May 05, 2024 20:18 Asia/Jakarta
  • Menhan AS Lloyd Austin, dan Menteri Perang Israel Yoav Gallant
    Menhan AS Lloyd Austin, dan Menteri Perang Israel Yoav Gallant

Seorang pejabat Eropa, mengatakan, "Amerika Serikat, telah kehilangan hubungan dengan realitas-realitas, dan jika tidak beradaptasi, maka dunia yang harus menanggung akibatnya.

Marco Carnelos, mantan diplomat Italia, dalam artikel yang dimuat Middle East Eye, Rabu (24/4/2024) menuturkan, "Komunitas intelijen AS, baru-baru ini merilis hasil evaluasi tahunan mereka yang memusatkan perhatian pada ancaman-ancaman global."
 
Ia menambahkan, "Dokumen tersebut merepresentasikan analisa-analisa serta pandangan umum Dinas Intelijen Pusat AS, CIA, Agen Keamanan Nasional, NSA, Biro Investigasi Federal, FBI, dan belasan agen intelijen lainnya."
 
Di dalam dokumen itu disebutkan,
 
"Tahun depan, AS, akan menghadapi tatanan global yang semakin rapuh akibat percepatan persaingan strategis antara kekuatan-kekuatan besar, tantangan-tantangan transnasional yang lebih keras, dan semakin tidak bisa diprediksi, serta banyak konflik regional dengan dampak yang luas."
 
Ditambahkannya,
 
"Cina yang ambisius tapi cemas, Rusia yang konfrontatif, ditambah beberapa kekuatan regional seperti Iran, dan para pemain non-negara yang kuat, akan menantang aturan-aturan lama sistem internasional, dan keunggulan AS."
 
Dalam dokumen itu, Iran, Rusia, dan Cina, disebut sebagai negara-negara jahat yang menantang sistem internasional. Analisa semacam ini bukan sesuatu yang mengejutkan, pasalnya ini adalah slogan kebijakan AS, selama bertahun-tahun.
 
Masalahnya adalah ketika tidak jelas apa yang dimaksud aturan tersebut, hukum internasional yang tercantum dalam Piagam PBB, dan konvensi-konvensinya atau sistem internasional yang dipimpin AS.
 
Masalah utamanya adalah, bagi institusi-institusi politik Amerika Serikat, dan sekutu-sekutu kunci Barat, tidak ada bedanya sama sekali. Mereka telah melakukan kesalahan fatal.
 
Mentalitas pemerintah AS ini bersandar pada ideologi neo-liberal yang dijiwai standar ganda. Tragedi Gaza, adalah contoh paling nyata, dan paling baru dari sistem ini. Slogannya seperti berikut,
 
"Apa pun akan diberikan untuk sekutu-sekutu kami, tapi bagi musuh-musuh kami harus sesuai aturan."
 
 
AS Harus Menerima Kenyataan Sejarah
 
Bukan sesuatu yang aneh jika laporan komunitas intelijen AS, menuduh Iran, Rusia, dan Cina, beserta para pemain non-negara seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, dan Ansarullah di Yaman.
 
Strategi konyol semacam ini sekarang bukan hanya tidak diterima secara terbuka oleh sebagian besar negara di Dunia Selatan, tapi juga dipersoalkan atau minimal dimusuhi. Hanya segelintir negara di Eropa, dan Asia Timur yang menganggap keunggulan AS, sebagai prasyarat sistem internasional.
 
Tatanan global saat ini sedang berubah dari struktur konfigurasi unipolar menuju struktur konfigurasi multipolar. Sepanjang sejarah, imperium-imperium lahir, dan kemudian runtuh. Maka rasional jika para politisi AS, berkaca pada aturan sejarah ini.
 
Mereka sekarang dihadapkan pada dua pilihan, menerima hukum sejarah sebagaimana yang dilakukan Inggris, secara bertahap sejak tahun 1945, atau melawannya sehingga menciptakan malapetaka bagi dirinya.
 
Krisis di Gaza, akan memperjelas pandangan-pandangan tidak realistis institusi-institusi intelijen AS. Di dalam dokumen intelijen AS dikatakan, "Kita hanya harus melihat krisis Gaza yang dipicu oleh sebuah kelompok teroris non-negara yang sangat kuat di dalam Hamas. Aksi ini semakin keras akibat sikap ambisius Iran, dengan dorongan Cina dan Rusia, untuk melemahkan AS. Kondisi ini menunjukkan bagaimana sebuah krisis regional dapat menciptakan dampak yang luas, dan mempersulit kerja sama internasional dalam masalah-masalah mendesak lainnya."
 
Bagian laporan ini dengan jelas menunjukkan bahwa komunitas intelijen AS, secara mendasar tidak dapat melihat konflik di Gaza, secara akurat. Sebuah perjuangan pembebasan nasional yang dipicu oleh beberapa dekade pendudukan keji tanpa hukuman Israel, di tanah Palestina.
 
Pendudukan yang dilakukan dengan bantuan senjata skala besar dari AS, dan telah menciptakan sebuah perisai politik bagi Israel. Selain itu peran dukungan AS, atas Israel, di Dewan Keamanan PBB, juga harus diperhatikan. Jika tidak ada dukungan itu, Israel sekarang sudah divonis bertanggung jawab atas kejahatan perang di Gaza.
 
Faktor nyata yang menyebabkan melemahnya posisi internasional AS, bukanlah langkah-langkah yang diklaim pemerintah, tapi standar ganda Washington, termasuk dukungan tanpa syarat AS, atas kolam darah yang diciptakan Israel, di Gaza.
 
Pemerintah Presiden Joe Biden, menentang draf resolusi gencatan senjata yang digulirkan di DK PBB, dan berusaha mengecilkan makna serta efek resolusi tersebut seminimal mungkin dengan menyebutnya sebagai tidak mengikat.
 
Dokumen intelijen AS, dirilis di tengah kondisi lebih dari 34.000 warga Palestina, di Gaza, gugur di tangan Rezim Zionis, yang mayoritas adalah perempuan, dan anak-anak. (HS)  
 
Sumber: https://www.middleeasteye.net/opinion/us-must-adapt-lost-touch-reality-world-pay