Kekuasaan Dibatasi, Apa Sistem Politik Kurdistan Berubah ?
Parlemen Irak, Ahad (29/10) menyetujui pembagian kekuasaan pemimpin wilayah Kurdistan dengan 70 suara setuju dan 23 menentang.
Akhir karir politik Masoud Barzani dinilai sudah tiba. Mungkin seandainya Barzani, menjelang tanggal 1 November 2017 tidak memutuskan untuk mengakhiri masa kepemimpinannya dan menulis surat pengunduran diri, maka ia akan mengalami akhir lebih buruk dari yang terjadi sekarang.
Hanya beberapa hari tersisa sebelum berakhirnya masa tugas Masoud Barzani sebagai pemimpin wilayah Kudistan Irak, dan pernyataan Barzani kemarin bahwa dirinya mulai sekarang hanya seorang Peshmerga, menunjukkan akhir karir politiknya.
Akan tetapi persetujuan parlemen Kurdistan terkait distribusi kekuasaan Masoud Barzani juga masalah penting. Keputusan tersebut memunculkan pertanyaan, apakah sistem politik wilayah Kurdistan Irak akan berubah atau tidak.
Pembagian kekuasaan Barzani dapat dimaknai dua hal, pertama, sebagaimana diketahui masa tugas Barzani akan berakhir sebelum pemilu dan penetapan pemimpin Kurdistan yang baru, dengan begitu parlemen wilayah ini tidak punya cara lain selain membagi kekuasaan Barzani ke tiga lembaga pemerintahan lokal.
Kedua, pembagian kekuasaan pemimpin wilayah Kurdistan ke tiga lembaga pemerintahan wilayah itu dapat menjadi program untuk mengubah sistem politik Kurdistan Irak. Hal ini berarti pos pemimpin Kurdistan akan dihapus dan wilayah ini akan menyaksikan perubahan sistem politik dari presidensial ke parlementer.
Jika Parlemen Kurdistan memang punya rencana seperti itu, maka hal tersebut menjadi bukti ketidakpuasan mereka terhadap kinerja sistem presidensial, pasalnya kinerja Masoud Barzani adalah bukti bahwa dirinya membawa wilayah Kurdistan ke dalam sistem diktatorisme personal dan partai. Salah satu indikasi diktatorisme ini adalah pola perilaku Barzani terhadap institusi pemerintahan lain di Kurdistan.
Selain menentang pemilu pemimpin wilayah Kurdistan selama empat tahun karena kepentingan pribadinya, Barzani juga membekukan aktivitas parlemen, bahkan melarang masuk ketua parlemen Kurdistan ke pusat wilayah itu yaitu Erbil. Perilaku melanggar Barzani yang lain adalah menyelenggarakan referendum pemisahan diri Kurdistan dari Irak, yang dilakukan atas dasar sikap keras kepala dan mengabaikan nasehat tokoh-tokoh Kurdistan, Irak dan kawasan.
Buah kebijakan Barzani selama empat tahun terakhir adalah pecahnya konflik internal di wilayah Kurdistan, melemahnya posisi wilayah ini dalam struktur kekuasaan Irak yang berujung dengan munculnya separatisme dan tersingkirnya pribadi Barzani sendiri dari struktur kekuasaan wilayah Kurdistan.
Perubahan sistem politik Kurdistan dari presidensial ke parlementer dinilai dapat mencegah munculnya permasalahan semacam itu, karena dalam sistem politik ini, posisi pemimpin wilayah akan dihapus dan perdana menteri dipilih oleh parlemen. Pada saat yang sama perdana menteri dan kabinetnya harus bersumpah di hadapan parlemen. Akhirnya sistem ini diharapkan bisa mencegah munculnya "pemain tunggal" di arena perpolitikan Kurdistan.
Akan tetapi jika perubahan sistem presidensial menjadi parlementer terjadi, namun pemerintah wilayah Kurdistan tidak menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah pusat Irak, maka perubahan itu tidak akan mampu mewujudkan stabilitas, keamanan dan kemajuan bagi wilayah ini. Pasalnya, Kurdistan adalah bagian dari wilayah Irak dan harus selalu memperhatikan perilaku politik dan kebijakannya agar senantiasa sesuai dengan konstitusi negara ini. (HS)