Bagaimana Polisi Prancis Memperlakukan Demonstran ?
Konsekuensi dari epidemi Corona, perang di Ukraina, kenaikan harga bahan bakar dan energi, serta peningkatan inflasi membuat ribuan orang Prancis turun ke jalan.
Emmanuel Macron memulai tahun pertama masa jabatan presiden keduanya dengan pemogokan dan demonstrasi massa.
Serangkaian perkembangan politik dan ekonomi serta laporan lembaga-lembaga internasional, khususnya Dana Moneter Internasional (IMF), menunjukkan bahwa rakyat Prancis, seperti halnya rakyat negara-negara Eropa lainnya, sedang menghadapi hari-hari yang sulit dan musim dingin yang dingin.
Salah satu ciri dari protes dan demonstrasi tersebut adalah banyaknya kehadiran polisi dan penggunaan gas air mata untuk membubarkan para demonstran.
Lebih dari dua ribu polisi anti huru hara dengan perlengkapan senjata perang kota ditempatkan di sepanjang rute demonstrasi rakyat Prancis sepanjang 2 kilometer dari Place de la Nation ke Place de la Bastide di Paris.
Sekitar 140.000 orang Prancis berpartisipasi dalam demonstrasi Minggu (16/10/2022) sore di Paris. Dalam demonstrasi ini, sejumlah besar pengunjuk rasa di Paris terluka dan beberapa ditangkap.
Prancis sekarang menyaksikan pemogokan oleh karyawan beberapa reaktor nuklir dari perusahaan Prancis EDF dan cabang dari berbagai serikat pekerja, termasuk di sektor kereta api dan sektor otomotif, karena protes terhadap kebijakan pemerintah.
Orang Prancis akan berdemonstrasi lagi pada hari Selasa (18/10/2022) untuk memprotes harga tinggi dan situasi ekonomi yang buruk.
Surat kabar Le Monde menulis dalam konteks ini, pemerintah Prancis berharap kemarahan yang disebabkan oleh pemogokan akan mereda sebelum berkobar.
Namun prospek situasi ekonomi Prancis bertentangan dengan harapan tersebut. Untuk itu, pemerintah Prancis berusaha menggunakan polisi untuk mengendalikan kerusuhan tersebut.
Konsekuensi dari epidemi Corona, perang di Ukraina, kenaikan harga bahan bakar dan energi, serta peningkatan inflasi membuat ribuan orang Prancis turun ke jalan.
Tentu saja, polisi Prancis memiliki catatan hitam dalam menangani kekerasan terhadap warga negara ini.
Belum lama ini, polisi Prancis membuat aksi mogok dan protes para siswa sekolah menengah atas karena pemecatan salah satu guru mereka menjadi kekerasan dan menangkap sejumlah siswa.
Dalam konteks ini, surat kabar Le Parisien menulis, Polisi Prancis menggunakan pentungan, gas air mata, dan senjata LBD selama melakukan kekerasan terhadap para siswa yang memprotes. Senjata yang digunakan dan dipakai secara luas oleh pasukan polisi untuk melumpuhkan target dalam rangkaian ekstensif kekerasan polisi Prancis terhadap rompi kuning. Senjata yang digunakan juga dikenal sebagai senjata semi-mematikan dan berada di antara pentungan dan pistol.
Mari kita buat perbandingan sekarang terkait liputan berita peristiwa ini dibandingkan dengan kejadian baru-baru ini di Iran dan pernyataan solidaritas Perdana Menteri Prancis dengan tindakan polisi terhadap sejumlah orang yang merusak properti dan fasilitas kota.
Pemerintah Prancis, sebagai tempat lahirnya demokrasi di dunia, membolehkan dirinya menggunakan kekerasan untuk menghadapi para pengunjuk rasa yang bertentangan dengan kebijakan negara yang dalam hal ini adalah polisi untuk membubarkan para pengunjuk rasa.
Namun jika polisi Iran mencoba menciptakan perdamaian dengan peralatan yang lebih sedikit daripada polisi Prancis, kekhawatiran para politisi Prancis akan muncul tentang pelanggaran hak asasi manusia dan hak perempuan.
Pembelaan HAM dan hak-hak perempuan hanyalah alat bagi para politisi Prancis dalam menghadapi Iran. Sebuah alasan untuk menekan dan menciptakan kerusuhan di Iran.
Harus dikatakan bahwa itu adalah kebijakan yang telah gagal dalam 43 tahun terakhir. Kemunafikan dan kontradiksi mereka diketahui oleh rakyat Iran, warga Prancis sendiri dan negara-negara Barat lainnya.(sl)