Veto, Palu Godam AS di PBB
Ketika hak istimewa berubah jadi alat menutup pintu perdamaian di Gaza
Oleh: Purkon Hidayat
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjadi panggung ketidakadilan. Amerika Serikat, dengan hak istimewanya sebagai anggota tetap, memveto rancangan resolusi gencatan senjata di Gaza. Simaklah dalihnya yang terdengar diplomatis: rancangan resolusi “tidak seimbang” karena tidak mengecam Hamas dan tidak menjamin keamanan Israel. Tetapi alasan formal itu hanyalah topeng belaka. Di balik itu, tersembunyi hasrat untuk melanggengkan dominasi geopolitik Washington di Timur Tengah dan memberi Israel kebebasan tanpa batas untuk terus menekan bangsa Palestina.
Realitas Getir, Kepentingan Politik di atas Kemanusiaan
Bagi warga Gaza, gencatan senjata adalah garis tipis antara hidup dan mati. Rumah-rumah porak-poranda, anak-anak terkubur di bawah puing, dan rumah sakit berhenti berfungsi. Namun penderitaan itu tidak cukup kuat untuk menggetarkan nurani Amerika Serikat. Hak veto dijadikan perisai untuk membenarkan serangan, seakan-akan nyawa begitu banyak orang Palestina dapat dinegosiasikan demi kepentingan politik “hak membela diri” Israel.
Sidang Majelis Umum: Harapan yang Digembosi Veto
Ironisnya, Sidang Majelis Umum PBB terbaru justru memperlihatkan wajah lain dunia: hampir semua negara mendukung pengakuan penuh Palestina sebagai negara merdeka. Inilah momentum historis, sinyal bahwa mayoritas umat manusia menuntut keadilan. Tetapi sejak awal, Amerika terus menggembosinya. Mulai dari menjegal penerbitan visa bagi Mahmoud Abbas dan delegasi Palestina, hingga menekan sekutunya agar tidak ikut mendukung resolusi tersebut. Tampaknya, aspirasi kolektif dunia ini pada akhirnya akan kembali dijegal oleh satu veto AS di Dewan Keamanan PBB.
Veto: Warisan Perang Dunia yang Usang
Hak veto sendiri adalah warisan Perang Dunia II, diberikan kepada lima negara pemenang perang—Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis—untuk mencegah terulangnya konflik global. Namun, delapan dekade kemudian, mekanisme ini berubah menjadi instrumen kezaliman. Veto Amerika di Gaza menunjukkan betapa aturan lama itu sudah tidak relevan lagi: dunia kini multipolar, dengan mayoritas negara menuntut multilateralisme. Tetapi satu negara masih bisa menjegal suara kolektif umat manusia.
Multilateralisme vs Unilateralisme
Inilah pertarungan besar abad ini: multilateralisme versus unilateralisme. Di satu sisi, mayoritas negara dunia bersuara melalui Majelis Umum, menyerukan keadilan bagi Palestina. Di sisi lain, satu veto Amerika cukup untuk membungkamnya. Palu godam AS bukan lagi simbol kepemimpinan, melainkan simbol unilateralisme yang menolak tunduk pada suara global.
Dampak Jangka Panjang
Setiap veto bukan hanya menunda gencatan senjata, melainkan juga memperdalam jurang ketidakpercayaan global. Negara-negara Global South kian melihat Amerika bukan sebagai penjaga demokrasi, melainkan sebagai kekuatan hegemonik yang rela mengorbankan kemanusiaan demi kepentingan politik. Kredibilitas moral Washington retak, dan retakan itu semakin melebar setiap kali palu godam veto diketukkan.
Bukan Saatnya Diam
Lalu, apakah dunia akan terus membiarkan penderitaan Gaza digadaikan oleh satu veto Amerika Serikat? Ataukah kita berani berdiri, meski tahu jalan ini penuh risiko?
Majelis Umum PBB mungkin tak punya palu pemaksa, tapi ia punya suara—dan suara itu adalah gema hati nurani dunia. Suara yang harus terus diulang, di jalanan, di media, di ruang diplomasi, sampai veto tidak lagi menjadi vonis mati bagi rakyat Palestina.
Pada akhirnya, melawan ketidakadilan bukan soal menang atau kalah. Ia soal menjaga martabat, menolak tunduk pada standar ganda, dan mengukir posisi kita di sisi sejarah. Seperti kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia yang masih segar dalam ingatan, “Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sekarang kita sudah melawan. Sekalipun kalah. Tetapi kita harus melawan.”
Itulah pesan yang seharusnya menggema dari Gaza ke seluruh dunia: jangan pernah diam. Sebab, diam berarti memberi izin pada palu godam Amerika Serikat untuk terus menghantam keadilan. Roda sejarah kemanusiaan hanya bergerak maju, jika ada yang berani melawan kezaliman dan menegakkan keadilan.