Bayang-bayang Keruntuhan Hantui Liga Arab
-
Lambang Liga Arab
Sekjen Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit mengakui, organisasi yang dipimpinnya tengah berada di kondisi tersulit akibat sejumlah anggotanya dilanda krisis selama enam tahun lalu.
Ahmed Aboul Gheit saat menyampaikan pidato di Universitas Iskandariah Mesir seraya menjelaskan bahwa prosentasi besar dari pencari suaka dan pengungsi di seluruh dunia adalah warga Arab, menekankan, hal ini mengindikasikan kedalaman krisis yang dihadapi negara-negara Arab.
Liga Arab sebuah organisasi regional yang mencakup negara-negara Arab di Asia Barat dan Afrika Utara. Organisasi ini dibentuk pada 22 Maret 1945 dengan enam anggota utama yakni Mesir, Arab Saudi, Irak, Suriah, Lebanon dan Yordania. Sementara Yaman kemudian bergabung dengan Liga Arab setelah beberapa hari dibentuk pada 5 Mei 1945. Saat ini Liga Arab memiliki 22 anggota utama dan empat anggota pengawas. Di sisi lain, keanggotaan Suriah di Liga Arab dibekukan sejak November 2011.
Pidato Aboul Gheit terkait krisis negara-negara Arab dirilis di saat kursi Suriah di Liga Arab masih tetap kosong sejak meletusnya krisis di negara ini dan negara-negara anggota tidak melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan isu ini.
Sejatinya Liga Arab malah mensabotase upaya internasional dan regional untuk membantu menyelesaikan krisis Suriah ketimbang bergerak mengakhiri krisis di negara anggotanya tersebut. Liga Arab malah membekukan keanggotaan Suriah, salah satu pendiri organisasi ini. Langkah tak terpuji ini di bawah dikte kekuatan Barat semakin menunjukkan sikap mengekor Liga Arab terhadap kebijakan Barat.
Liga Arab yang diluarnya sebagai simbol persatuan negara-negara Arab untuk menerapkan perdamaian dan stabilitas serta kerjasama lebih besar di seluruh bidang dan dibentuk dengan tujuan ini, namun kini berubah menjadi sebuah organisasi mandul dan alat politik bagi negara lain. Dalam hal ini, Liga Arab hanya merasa cukup merilis statemen tanpa memberikan solusi mendasar bagi krisis kawasan termasuk isu Palestina, krisis Suriah, Yaman dan Libya.
Liga Arab secara praktis berubah menjadi sarana memecah belah negara-negara Arab dan mencegah solusi krisis yang dihadapi negara Arab ketimbang tempat konvergensi dan menyelesaikan beragam kendala.
Sikap dualisme Liga Arab terkait krisis penting yang dihadapi negara Arab kembali menunjukkan wajah sejati organisasi ini bahwa Liga Arab tidak memiliki kesatuan sikap di bidang politik dan internasional.
Kebijakan sepihak ini jelas merusak citra Liga Arab yang selama ini hanya mengejar isu-isu parsial dan lalai menyelesaikan isu utama negara-negara Arab.
Tak diragukan lagi Liga Arab memiliki karakteristik dan kapasitas unggul seperti kesamaan bahasa, agama dan budaya sesama anggotanya dan harapan rakyat negara-negara Arab adalah pejabat mereka memanfaatkan kapasitas ini demi tujuan mulia dunia Islam dan bangsa Muslim.
Selain itu, Liga Arab memiliki cadangan minyak yang besar, termasuk organiasi dengan kapasitas dan fasilitas ekonomi tinggi. Namun demikian, mayoritas negara anggota masih memiliki beragam kendala ekonomi. Selain itu, friksi sesama anggota dan persaingan politik serta tidak adanya kebijakan independen negara anggota dan kepatuhan mereka terhadap kebijakan yang didiktekan Barat mendorong organisasi ini tidak pernah menunjukkan langkah positif dan bermanfaat. Dengan demikian praktisnya Liga Arab tengah mengalami kemunduran di bidang hubungan internasional dan menjadi sebuah perkumpulan mandul.
Merunut transformasi dan perkembangan Liga Arab selama 72 tahun sejak dibentuk, maka kita tidak akan menyaksikan prospek yang jelas bagi organisasi ini dan ini menunjukkan krisis mendalam tengah dialami Liga Arab. Oleh karena itu, mantan petinggi dan pejabat Liga Arab saat ini secara transparan berbicara mengenai kematian organisasi ini dalam waktu dekat.
Di kondisi seperti ini, Ahmed Aboul Gheit, sekjen Liga Arab beberapa waktu lalu dengan transparan mengakui bahwa organisasi regional yang dipimpinnya ini telah kehilangan efektivitasnya dan tengah mengalami keruntuhan. (MF)