Pendukung Trump Menentang Intervensi; Washington di Ambang Krisis Kebijakan Luar Negeri
https://parstoday.ir/id/news/world-i179178-pendukung_trump_menentang_intervensi_washington_di_ambang_krisis_kebijakan_luar_negeri
Ancaman militer Presiden Amerika Serikat terhadap Venezuela telah memicu gelombang kritik dari kalangan pendukung sayap kanan hingga para aktivis hak asasi manusia internasional.
(last modified 2025-10-29T04:32:16+00:00 )
Okt 29, 2025 11:26 Asia/Jakarta
  • Pendukung Trump Menentang Intervensi; Washington di Ambang Krisis Kebijakan Luar Negeri

Ancaman militer Presiden Amerika Serikat terhadap Venezuela telah memicu gelombang kritik dari kalangan pendukung sayap kanan hingga para aktivis hak asasi manusia internasional.

Seiring meningkatnya kehadiran militer Amerika Serikat di Laut Karibia dan meningkatnya ketegangan dengan pemerintahan Nicolás Maduro, dua arus utama di ranah politik dan media Amerika kini sepakat mengenai legitimasi dan dampak kebijakan baru Donald Trump terhadap Venezuela.

Harian New York Times melaporkan bahwa sebagian dari para pendukung dan penasihat sayap kanan Trump menyatakan kekhawatiran atas kemungkinan keterlibatan Amerika dalam konflik militer di Venezuela. Kelompok ini, yang mencakup tokoh-tokoh seperti Steve Bannon, Laura Loomer, dan Curt Mills, berpendapat bahwa setiap tindakan militer terhadap pemerintahan Maduro bertentangan dengan slogan anti-intervensi dan prinsip 'America First' yang menjadi dasar kampanye Trump. Menurut mereka, keterlibatan semacam itu tidak hanya akan mahal dan tidak membuahkan hasil, tetapi juga dapat melemahkan basis politik presiden di dalam negeri.

Menurut laporan Pars Today, Steve Bannon, mantan strategi utama Gedung Putih, memperingatkan: 'Apakah ini awal dari versi ketiga neokonservatisme?' — ungkapan yang mencerminkan kekhawatiran akan kembalinya kebijakan intervensi yang pernah mendapat kritik keras setelah perang Irak. Sementara itu, Laura Loomer menyatakan bahwa fokus pemerintah seharusnya pada kerja sama ekonomi dan pembatasan pengaruh Tiongkok di Amerika Latin, bukan pada upaya perubahan rezim di Caracas.

Sebaliknya, The Guardian dalam laporan analitis yang ditulis oleh Kenneth Roth, mantan Direktur Human Rights Watch, mengambil nada yang jauh lebih keras terhadap pemerintahan Trump. Dalam artikelnya berjudul 'Penarikan Pedang Trump terhadap Venezuela adalah Tindakan Ilegal', Roth menulis bahwa tindakan dan ancaman presiden Amerika tidak hanya bermotif politik dan keliru, tetapi juga 'ilegal' menurut hukum internasional.

Menurutnya, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa hanya memperbolehkan penggunaan kekuatan dalam rangka membela diri atau dengan izin Dewan Keamanan — kondisi yang tidak berlaku bagi Venezuela. Ia menegaskan bahwa apa pun pandangan terhadap Maduro, penggulingannya melalui kekuatan militer tidak memiliki legitimasi karena Venezuela tidak pernah melakukan serangan terhadap Amerika Serikat.

Roth juga mengecam upaya pemerintahan Trump untuk membenarkan serangan mematikan terhadap kapal-kapal yang dicurigai terlibat dalam penyelundupan narkotika, dan menyebut tindakan tersebut sebagai 'pembunuhan di luar proses hukum'. Menurutnya, pemerintah dengan melabeli pihak-pihak tertentu sebagai narco-terrorist (teroris narkotika), berusaha melegitimasi tindakan yang pada hakikatnya merupakan eksekusi tanpa pengadilan — sebuah tindakan yang bertentangan dengan norma internasional maupun hukum domestik Amerika.

Artikel tersebut mengingatkan bahwa pembenaran serupa sebelumnya telah digunakan untuk menyerang Irak dan Libya, dan hasilnya menyeret negara-negara tersebut ke dalam kekacauan. Roth memperingatkan bahwa kelanjutan pendekatan ini dapat melemahkan tatanan hukum internasional dan menciptakan 'pola berbahaya berupa kekebalan hukum presiden dari aturan hukum'.

Secara keseluruhan, dua pandangan yang dipublikasikan ini mencerminkan dua kekhawatiran berbeda — dari dalam dan luar struktur kekuasaan Washington: para pendukung politik Trump khawatir bahwa petualangan militer di Venezuela akan menghancurkan basis pendukungnya dan mengosongkan slogan 'mengakhiri perang tanpa akhir,' sementara para pengamat hak asasi manusia dan hukum internasional seperti Roth memandang kebijakan tersebut sebagai ancaman terhadap tatanan hukum global dan kembalinya era intervensi tanpa batas.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan, kedua kubu sepakat pada satu hal: intervensi militer di Venezuela — baik dengan dalih memerangi narkotika maupun untuk mengganti rezim — berisiko tinggi, mahal, dan penuh ambiguitas dari segi moral dan politik.

Sementara Trump menegaskan bahwa langkah-langkah ini merupakan bagian dari 'perang melawan narkotika,' para pengkritik menilai bahwa pendekatan tersebut justru lebih berpotensi menimbulkan ketidakstabilan dan krisis kemanusiaan baru di kawasan. Tampaknya, krisis Venezuela kini bukan hanya ujian bagi pemerintahan Maduro, tetapi juga tolok ukur penting bagi batas kekuasaan dan tanggung jawab Amerika Serikat dalam tatanan internasional masa kini.(PH)