Seriuskah AS Jalankan Komitmen JCPOAnya dan Mencabut Sanksi ?
Seorang petinggi Amerika Serikat Kamis (22/4/2021) dini hari di sebuah jumpa pers mengatakan, tidak ada jaminan di atas kertas bahwa Amerika tidak akan kembali keluar dari JCPOA.
Menurut laporan situs Deplu AS, diplomat senior ini saat menjawab pertanyaan soal potensi jaminan Washington terkait negara ini akan tetap komitmen terhadap kesepakatan nuklir dengan Iran mengatakan, "Mengenai jaminan di atas kertas, menurut saya sangat jelas bahwa tidak ada jaminan seperti ini."
Tanpa menyebutkan identitasnya, staf senior Kemenlu Amerika ini menjawab pertanyaan dan mengatakan, "Jika pemerintah Joe Biden mencapai kesepahaman dengan Iran dan anggota Kelompok 4+1 lainnya, maka ia memutuskan akan kembali ke JCPOA, itu akan dengan itikad baik dan tidak akan keluar dari kesepakatan ini tanpa alasan. Namun tidak akan ada yang namanya jaminan."
Penekanan kembali AS akan potensi keluar untuk kedua kalinya dari JCPOA, merupakan indikasi dari berlanjutnya pendekatan Washington terkait tidak komitmennya negara ini terhadap kesepakatan internasional. Pemerintah Trump dengan mengabaikan penuh komitmen AS di JCPOA akhirnya keluar dari kesepakatan ini pada Mei 2018 dan menjatuhkan sanksi besar-besaran kepada Iran untuk memaksa Tehran menerima tuntutannya. Meski demikian pendekatan pemerintah Trump akhirnya mengalami kegagalan total.
Sementara pemerintah Biden kini mengklaim siap kembali ke JCPOA dan bersikeras menggelar perundingan bilateral dengan Iran untuk menentukan rute merealisasikan proses kembali ke kesepakatan nuklir. Namun demikian, Washington terang-terangan menekankan bahwa jika AS kembali ke JCPOA, tidak ada jaminan untuk terus menjadi anggota kesepakatan ini. Dengan kata lain, bahkan jika tercapai kesepakatan di kasus ini, tetap masih ada keraguan mengenai apakah Amerika akan terus melaksanakan komitmennya di JCPOA atau tidak.
Pemerintah Biden menilai kesepakatan potensial terkait kembali ke JCPOA pada dasarnya sebuah kesepakatan sementara dan mengikuti pendekatan setiap presiden yang berkuasa di Amerika Serikat. Masalah ini telah terbukti.
Alasan Washington di era pemerintahan Trump untuk melanggar komitmennya di JCPOA adalah kesepakatan ini tidak diratifikasi di DPR, sehingga ia menganggap tidak ada larangan atau kendala untuk keluar dari kesepakatan ini. Selain itu, Trump mengklaim bahwa JCPOA tidak menjamin kepentingan Amerika dan juga tidak disebutkan langkah efektif di perjanjian untuk untuk mencegah kemajuan nuklir Iran.
Isu lain yang ditekankan staf senior Kemenlu AS ini adalah, Amerika hanya akan membahas masalah sanksi yang harus dicabut sesuai dengan JCPOA. Faktanya, pemerintah Biden seraya membagi sanksi dengan yang dapat dicabut, dinegosiasikan dan tidak dapat dicabut, sejatinya hanya menekankan pencabutan atau penangguhan golongan pertama sanksi dengan syarat Iran melaksanakan secara penuh komitmen JCPOAnya dan kembali ke kesepakatan ini.
Hayes Brown, pakar politik AS dan sekretaris editorial televisi MSNBC seraya mengakui kesalahan Washington atas kondisi rentan JCPOA mengatakan, "Sangat menggelikan bahwa pemerintah Biden mengatakan Iran yang pertama harus kembali ke JCPOA."
Robert Malley, utusan khusus AS untuk urusan Iran dan juga ketua tim AS di perundingan Wina mengatakan bahwa petinggi Washington hanya akan membahas masalah sanksi yang melanggar JCPOA dan oleh karena itu, tidak ada peluang pencabutan seluruh tindakan hukuman yang dijatuhkan dengan klaim Tehran mendukung terorisme.
Dengan demikian, pemerintahan Biden tidak hanya skeptis tentang terus mematuhi JCPOA, bahkan jika ia kembali, tetapi juga tidak mau mencabut sanksi sepihak dan ilegal yang dijatuhkan oleh pemerintahan Trump. Dapat dikatakan bahwa pendekatan pemerintah Biden adalah melanjutkan pendekatan pendahulunya, Donald Trump, terkait Iran di mana kegagalan kebijakan tersebut kini telah terbukti. (MF)