Game Baru Saudi, Genjot Produksi Minyak OPEC
-
Kantor OPEC
Sejak Presiden AS, Donald Trump mengumumkan keluarnya AS dari kesepakatan nuklir JCPOA, dan kembalinya sanksi sepihak Washington terhadap Tehran, dampak psikologis masalah ini sudah mulai terasa. Meskipun sanksi minyak terhadap Iran akan diberlakukan mulai November mendatang, dan tidak terjadi perubahan dalam produksi dan ekspor minyak negara ini, tapi atmosfir agitasi media terus-menerus menyasar pelemahan situasi dalam negeri Iran.
Tampaknya, ada upaya untuk melancarkan "Banjir Keputusasaan" yang dilakukan secara sistematik terhadap Iran.
Indikasi tersebut bisa dilihat dari skenario baru untuk mendukung sanksi AS terhadap Iran. Kali ini dilakukan Arab Saudi. Pasalnya, Menteri Energi, Industri dan Sumber Daya Mineral Arab Saudi, Khalid Al-Falih menyatakan negaranya berencana untuk mengajukan peningkatan produksi minyak secara bertahap ke OPEC demi mengatasi kekhawatiran terjadinya lonjakan harga di pasar global.
Lalu, bagaimana menilai skenario ini dekat dengan realitas sebenarnya?
Arab Saudi pernah menjalankan kebijakan ini beberapa tahun lalu hingga 2016 dengan target memukul perekonomian Iran. Tapi, ketika Arab Saudi menghadapi defisit anggaran sebesar 100 miliar dolar akibat anjloknya pendapatan minyak negara ini, akhirnya Riyadh menerima keputusan OPEC untuk memangkas produksi minyaknya. Rusia juga sebagai produsen minyak non-OPEC mengamini keputusan tersebut.
Duta Besar Iran untuk OPEC, Hossein Kazempour Ardebili mengatakan bahwa kenaikan tingkat produksi saat ini bertentangan dengan kesepakatan yang dicapai OPEC dan anggota non-OPEC di tahun 2016. Menurutnya, pasokan minyak di pasar global saat ini masih sesuai, dan OPEC harus memutuskan mengenai tingkat produksi minyaknya hingga akhir tahun 2018.
Dubes Iran di OPEC menegaskan keputusan negaranya akan memblokir langkah peningkatan produksi minyak OPEC bersama Irak dan Venezuela.
Hingga kini belum diambil keputusan mengenai prakarsa Saudi dan Rusia yang akan dibahas pada pertemuan OPEC pada 22 dan 23 Juni mendatang.
Tampaknya, prakarsa kenaikan produksi minyak OPEC tersebut tidak didukung faktor ekonomi yang memadai, tapi lebih banyak dipengaruhi faktor politik.
Mantan wakil Iran di OPEC , Javad Yarjani mengatakan, para diplomat minyak jangan sampai membiarkan terjadi peningkatan kuota produksi minyak berdasarkan kemungkinan yang berhubungan dengan anjloknya ekspor minyak Iran. Ditegaskannya, kekuatan Iran dalam menghadapi harga minyak yang rendah dan juga diplomasi terpadu di bidang energi menjadi sarana terbaik untuk menempuh periode sulit ini.
Sebelumnya, Menteri Perminyakan Iran, Bijan Namdar Zangeneh menyinggung statemen sejumlah anggota OPEC dan non-OPEC mengenai peningkatan produksi minyak. Zangeneh menegaskan tidak ada satu negarapun yang berhak mengklaim sebagai juru bicara OPEC, sebab keputusan hanya bisa dihasilkan dari kesepakatan bersama anggota OPEC.
Kini muncul pertanyaan, pihak mana yang mau menanggung kerugian akibat pengulangan kesalahan yang telah diambil sebelumnya mengenai kenaikan produksi minyak OPEC yang berdampak anjloknya harga minyak di pasar global. Sebab pemenang utamannya hanya konsumen minyak, terutama negara-negara industri besar seperti AS.
Tapi tampaknya Khaled Al-Falih sedang mempersiapkan diri untuk mengulang kesalahan pendahulunya di tahun 2011, dan mungkin tidak belajar dari dampak besar kesalahan strategi minyaknya yang menjadi bumerang bagi perekonomian Arab Saudi sendiri.(PH)