Dukungan Kepala Negara Asia dan Eropa atas JCPOA
Meskipun Amerika Serikat adalah salah satu dari enam negara yang melakukan kesepakatan nuklir Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dengan Iran pada Juli 2015, dalam kelompok 5 + 1, tetapi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat selalu mengambil posisi menentang kesepakatan tersebut dan menganggapnya sebagai kesepakatan terburuk. Akhirnya, Trump pada 8 Mei 2018 mengumumkan penarikan diri negaranya dari JCPOA dan menerapkan kembali sanksi nuklir terhadap Iran bulan Agustus dan November 2018.
Meskipun Trump mendesak anggota lain dari kelompok 5 + 1 mengikuti langkahnya, tapi tidak hanya troika Eropa; Jerman, Perancis dan Inggris tidak mengikuti kehendak Amerika Serikat, tetapi Cina dan Rusia sebagai saingan Amerika Serikat juga mengkritik tindakan ini.
Pada saat yang sama, komunitas internasional mengambil langkah yang serupa. Dalam hal ini, para pemimpin negara-negara Asia dan Uni Eropa hari Jumat (19/10) di Paris menyatakan dukungan terhadap JCPOA, menilainya bermanfaat bagi keamanan global, menekankan komitmen kepada JCPOA dan menilainya sebagai kesepakatan internasional yang bermanfaat dan efektif, dimana memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya.
Menurut pihak berwenang Eropa, negara-negara Asia juga menunjukkan keinginan kuat untuk implementasi penuh. Kepala Lebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini pada hari Kamis (18/10) dalam pertemuan dua tahunan Asia-Eropa ke-12 (ASEM) mengatakan, sikap negara-negara Asia dalam pertemuan ini sama dengan Eropa dalam mempertahankan JCPOA.
Uni Eropa dan penandatangan lainnya JCPOA telah menyatakan penentangannya atas tindakan presiden Amerika Serikat yang mundur secara sepihak dari JCPOA dan tetap berusaha untuk mempertahankannya. UE menyatakan telah menyerahkan paket usulan untuk mendukung perdagangan perusahaan-perusahaannya dengan Iran serta membuat mekanisme keuangan yang disebut Mekanisme Special Purpose Vehicle (SPV) untuk menjaga interaksi keuangan Eropa dengan Iran.
Sebelumnya, Moghereni mengatakan bahwa mekanisme keuangan khusus akan diluncurkan pada November 2018. Sementara sikap kelompok ASEM terkait pentingnya mempertahankan JCPOA adalah pukulan lain terhadap kebijakan anti-JCPOA Trump. Dari sudut pandang negara-negara dan lembaga-lembaga anggota ASEM, merusak JCPOA dan membatalkan kesepakatan ini, memiliki banyak efek negatif pada perdamaian dan keamanan internasional.
Namun, anggota Eropa kelompok ini percaya bahwa pembatalan JCPOA akan mempertahankan serius kredibilitas diplomasi Uni Eropa. Pertimbangan ini telah menyebabkan para pejabat senior Uni Eropa, termasuk Mogherini dan beberapa pemimpin Eropa, untuk tetap mempertahankan JCPOA dengan mencermati keefektifannya. Jadi, terlepat dari ancaman Washington, Brussels tetap menekankan untuk melanjutkan langkah-langkahnya demi mempertahankan JCPOA.
Uni Eropa kini mempertimbangkan kesempatan untuk menggelar konfrensi tingkat tinggi ASEM guna menyatakan kesamaan sikap antara Eropa dan Asia dalam mendukung JCPOA. Tentu saja, ini adalah berita buruk bagi pemerintah Trump, mengingat penentangan global terhadap sikapnya mengenai masalah ini dan belum mampu mendapat dukungan kecuali dari sekutu Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel.
Sejatinya, mengingat jumlah negara dalam kelompok ini dapat dikatakan ada semacam konsensus global dalam mempertahankan JCPOA. Kelompok antarbenua ASEM berasal dari Komisi Eropa yang memiliki 28 negara anggota dan 12 negara anggota kerjasama regional ASEAN serta tiga kelompok regional dan sejumlah negara lain seperti Mongolia, Pakistan, Australia, Selandia Baru, India, Bangladesh, Kazakhstan, Rusia, Norwegia, Swiss dan Kroasia. Kini di organisasi ini juga hadir 53 mitra dan 2 organisasi internasional.
Negara-negara anggotanya ASEM mencakup lebih dari 60 persen populasi dan hampir 60 persen produk domestik bruto dunia. Sikap kelompok ASEM adalah bahwa tindakan Trump saat keluar dari JCPOA bertentangan dengan komitmen Amerika Serikat di masa Presiden Barack Obama dalam kerangka Resolusi Dewan Keamanan PBB bernomor 2231 dan juga bertentangan dengan prinsip hukum internasional, yaitu kewajiban untuk mematuhi kewajiban yang telah diterima oleh setiap negara.