Benarkah AS akan Berhenti Jadi Polisi Dunia ?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump selalu menekankan penarikan pasukan Amerika dari berbagai wilayah dunia terutama Asia Barat, dan ini ternyata merupakan salah satu isu utama kampanyenya pada pemilu presiden tahun 2016.
Trump dalam kampanyenya di Pennsylvania menegaskan, kami di Asia Barat, dan beberapa negara lain dunia bersikap sebagai polisi dunia, tapi itu sudah berlalu, dan mulai hari ini setiap negara harus mengenali tugasnya masing-masing.
Kehadiran pasukan Amerika di sejumlah banyak negara dunia terutama di Asia Barat telah menggerus keamanan, dan ketenangan negara-negara itu.
Keterlibatan pasukan koalisi pimpinan Amerika dalam perang Irak melawan Kuwait, adalah awal nyata kehadiran pasukan Amerika di negara-negara Asia Barat dalam kerangka kebijakan "menganggap diri sebagai polisi", kebijakan yang di kemudian hari seiring dengan meningkatnya krisis kawasan, memiliki dimensi yang lebih luas.
Serangan teror 11 September membuka peluang kehadiran luas dan lebih serius Amerika di negara-negara Asia Barat. Di masa ini, doktrin "perang melawan terorisme" dikenal sebagai "doktrin Bush" karena digagas oleh George Bush, dan Kongres Amerika mengeluarkan izin perang kepada presiden Ameirka, terhadap para pelaku, pendukung dan perancang serangan 11 September.
Di sisi lain pasukan Amerika dengan dalih perang melawan terorisme, dikerahkan ke negara-negara kawasan terutama di Irak, dan Afghanistan. Akan tetapi bukannya membantu mewujudkan perdamaian, dan stabilitas, kehadiran militer Amerika justru semakin membuktikan kejahatan, dan kinerja buruk mereka dalam memperluas krisis.
Meskipun demikian, pasukan Amerika tetap dipertahankan di kawasan, bahkan ditambah jumlahnya, dan terlibat dalam krisis di Suriah, Yaman, Somalia, dan Libya dalam beberapa tahun terakhir.
Kehadiran pasukan Amerika menyebabkan negara lain harus menanggung kerugian akibat aktivitas, dan intervensi militer Amerika, karena kerusakan dan perang di negara-negara itu dipicu oleh pasukan Amerika.
Perang-perang ini bagi Amerika tidak membawa hasil apapun. Pejabat Washington yang memimpikan peran sebagai polisi dunia, bukan saja telah menciptakan perang dan kerusakan di negara-negara Asia Barat, bahkan melemahkan masyarakat Amerika sendiri.
Sejumlah laporan menyebutkan, total biaya perang Amerika di Afghanistan, Irak, Suriah, dan Pakistan sejak tahun 2001, sekitar 6,4 triliun dolar. Sementara total anggaran tahun 2020 Amerika adalah 4,7 triliun dolar.
Artinya Amerika menggunakan 1,4 kali lipat anggaran tahun 2020 untuk melancarkan perang-perang di Asia Barat, dan kehadiran militernya di kawasan.
Buah dari kebijakan semacam ini bahkan merusak Amerika sendiri, dan dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan kekacauan, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, infrastruktur yang sudah tua, dan meningkatnya konflik rasial yang terus meluas di Amerika, dikarenakan berlanjutnya kebijakan ini.
Kondisi tersebut menyebabkan Trump berulangkali berjanji akan menarik pasukan Amerika dari berbagai wilayah dunia seperti Suriah, Irak dan Somalia, namun sampai sekarang bukan saja janji itu tidak pernah terwujud, Trump bahkan menambah jumlah pasukan Amerika saat ketakutan, sebagaimana terjadi pada krisis tahun lalu di Teluk Persia, Presiden Amerika mengerahkan armada maritimnya ke wilayah ini.
Pengamat politik, Mohammed Al Manshawi mengatakan, saat ini sekitar 200 ribu tentara Amerika yang ditempatkan di ratusan pangkalan Amerika di sejumlah negara dunia, di sisi lain Trump berulangkali mengaku ingin memulangkan pasukan Amerika ke negaranya. Akan tetapi sejak menjabat tiga tahun lalu, Trump justru telah menambah secara signifikan jumlah pasukan Amerika di Asia Barat.
Kurang dari sebulan lagi pemilu presiden Amerika digelar, sepertinya penekanan soal penarikan pasukan Amerika, dan mengakhiri peran polisi dunia, kembali menjadi jargon politik, dan manuver propaganda Trump, pasalnya sekalipun presiden Amerika percaya dengan kebijakan ini, ia tidak akan bisa menjalankan pemerintahan dengan kebijakan semacam ini. (HS)