masyarakat pada Islam secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun. Tentunya, alasannya adalah supaya masyarakat memiliki sedikit kesiapan dan aman dari kejahatan musuh. Pada saat itu, Sayidina Ali yang masih berusia sepuluh tahun beriman kepada Rasulullah. Setelah Sayidina Ali, Sayidah Khadijah; istri Rasulullah yang penuh kasih sayang dan setia beriman kepada Rasulullah Saw.
Setelah tiga tahun, Rasulullah Saw diutus untuk menyampaikan ajaran Islam secara terang-terangan. Untuk menjalankan tugas ilahi, beliau mengundang empat puluh orang dari keluarga dekatnya ke rumah Abu Thalib. Dalam undangan ini, hadir para paman dan anak pamannya. Mereka merasa takjub dengan undangan yang tanpa mukadimah ini.
Malam itu, setelah acara makan malam, Rasulullah Saw berpidato dan di sela-sela ucapannya, beliau menyampaikan tentang agama Allah dan tugas yang telah diserahkan kepadanya. Namun Abu Lahab salah seorang paman Rasulullah, merusak acara yang ada dan tidak mengizinkan Rasulullah Saw berbicara.
Keesokan harinya, Rasulullah Saw kembali mengundang sanak familinya. Sekali lagi Abu Lahab memprediksi bahwa Rasulullah Saw bermaksud menyampaikan dakwahnya dan dia kembali lagi berencana merusak acara itu. Namun dengan partisipasi Abu Thalib, rencana Abu Lahab tidak berhasil dan Rasulullah berhasil mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pembicaraannya kepada para tamu tentang perintah Allah.
“Wahai para anak-anak Abdul Muthalib! Aku telah diutus oleh Allah Yang Maha Esa untuk kalian. Aku mengabarkan kepada kalian tentang kemarahan-Nya dan api neraka dan mengabarkan kepada orang-orang yang meyakini ucapanku – yang semuanya berasal dari Allah – dan mengharapkan rahmat Allah... berimanlah kepadaku! Tolonglah aku supaya kalian beruntung dan di dunia, jadilah tuan bagi orang Arab dan orang Ajam dan di akhirat menjadi penghuni surga...kalian adalah keluarga dan familiku. Ketahuilah bahwa tidak ada orang seperti aku yang membawa kabar gembira ini untuk familinya...aku membawa kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kalian...apakah ada orang yang mau menjadi saudaraku dan menjadi penolong agamaku sehingga menjadi pengganti dan washiku dan di akhirat akan masuk ke dalam surga bersamaku?!”
Semuanya tercengang dan takjub. Tidak seorangpun dari para tamu percaya bahwa putra Abdullah dengan berani berbicara seperti ini tanpa rasa takut dan khawatir. Tidak ada seorang pun yang berani berbicara sepatah kata pun. Apalagi menjawab permintaan Muhammad Saw. Namun di antara para tamu, Ali; seorang remaja yang berusia 13 tahun anak didikan Rasulullah Saw dan dari sejak awal pengangangkatan sebagai nabi telah membantunya sekuat tenaga, mengangkat tangannya dan berkata, “Wahai Rasulullah! Aku akan menolongmu!”
Para pemuka Quraisy tidak percaya akan apa yang didengar dan dilihatnya. Ali as telah menyebut Muhammad Amin [yang bisa dipercaya] sebagai “Rasulullah” yakni siapakah Tuhan yang Muhammad telah mengklaim dirinya telah diangkat sebagai utusan dari sisi-Nya?!”
Rasulullah Saw menghadap kepada Ali dan berkata, “Duduklah hai Ali!”
Rasulullah Saw sekali lagi menyampaikan dakwahnya dan mengulangi permintaannya. Kali ini juga tidak ada suara yang keluar dari para tamu yang hadir. Kembali lagi Ali bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Saya. Saya siap berkerjasama dengan Anda dan saya beriman kepada ucapan Anda.”
Rasulullah Saw kembali meminta Ali as untuk duduk. Rasulullah Saw mengulangi lagi permintaannya yang ketiga kali dan hanya Ali as yang mengumumkan kesiapannya untuk menjadi penolong dan pendamping Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah Saw berkata, “Ini [sambil mengisyaratkan pada Sayidina Ali] adalah saudara dan penggantiku. Dengarkanlah ucapannya dan taatilah dia!”
Terjadilah keributan dalam pertemuan itu. Para hadirin bangkit dan setiap orang berbicara. Abu Lahab yang sedang marah berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad memerintahkan kamu untuk mendengarkan perintah anak lelaki remajamu dan kamu harus menaatinya!”
Abu Thalib berkata, “Diamlah dan jangan katakan sesuatu! Muhammad adalah utusan Allah dan aku serta putraku adalah pendukung ucapan-ucapannya dan kami akan mengorbankan diri untuknya.
Ali Adalah Anak Rasulullah Saw
Sayidina Ali adalah anak paman Rasulullah Saw. Namun Rasulullah Saw memiliki hak sebagai ayahnya. Karena Sayidina Ali sejak kecil ada di pangkuan Rasulullah Saw dan besar di rumahnya. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan bila Sayidina Ali merasa sangat dekat kepada Rasulullah dan dalam kondisi susah, dia sebagai penolong dan pendamping setia Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw dalam usia dua puluh lima tahun menikah dengan Sayidah Khadijah. Lima tahun kemudian, lahirlah Ali as putra keempat Abu Thalib [paman Rasulullah Saw]. Abu Thalib pasca wafat ayahnya; Abdul Muthalib, sebagai kepala suku Bani Hasyim dan mereka sangat menghormatinya. Namun dari sisi harta kekayaan, dia termasuk orang yang tidak punya harta dan hidup miskin. Rasulullah mengetahui hal ini. Oleh karena itu, suatu hari beliau mendatangi paman yang satunya yaitu Abbas; seorang lelaki kaya. Rasulullah mengusulkan kepadanya untuk membantu Abu Thalib dengan cara masing-masing mengambil dan mengasuh satu dari putra-putranya.
Abbas menerima usulan Rasulullah dan mengambil Ja’far saudara Sayidina Ali dan membawanya ke rumahnya. Rasulullah menerima untuk mengasuh Ali. Dari sejak saat itu Ali as berada di bawah asuhan Rasulullah Saw yang penuh keberkahan. Sayidina Ali menceritakan masa kecilnya demikian:
“Ketika aku masih kanak-kanak, Rasulullah Saw mendudukkan aku di pangkuannya dan menempelkan aku ke dadanya. Beliau mengunyah makanan dan meletakkannya di mulutku dan menyampaikan bau harum wujudnya ke dalam jiwaku...Beliau tidak pernah mendapati aku berbohong dalam ucapanku dan salah dalam perbuatanku...Allah telah mengirim malaikat yang paling agung untuk membarengi Rasulullah Saw sejak masa menyusu untuk membimbingnya di semua kesempatan malam dan siang untuk mengerjakan pekerjaannya yang baik dan besar. Aku juga mengikuti Rasulullah sebagaimana anak kecil yang masih menyusu mengikuti ibunya. Beliau sendiri setiap hari memerintahkan aku untuk mengikuti semua perilakunya. Beliau setiap tahun pergi ke gua Hira selama beberapa hari dan ketika itu tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Di masa itu, ketika Islam belum masuk ke dalam rumah siapapun, hanya Rasulullah Saw dan istrinya; Khadijah yang muslim. Aku menerima dakwahnya dan aku menjadi muslim. Aku selalu melihat cahaya wahyu dan risalah dan mencium harumnya kenabian...” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as