Jawaban Chad terhadap Kehadiran Militer Prancis, Tidak !
(last modified Sun, 01 Dec 2024 07:32:31 GMT )
Des 01, 2024 14:32 Asia/Jakarta
  • Tentara Prancis di Chad
    Tentara Prancis di Chad

Pemerintah Chad mengumumkan bahwa mereka telah mengakhiri perjanjian kerja sama militer dengan Prancis dan pasukan militer Prancis harus meninggalkan negara itu.

Tehran, Parstoday-Abderaman Koulamalala, Mnteri Luar Negeri Chad menulis dalam sebuah pernyataan di jejaring sosial, Republik Chad mengumumkan keputusannya untuk membatalkan perjanjian kerja sama pertahanan yang ditandatangani dengan Republik Prancis kepada negara-negara di dunia.

Pemerintah Chad menyebut berakhirnya kehadiran militer Prancis sebagai “titik balik sejarah”.

Disebutkan, Sebenarnya, 66 tahun setelah kemerdekaan Republik Chad, telah tiba waktunya bagi negara ini untuk mendeklarasikan kedaulatan penuh dan mendefinisikan ulang kemitraan strategisnya berdasarkan prioritas nasional.

Sebelum Chad, beberapa negara Afrika lainnya, antara lain Mali, Niger, Gabon, dan Burkina Faso, telah resmi mengakhiri kehadiran pasukan militer Prancis di negaranya, dan Senegal juga telah mengumumkan bahwa pangkalan militer Prancis akan segera dibongkar.

Pada dasarnya, gerakan anti-kolonial dan libertarian melawan kolonialisme Prancis di berbagai negara Afrika seperti Aljazair pada dekade-dekade sebelumnya menyebabkan Prancis meninggalkan negara-negara di benua ini dan mengakui mereka secara resmi.

Namun dalam pendekatan baru berupa neo-kolonialisme, dalam beberapa tahun terakhir, Prancis kembali tampil dengan berbagai dalih seperti memerangi terorisme dan membantu membangun perdamaian dan keamanan di negara-negara tersebut.

Dalam hal ini, ratusan tentara Prancis hadir di Mali, Niger, Chad dan negara-negara Afrika lainnya dalam beberapa tahun terakhir dengan dalih memerangi kelompok teroris.

Hal ini terjadi ketika ternyata negara-negara Afrika tidak puas dengan kinerja mereka.

Dari sudut pandang negara-negara Afrika, kinerja militer Prancis sebenarnya sejalan dengan mendukung kelompok ekstremis dan mempertahankan basis Paris di Afrika.

Penemuan bukti-bukti seperti kuburan massal di dekat pangkalan militer Prancis di Mali, meningkatnya serangan teroris di sebagian besar negara di benua ini, khususnya kawasan tepi pantai, semakin menambah kemarahan negara-negara Afrika terhadap tindakan Prancis.

Kondisi ini menyebabkan pendekatan anti-Prancis kembali menguat di banyak negara Afrika dalam beberapa tahun terakhir.

Sebuah pendekatan yang menjadi serius dengan dimulainya serangkaian kudeta di berbagai negara Afrika.

Dukungan masyarakat terhadap para pelaku kudeta dan mengadakan demonstrasi menentang penguasa yang korup dan kaki tangan Paris sebenarnya menandai berakhirnya kolonialisme Prancis di Afrika dan dimulainya era baru kehidupan politik dan ekonomi di berbagai negara Afrika.

Belum lama ini, Catherine Colonna, Menteri Luar Negeri Prancis secara resmi mengakui bahwa era kolonial negara tersebut di Afrika telah lama berakhir, dan gelombang populisme anti-Prancis telah dimulai di Afrika.

Faktanya, negara-negara Afrika, terutama dalam beberapa dekade terakhir, dengan meningkatnya kesadaran politik dan sosial serta perubahan sistem internasional, bukan hanya tidak lagi menerima intervensi politik dan militer, tapi juga secara resmi menuntut diakhirinya militerisme Prancis di Afrika dengan dalih apa pun.

Dalam kondisi baru, Prancis dan negara-negara Eropa lainnya bukan hanya tidak memiliki kemungkinan untuk melanjutkan kehadiran militer dan menjarah sumber daya alam dan mineral negara-negara Afrika seperti tambang uranium Niger, tapi mereka harus menerima era baru hubungan yang didasarkan pada saling menghormati.

Seperti yang juga ditekankan oleh Menteri Luar Negeri Chad, Prancis sekarang harus mempertimbangkan bahwa Chad telah tumbuh dan matang.

Situasi ini tidak hanya berlaku di Prancis tetapi juga bagi Amerika.

Sebelumnya, Chad juga telah meminta Amerika untuk menutup pangkalan militernya di negara tersebut.

Permintaan yang menyebabkan Washington harus bertindak dan menarik pasukan militernya.

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa negara-negara Afrika tidak lagi menerima kehadiran penjajah, tapi kini telah menjadi aktor yang aktif dan dinamis di kancah internasional.

Penutupan pangkalan militer Amerika dan Prancis di banyak negara di benua ini dianggap sebagai langkah awal menuju arah ini.(SL)