Negara-Negara Afrika Mana Saja yang Usir Pasukan Prancis?
(last modified Fri, 03 Jan 2025 12:42:14 GMT )
Jan 03, 2025 19:42 Asia/Jakarta
  • Negara-Negara Afrika Mana Saja yang Usir Pasukan Prancis?

Parstoday – Setelah Mali, Niger, Burkina Faso, Chad, dan Senegal, kini Pantai Gading, menuntut penarikan pasukan Prancis, dari negara itu.

Presiden Pantai Gading Alasanne Outlara, Selasa (31/12/2024) dalam pidato akhir tahun 2024 kepada rakyatnya mengumumkan, Batalyon ke-43 Infanteri Marinir BIMA, di pelabuhan Port-Bouët, Abidjan, markas pasukan Prancis, Januari 2025 akan diserahkan ke Angkatan Bersenjata Pantai Gading.
 
Prancis saat ini memiliki 600 personel militer di Pantai Gading. Seiring dengan semakin meningkatnya sentimen anti-Prancis di negara-negara bekas jajahan Prancis, pemerintah Paris, memutuskan untuk mengurangi jumlah pasukannya di negara-negara Afrika Barat dan Tengah.
 
Sehubungan dengan itu, jumlah pasukan Prancis, di Pantai Gading, saat ini menjadi 600 orang dari awalnya yang berjumlah 2.200 orang. Sekarang 600 tentara Prancis itu juga harus hengkang dari wilayah Pantai Gading.
 
Pemerintah Prancis, mengira dengan mengurangi jumlah pasukannya dapat mempertahankan pengaruh militer dan politiknya di Afrika. Akan tetapi strategi Prancis ini tak membuahkan hasil. 
 
Negara-negara bekas jajahan Prancis menuntut pemutusan total dominasi politik dan ekonomi negara kolonialis Eropa ini, dan menghendaki hubungan yang dilandasi penghormatan, bukan atas dasar kebijakan dominasi.
 
Pasukan Prancis saat ini sudah keluar dari 70 persen negara-negara Afrika. Negara kolonialis besar Eropa ini di Djibouti saja menempatkan 1.500 tentara, dan di Gabon, 350 tentara.
 
Perubahan yang terjadi di sebagian negara Afrika itu merupakan bagian dari perubahan yang lebih luas secara struktural dalam interaksi negara-negara bekas koloni Prancis, di Afrika, di tengah meningkatnya semangat anti-Prancis di kawasan.
 
Pemerintah Mali, Niger, dan Burkina Faso, setelah penarikan pasukan Prancis, menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Rusia dan Cina. Para pengamat meyakini negara-negara Afrika, melepaskan diri dari belenggu pembatasan-pembatasan Prancis, dan mulai meraih kemandirian lebih besar.
 
Presiden Prancis Emmanuel Macron, dalam kunjungan ke negara-negara Afrika, berulangkali menekankan bahwa Paris, bukan musuh negara-negara Afrika. Tapi Prancis, ternyata terlambat memikirkan upaya untuk memperbaiki citra buruknya yang dibenci karena kolonialisme di negara-negara bekas jajahan di tengah kaum muda.
 
Para pemuda yang haus informasi, dan terus disuguhi ledakan-ledakan informasi serta luasnya komunikasi, realitasnya berusaha menemukan posisi negara mereka di arena internasional.
 
Oleh karena itu, di level internasional, dan terkait dengan sebagian besar pusat-pusat krisis, suara Afrika yang lebih independen, semakin terdengar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
 
Sebelumnya Prancis, berusaha untuk menciptakan masyarakat frankofon, negara-negara berbahasa Prancis, dan bekas koloni Prancis, supaya bisa memainkan peran efektif dalam konstelasi, dan pengambilan keputusan politik di negara-negara itu.
 
Setelah gelombang menuntut kemerdekaan muncul di Afrika, Prancis, berusaha mempertahankan dominasi politik dan ekonominya atas rakyat Afrika, supaya bisa tetap merampok dan menjarah sumber daya alam mereka, dengan mendukung pemerintahan diktator di negara-negara itu.
 
Setelah dekade 1960-an, Prancis, menjadi dalang 30 upaya kudeta di negara-negara Afrika. Ketika kekuatannya mulai pudar di Eropa, Prancis, juga menghadapi hal yang sama di Afrika.
 
Maka dari itu, Macron, mengakui kemarahan terus meluap terhadap Prancis, di negara-negara Afrika, dan mendesak dibentuknya sebuah hubungan baru yang lebih seimbang, dua arah, dan bertanggung jawab dengan Afrika.
 
Presiden Prancis, menekankan bahwa Afrika, bukan “halaman belakang” Prancis, dan ia menegaskan bahwa negaranya harus lebih rendah hati dan mendengarkan suara negara-negara Afrika. (HS)