Jelang Perundingan Wina, AS kian Agresif terhadap Iran
Menjelang dimulainya babak baru perundingan Iran dan Kelompok 4+1 terkait kembalinya Amerika Serikat ke JCPOA, Washington meningkatkan ancamannya terhadap Republik Islam Iran.
Robert Malley, utusan khusus Amerika untuk urusan Iran Sabtu (27/11/2021) mengancam akan meningkatkan represi terhadap Tehran dan mengatakan, jika Iran ingin memanfaatkan perundingan menghidupkan kembali JCPOA sebagai alasan dan kedok untuk mempercepat program nuklirnya, maka Washington akan meningkatkan tekanannya terhadap Tehran.
Sikap terbaru petinggi Amerika Serikat ini dirilis meski sebelumnya ia mengakui kegagalan pendekatan sanksi dan represi AS terhadap Israel. Dengan demikian Washington sampai saat ini masih bersikeras melanjutkan pendekatannya tersebut. Pemerintah AS sebelumnya yang menerapkan represi maksimum terhadap Iran setelah keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA pada Mei 2018, sampai akhir kekuasaannya tidak mampu meraih satu pun tujuannya.
Sementara itu, Presiden AS saat ini, Joe Biden yang mengklaim membalik kebijakan pendahulunya, Donald Trump, secara praktis melanjutkan pendekatan represi maksimum terhadpa Iran dengan tujuan memaksa Tehran menerima tuntutannya dan syarat yang mereka inginkan terkait JCPOA serta isu di luar kesepakatan nuklir ini.
Faktanya Amerika yang menjadi penyebab kondisi saat ini di JCPOA, alih-alih mengakui kesalahannya, malah sebaliknya menuding Iran yang bersalah dan menjelang babak baru perundingan Wina antara Iran dan Kelompok 4+1, memilih pendekatan agresif dan ancaman. Seakan-akan Robert Malley lupa bahwa Amerika dengan keluar dari JCPOA dan sampai saat ini enggan kembali tanpa syarat ke kesepakatan ini, memainkan peran negatif di bidang perdamaian dan keamanan regional serta internasional.
Poin penting adalah utusan khusus AS untuk Iran ini seraya mengulang klaim AS sebelumnya dan tanpa memberi jaminan apapun mengklaim bahwa Washington siap kembali ke kesepakatan nuklir dan meminta Tehran mengambil sikap serupa. Padahal Washington justru pihak yang mengabaikan tuntutan utama Tehran yakni pencabutan seluruh sanksi dan menolak memberi jaminan apapun terkait komitmen terhadap JCPOA.
Sikap dan langkah Iran terkait JCPOA dan penurunan komtimennya, sekedar respon atas langkah dan sikap Amerika yang melanggar janjinya serta sikap Eropa yang menolak menjalankan komitmennya setelah Amerika keluar dari JCPOA. Sementara itu, Amerika Serikat telah mengklaim orientasi militer program nuklir damai Iran untuk menciptakan perang psikologis dan propaganda melawan Iran sejalan dengan rezim Zionis.
Di sisi lain, Iran menolak keras klaim ini dan menekankan bahwa sebagai salah satu penandatangan Traktat Non Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dirinya berhak meraih teknologi nuklir untuk kepentingan damai.
Sepertinya jika pemerintah Biden ingin menempuh jalur Trump terkait Iran dan JCPOA, maka ia akan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, Amerika lebih baik menunaikan janji Biden untuk kembali ke JCPOA dan menjadikan tuntutan Iran yakni pencabutan sanksi sepihak di agenda kerjanya sehingga Tehran juga kembali ke komitmen JCPOAnya, ketimbang mengambil sikap permusuhan dan ancaman terhadap Republik Islam.
Barbara Slavin, kepala bidang Iran di Dewan Atlantik mengatakan, pemerintah Biden memahami bahwa tidak ada rencana B yang dapat diterima dan hanya diplomasi dan pencabutan sanksi yang dapat mengontrol aktivitas nuklir Iran serta solusi tunggal isu Iran adalah diplomasi. (MF)