Perjanjian Sykes-Picot, Akar Konflik di Asia Barat
(last modified Fri, 17 May 2024 14:22:23 GMT )
May 17, 2024 21:22 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi foto Mark Sykes dari Inggris dan Francois-Georges Picot dari Prancis.
    Ilustrasi foto Mark Sykes dari Inggris dan Francois-Georges Picot dari Prancis.

Untuk memahami lebih dalam tentang krisis yang terjadi di Asia Barat saat ini, kita harus melihat lebih teliti terhadap Perjanjian Sykes-Picot, yang disepakati pada tanggal 16 Mei 1916 antara Prancis dan Inggris.

Perjanjian ini secara signifikan mempengaruhi masa depan Asia Barat dan meletakkan dasar bagi banyak permasalahan yang ada di kawasan ini.

Selama Perang Dunia I dan setelah runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, tiga negara kolonial utama, Prancis, Inggris, dan Rusia, memutuskan untuk membagi wilayah Utsmaniyah. Pembagian ini didasarkan pada kepentingan kolonial mereka dan bukan berdasarkan realitas geografis, budaya dan etnis di wilayah tersebut. Mark Sykes dari Inggris dan Francois-Georges Picot dari Perancis adalah arsitek pembagian ini, dan nama kontraknya juga diambil dari nama mereka.

Perjanjian ini berujung pada penetapan perbatasan-perbatasan baru dan buatan di Asia Barat, tanpa memperhatikan kemauan dan keinginan masyarakat di kawasan tersebut. Setelah berakhirnya Perang Dunia I pada bulan November 1918 dan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, harapan akan kemerdekaan negara-negara Arab yang bersatu tidak menjadi kenyataan. Sebaliknya, Inggris dan Prancis mampu memperkuat pengaruh mereka di wilayah tersebut melalui Skema Perwalian pada bulan Januari 1919. Perencanaan ini tidak memberikan kemerdekaan kepada negara-negara Arab di Asia Barat dan menempatkan mereka di bawah kendali Inggris dan Perancis.

Pembagian wilayan ini tidak hanya menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial di kawasan, tetapi juga memperparah konflik agama dan mazhab. Wilayah seperti Palestina, Yordania, Irak selatan, dan sebagian Suriah dan Lebanon ditempatkan di bawah kendali langsung Inggris dan Prancis. Pembagian buatan ini akhirnya menjadi dasar terjadinya banyak perang dan konflik pada dekade-dekade berikutnya.

Mohammadreza Hajian, pakar isu-isu Asia Barat, meyakini bahwa salah satu masalah utama Perjanjian Sykes-Picot adalah pengabaian yang disengaja terhadap realitas di kawasan oleh penjajah. Dia menjelaskan bahwa bagian terpenting dari perjanjian ini adalah pendudukan Palestina dan pengabaian atas hak-hak masyarakat di tanah tersebut, yang menjadi dasar dominasi Inggris atas Palestina.

Saat ini, banyak negara di kawasan yang masih menderita akibat Perjanjian Sykes-Picot. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan munculnya sengketa perbatasan antara Turki dan Irak yang disebabkan oleh pembagian wilayah dalam Perjanjian Sykes-Picot.

Mehdi Shakibaei, Sekretaris Jenderal Kelompok Pertahanan Bangsa Palestina, juga meyakini bahwa Perjanjian Sykes-Picot merupakan langkah awal pembentukan Israel di kawasan. Menurutnya, tujuan Inggris membentuk Israel adalah untuk memanfaatkan cadangan minyak Asia Barat dan Palestina. Tujuan ini mulai berlaku dalam bentuk Deklarasi Balfour pada tanggal 2 November 1917.

Dari tahun 1920 hingga 1948, Inggris secara signifikan meningkatkan populasi Yahudi di Palestina dengan menyiapkan landasan bagi imigrasi Yahudi ke Palestina. Pada tahun 1917, orang-orang Yahudi hanya berjumlah 6% dari populasi penduduk di Palestina, namun pada tahun 1948, ketika Israel mendeklarasikan keberadaannya, populasi Yahudi mencapai 600.000, dan sekitar 800.000 warga Palestina mengungsi.

Pada tahun 2016, dalam sebuah pernyataan, Palestina mengumumkan bahwa Inggris bertanggung jawab atas semua tragedi di Palestina dan meminta pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas tindakannya. Namun Theresa May, Perdana Menteri Inggris saat itu, menanggapi permintaan tersebut dengan menyatakan bahwa pemerintah Inggris bangga dengan Deklarasi Balfour. (RA)