Mengapa Plot Perdamaian Trump untuk Asia Barat Kontradiktif?
https://parstoday.ir/id/news/world-i179328-mengapa_plot_perdamaian_trump_untuk_asia_barat_kontradiktif
Klaim perdamaian Amerika Serikat, terutama pada masa pemerintahan Donald Trump, tidak lain adalah sebuah kontradiksi yang nyata.
(last modified 2025-11-01T04:19:35+00:00 )
Nov 01, 2025 11:08 Asia/Jakarta
  • Mengapa Plot Perdamaian Trump untuk Asia Barat Kontradiktif?

Klaim perdamaian Amerika Serikat, terutama pada masa pemerintahan Donald Trump, tidak lain adalah sebuah kontradiksi yang nyata.

Tehran, Parstoday- Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam berbagai pidato terbarunya berulang kali mengklaim bahwa ia bermaksud menyelamatkan Asia Barat dari perang dan ketidakamanan serta menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut. Namun, klaim ini, lebih dari sekadar tanda adanya perubahan dalam kebijakan luar negeri Washington, merupakan upaya untuk membangun kembali citra Amerika Serikat dan memperoleh keuntungan baru di kawasan yang justru Amerika sendiri menjadi penyebab utama ketidakstabilannya.

Pada kenyataannya, perdamaian yang dijanjikan Trump bukan berarti menegakkan keadilan atau menciptakan keseimbangan kekuasaan, melainkan upaya untuk memaksakan kehendak Amerika Serikat atas bangsa-bangsa di kawasan tersebut.

Kebijakan Intervensif dan Warisan Perang Amerika

Setelah serangan 11 September 2001, kebijakan luar negeri Amerika Serikat berubah dari bersifat defensif menjadi intervensi langsung yang berorientasi militer. Dengan slogan “memerangi terorisme,” Washington memperluas kehadiran militernya di kawasan. Serangan terhadap Afghanistan pada tahun 2001 dan serangan terhadap Irak pada tahun 2003 merupakan dua poros utama kebijakan ini; tindakan yang secara lahiriah diklaim untuk memberantas terorisme dan menyebarkan demokrasi, namun pada praktiknya justru menyebabkan kehancuran lembaga-lembaga pemerintahan, keruntuhan struktur sosial, dan menciptakan kekosongan kekuasaan yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya ekstremisme.

Pengalaman pahit ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak hanya gagal menciptakan perdamaian dan stabilitas, tetapi dengan keputusan yang tergesa-gesa dan tujuan tersembunyi, telah membentuk siklus ketidakamanan yang terus-menerus. Bahkan para pejabat Amerika sendiri dalam beberapa tahun terakhir mengakui bahwa keberadaan militer mereka yang berkepanjangan di Asia Barat tidak menghasilkan apa pun selain melemahkan tatanan politik dan ekonomi kawasan.

Selain intervensi tersebut, dukungan penuh terhadap rezim Zionis menjadi faktor lain dalam meluasnya kekerasan. Dengan mengirimkan miliaran dolar senjata kepada rezim Zionis, Washington secara praktis turut serta dalam kejahatan terhadap rakyat Palestina. Selama dua tahun terakhir, lebih dari 67.000 warga Palestina telah gugur dalam serangan rezim Zionis, dan ratusan ribu ton bom buatan Amerika dijatuhkan di Gaza. Amerika Serikat tidak hanya tidak mengutuk tindakan-tindakan ini, tetapi juga berulang kali memveto rancangan resolusi penghentian perang di Dewan Keamanan. Akibat dari kebijakan tersebut adalah semakin tenggelamnya Timur Tengah dalam kubangan kekerasan, ketidakpercayaan, dan kehancuran.

Trump dan Gaya “Cinta Damai”-nya

Kini Trump tampil dengan citra sebagai penyelamat dan berbicara tentang “Perdamaian Besar Timur Tengah.” Namun, kajian lebih dalam terhadap ucapan dan perilakunya menunjukkan bahwa klaim tersebut pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari kebijakan intervensif lama dengan tampilan yang lebih diplomatis. Ia berupaya memanfaatkan krisis yang ada untuk membangun kembali posisi geopolitik Amerika Serikat dan, dengan slogan mediasi, menciptakan wajah baru dari imperialisme Amerika.

Berlawanan dengan tampilan tenang dalam ucapannya, Trump tidak berniat menarik pasukan atau mengurangi pengaruh Amerika; sebaliknya, ia ingin mengubah struktur dominasi Amerika dari bentuk keras (militer) ke bentuk lunak (politik dan ekonomi). Dengan kata lain, ia menggunakan instrumen “perdamaian” untuk mereproduksi kembali pengaruh lama Amerika Serikat dalam format baru. Inilah kebijakan yang juga dijalankan pada masa jabatan pertamanya melalui Perjanjian Abraham, yang menciptakan perdamaian semu antara beberapa negara Arab dan rezim Zionis tanpa menyelesaikan persoalan utama, yakni pendudukan Palestina.

Sesungguhnya, perdamaian yang dimaksud Trump adalah perdamaian tanpa keadilan. Ia ingin menormalkan hubungan antara bangsa Arab dan rezim Zionis, sementara rakyat Palestina masih hidup dalam blokade dan Gaza tenggelam dalam kehancuran. Bahkan, penentangan Trump sesekali terhadap tindakan rezim Zionis bukanlah karena kepedulian terhadap rakyat Palestina, melainkan demi mengendalikan sekutu yang dengan tindakan ekstremnya bisa mengancam tatanan yang diinginkan Amerika di kawasan. Dalam permainan politik ini, Trump menampilkan dirinya sebagai penyelamat agar dapat memperoleh keuntungan dari dua arah: dari bangsa Arab atas nama perdamaian, dan dari rezim Zionis atas nama keamanan.

Di balik gaya perdamaian semu ini tersembunyi logika lama kehadiran Amerika: logika yang dibangun atas dasar penguasaan sumber energi, pembatasan kekuatan rival (seperti Cina, Rusia, dan Iran), serta menjamin keamanan rezim Zionis. Oleh karena itu, klaim Washington untuk menyelamatkan Timur Tengah bukan hanya tidak memiliki kredibilitas, tetapi justru menunjukkan kelanjutan dari kebijakan yang selama bertahun-tahun telah membakar kawasan ini dalam api perang dan kekacauan.(PH)