Meretas Perdamaian Suriah di Astana
Delegasi Iran yang dipimpin oleh Hossein Jaberi Ansari, Deputi Menlu Iran untuk Urusan Arab dan Afrika, bertolak ke ibukota Kazakhstan pada Senin (13/3/2017) pagi untuk menghadiri Konferensi Astana-3 terkait krisis Suriah.
Konferensi Internasional Astana-3 akan digelar pada 14-15 Maret 2017 dengan melibatkan perwakilan dari pemerintah Suriah dan kubu pemberontak serta tiga negara penjamin gencatan senjata di Suriah yaitu; Republik Islam Iran, Rusia dan Turki di Astana.
Kementerian Luar Negeri Kazakhstan dalam sebuah pernyataan hari Senin, mengatakan bahwa perundingan Astana-3 akan dihadiri oleh delegasi Iran, Rusia, Turki, pemerintah Suriah, kubu pemberontak bersenjata, Staffan de Mistura, Utusan Khusus PBB untuk Suriah, serta perwakilan Amerika Serikat dan Yordania.
"Perundingan Astana-3 akan membahas isu-isu yang berhubungan dengan penegakan gencatan senjata di Suriah, langkah-langkah untuk menstabilkan situasi di daerah-daerah tertentu, dan juga hal-hal yang terkait dengan pembicaraan mendatang Suriah di Jenewa," kata Kemenlu Kazakhstan.
Kelompok Bersama juga akan menyerahkan laporannya terkait situasi Suriah dan merekomendasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat gencatan senjata di negara Arab itu.
Perundingan Astana digelar pertama kali pada Januari lalu atas inisiatif Tehran, Moskow, dan Ankara dengan dihadiri oleh delegasi pemerintah Damaskus dan kubu pemberontak. Dalam pertemuan itu, kedua pihak untuk pertama kalinya melakukan pembicaraan langsung.
Agenda utama pertemuan Januari lalu adalah mempertahankan gencatan senjata, memerangi terorisme dan melakukan perundingan intra-Suriah antara pemerintah dan pemberontak. Sampai sekarang pertemuan Astana relatif mampu mempertahankan gencatan senjata di Suriah.
Meski ada upaya dari pihak tertentu untuk merusak perundingan damai Suriah di kota Astana. Namun, perundingan itu secara umum berjalan konstruktif dan mencapai kemajuan yang signifikan untuk meredam krisis.
Tapi, AS sejauh ini belum memperjelas posisinya dalam proses tersebut. Apa yang dilakukan Washington selama ini di Timur Tengah benar-benar tidak konstruktif. Jadi, masih ada keraguan tentang ketulusan niat AS untuk memerangi kelompok teroris Daesh dan terorisme. Belum lagi, masih ada aktor-aktor lain seperti Arab Saudi yang tetap mengejar agenda penggulingan pemerintah sah Suriah. Dalam situasi seperti ini, pelaksanaan pertemuan untuk mencapai perdamaian di Suriah akan menjadi sulit dan penuh tantangan.
Meski demikian, upaya untuk mendorong perdamain di Suriah tetap berlanjut dan inisiatif Iran, Rusia, dan Turki tentu saja bukan untuk menandingi atau mengganti upaya masyarakat internasional, tapi mereka hanya ingin menyempurnakannya.
Dibutuhkan tekad dan upaya lebih untuk menyempurnakan proses tersebut. Krisis Suriah pecah pada tahun 2011 setelah kelompok-kelompok teroris yang disponsori AS, Arab Saudi, dan sekutunya, melancarkan serangan ke negara itu untuk menggulingkan pemerintahan konstitusional, yang dipimpin oleh Presiden Bashar al-Assad.
Sekarang harus dilihat apakah upaya masyarakat internasional dapat mengakhiri krisis tersebut. Perlu dicermati juga bahwa sejauh mana peran perundingan Astana-3 dan Jenewa dalam memajukan proses mencapai perdamaian di Suriah. (RM)