Pencopotan Menhan; Pukulan Lain bagi Pemerintahan Trump yang Goyah
Donald Trump, sebagai presiden yang telah memasuki siklus politik dari luar struktur pemerintahan resmi AS, juga telah mengambil pendekatan yang aneh dan tidak konvensional terkait tim pemerintahannya. Dia memegang rekor pencopotan pejabat senior pemerintah sejak menjabat pada 20 Januari 2017. Pemecatan itu juga mengganggu para pejabat dan menteri senior pemerintahan Trump.
Langkah terbaru Donald Trump dalam hal ini adalah pencopotan Menteri Pertahanan AS. Trump mengumumkan di Twitter pada hari Senin (09/11/2020) bahwa Mark Speer telah dipecat, dan menyatakan dirinya telah menunjuk Christopher Miller, Direktur Pusat Kontra Terorisme Nasional, sebagai Penjabat Menteri Pertahanan.
Setelah 14 bulan memimpin Pentagon, Mark ESper adalah menteri terakhir pemerintah Trump yang dipecat melalaui Twitter. Sebelumnya, tiga pejabat di Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) mengumumkan bahwa Esper telah menyiapkan surat pengunduran dirinya dan akan segera mengundurkan diri.
NBC News baru-baru ini melaporkan bahwa Esper berencana mundur sejak tiga bulan lalu karena perselisihan dengan Trump. Dalam wawancara yang dilakukan beberapa hari lalu namun dimuat pada Senin setelah berita pemecatannya, dia mengaku belum mengatakan "Ya Tuan".
Dalam beberapa bulan terakhir, beredar banyak rumor tentang keputusan Trump untuk memberhentikan sejumlah pejabat senior pemerintah setelah pemilihan presiden AS, dan salah satu yang masuk dalam daftar itu adalah Mark ESper. Ini dianggap sangat mungkin karena perbedaan antara Trump dan Esper dalam berbagai kasus yang ada. Perselisihan ini, terutama dalam beberapa bulan terakhir, menjadi begitu publik dan mendalam sehingga tidak mengherankan jika Esper dipecat.
Perselisihan serius pertama antara Esper dan Trump muncul pada Januari 2020 setelah pembunuhan Letnan Jenderal Qassem Soleimani, mantan komandan Pasukan Quds IRGC di Baghdad. Trump mengklaim bahwa Jenderal Soleimani berencana untuk menyerang empat kedutaan besar AS, tetapi Esper mengatakan tidak ada cukup bukti untuk membuktikan bahwa ancaman itu "langsung".
Masalah lain yang memicu perbedaan adalah upaya Trump untuk memenuhi janjinya menarik pasukan AS dari Afghanistan dan Irak, dan keputusannya untuk menarik 12.500 tentara AS dari Jerman sebagai tanggapan atas pengabaian Berlin terkait permintaannya untuk menambah anggaran militer Jerman dan partisipasi yang lebih besar dalam pembiayaan NATO. Esper tidak menyembunyikan ketidakpuasannya dalam sambutannya dalam hal ini, dan penentangannya terhadap masalah ini sangat jauh sehingga Trump berpikir untuk menyingkirkannya untuk pertama kalinya.
Ketegangan antara Trump dan Esper memuncak ketika Esper secara terbuka menentang perintah Trump untuk mengerahkan pasukan ke jalan-jalan Washington dan kota-kota AS lainnya untuk memadamkan protes atas pembunuhan George Floyd. Esper juga berusaha untuk menghapus nama-nama komandan Konfederasi dalam Perang Saudara AS dari pangkalan militer AS, yang membuat Trump kecewa dengan mencermati pendekatan nasionalisnya yang ekstrem. Selain itu, alasan utama pemecatan Esper dapat dianggap sebagai kepribadian otoriter Trump.
Faktanya, Trump, yang dikenal karena otoriterisme dan egoisnya, tidak mentolerir perbedaan pendapat, dan alasannya untuk memberhentikan para pejabat pemerintahannya adalah bahwa pemerintah AS harus menggunakan orang-orang terbaik. Namun, kenyataannya, orang dan pejabat terbaik dari sudut pandang Trump adalah mereka yang tidak diragukan lagi dalam pengabdiannya dan di bawah komandonya. Hal ini justru membuat Trump semakin kesepian setiap hari.
"Donald Trump adalah orang paling kesepian di Amerika Serikat. Karena bahkan kerabatnya menjauhkan diri darinya," kata Ali Omidi, pakar hubungan internasional.
Masalah lain yang menonjol setelah pencopotan Menteri Pertahanan AS adalah kemungkinan petualangan militer Trump di Teluk Persia. Menyusul pencopotan Mark Esper dari jabatannya, beberapa pejabat di Kementerian Pertahanan AS telah menyatakan keprihatinan tentang kemungkinan Trump menyerang negara-negara musuh, termasuk Iran atau negara lain, demikian tulis situs New York Times dalam sebuah artikel. Tentu saja, Washington sangat menyadari bahwa setiap tindakan atau serangan provokatif terhadap Iran akan menghadapi tanggapan yang tegas dan menghancurkan dari Tehran, yang akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan besar pada pasukan dan kepentingan AS di wilayah tersebut.