Pemimpin ASEAN Dituntut Aksi Konkret Atasi Krisis Myanmar
Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Forum-Asia) mengatakan para pemimpin ASEAN harus mengembangkan rencana aksi konkret dalam menyelesaikan krisis Myanmar.
Situs Antara melaporkan, FORUM-ASIA dalam keterangannya yang diterima di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (10/11/2022) menyatakan,“Kami mendesak masyarakat internasional untuk meningkatkan sanksi ekonomi dan diplomatik yang lebih ketat terhadap militer Myanmar, termasuk memberlakukan larangan penjualan bahan bakar penerbangan kepada junta untuk mengurangi kemampuannya melakukan serangan udara terhadap warga sipil,”.
Embargo senjata yang komprehensif dengan mekanisme penegakan yang efektif sangat dibutuhkan untuk memutus akses junta ke senjata yang digunakannya tanpa pandang bulu, kata kelompok tersebut.
“Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Myanmar merupakan ancaman bagi stabilitas regional; itu bukan hanya "urusan internal". ASEAN harus menahan diri dari melegitimasi junta militer, berhenti memberikan kursi kepada mereka di KTT dan pertemuannya. Melainkan harus terlibat dengan Pemerintah Persatuan Nasional dan mendukung kelompok masyarakat sipil,” kata Forum-Asia.
Junta militer Myanmar baru-baru ini ditunjuk sebagai ketua Konferensi Kepala Udara ASEAN (ASEAN Air Chiefs Conference/AACC). Jenderal Tun Aung memimpin delegasi junta di mana mereka menjadi Ketua AACC untuk tahun mendatang, menurut temuan Justice For Myanmar.
ASEAN harus mengambil tindakan nyata untuk mengecualikan semua perwakilan politik dan non-politik junta militer Myanmar menghadiri KTT, pertemuan, dan kegiatan ASEAN.
Ketua Dewan Penasehat “Progressive Voice,” Khin Ohmar mengatakan dengan mengizinkan junta militer Myanmar untuk memimpin Konferensi Kepala Udara ASEAN, berarti ASEAN melanggar Konsensus Lima Poin untuk menghentikan kekerasan yang sedang berlangsung.
“Progressive Voice,” suatu organisasi riset dan advokasi yang memiliki jaringan masyarakat madani di Myanmar dan seluruh kawasan ASEAN.
Khin Omar mengatakan Jenderal Tun Aung adalah individu yang terkena sanksi, dan kejahatan yang dilakukan oleh militer di bawah komandonya sudah dikenal luas.
Alih-alih meminta pertanggungjawaban Jenderal Tun Aung atas kejahatan perang, ASEAN malah dianggap menggelar “karpet” baginya untuk bertanggung jawab atas badan regional yang bertujuan untuk kemitraan yang lebih besar antara angkatan udara.
Para pemimpin ASEAN harus mengambil tindakan tegas di KTT untuk mengecualikan semua perwakilan junta politik dan non-politik dari pertemuan dan kegiatannya.
Ini harus mencakup Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) dan Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR).
Dalam serangan terbarunya, militer Myanmar melakukan serangan udara yang menargetkan orang-orang Kachin yang berkumpul di sebuah festival musik pada 23 Oktober.
Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 80 orang dan melukai lebih dari 100 lainnya. Pada September, militer juga melancarkan serangan udara di sebuah sekolah di silayah Sagaing, menewaskan sedikitnya 11 anak.
Lebih dari 2.400 orang telah dibunuh oleh junta sejak percobaan kudeta pada Februari 2021 dan jumlah ini terus meningkat.
Junta juga terus memimpin the ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus Experts’ Working Group (ADMM-Plus EWG) on Counter Terrorism bersama dengan Rusia.
Pada Juli, 448 organisasi masyarakat sipil mengirim surat terbuka yang mendesak anggota ADMM-Plus EWG tentang Kontra Terorisme untuk memboikot pertemuan tersebut. Australia, Selandia Baru, AS, Jepang, dan Korea Selatan tidak hadir.
Meskipun mitra dialog ASEAN menjauhkan diri dari pertemuan tersebut, AS secara khusus mendesak mitra untuk menggunakan mekanisme kerja sama pertahanan dan 'tidak menyampaikan propaganda', ASEAN telah mengizinkan junta untuk mengendalikan situs web kelompok tersebut dan menggunakannya sebagai platform untuk menyebarkan disinformasi dan propaganda, demikian menurut Justice For Myanmar.(PH)