Metode Penyebaran Wahabi di Indonesia
Presiden RI Joko Widodo pada 10 Juli 2017 menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembubaran Organisasi Masyarakat. Jokowi menegaskan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang menjadi dasar pencabutan status badan usaha sebuah ormas, tidak dikeluarkan secara asal-asalan. Pemerintah sudah mengkaji penerapannya sejak lama.
Komunitas agama, politik, dan bahkan keamanan memperingatkan tentang akar ekstremisme di Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) meskipun berstatus badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI, namun para pejabat keamanan Jakarta percaya bahwa HTI mengusung misi pembentukan khilafah di negara ini.
Rakyat Indonesia dikenal toleran dan cinta damai, tapi sejak dekade 1970-an dengan invasi budaya dan ideologi Wahabi Arab Saudi ke Indonesia, benih-benih kekerasan dan ekstremisme mulai tumbuh di negara ini. Para mubaligh Saudi menggunakan banyak metode untuk menyebarkan faham Wahabi di tengah masyarakat, akademisi dan kalangan pemerintah. Pemerintah Indonesia – dalam kerangka hubungan bilateral dengan Saudi – juga tidak mengambil tindakan serius untuk melarang kegiatan dakwah Wahabi di Tanah Air.
Pemerintah RI tidak tertarik untuk menghentikan dakwah Arab Saudi menyebarkan faham Wahabi, karena khawatir kuota haji negara itu akan dipangkas. Pada dasarnya, Wahabisme tumbuh subur di Tanah Air selama periode kekuasaan Soeharto dan selama masa itu, banyak pemuda yang dikirim untuk belajar di Arab Saudi.
Jadi, rezim Al Saud mengadopsi beberapa metode untuk menyebarkan faham Wahabi di Asia Tenggara terutama Indonesia. Pertama, memberikan beasiswa kepada para pelajar Indonesia untuk belajar di dalam negeri atau di universitas-universitas mereka di Arab Saudi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta – yang bernaung di bawah Universitas Islam Muhammad bin Saud – menyediakan banyak beasiswa untuk pelajar Indonesia dan juga memberikan uang saku kepada mereka.
Para mahasiswa kemudian akan dikirim ke Saudi untuk mengikuti studi lanjutan dan ada kabar yang menyebutkan bahwa setelah kembali ke Tanah Air, mereka akan menduduki jabatan dan posisi bagus di pemerintahan dan ormas-ormas keagamaan.
Metode kedua, Arab Saudi memanfaatkan tempat-tempat keagamaan seperti masjid dan pesantren untuk menyebarkan ajaran Wahabi di Indonesia. Ketiga, menerbitkan buku dan selebaran seperti buku tentang fatwa anti-Syiah di Indonesia, yang memicu serangan luas kubu ekstrim terhadap komunitas Syiah dalam beberapa tahun terakhir.
Fareed Zakaria dalam artikelnya di surat kabar The Washington Post menulis, "Arab Saudi telah menciptakan monster di dunia Islam dengan nama Wahabisme, di mana mendorong dunia ke arah kekerasan dan konflik."
Metode keempat, para penguasa Saudi menyalahgunakan Al-Haramain Al-Sharifain untuk menyebarkan faham Wahabi di dunia. Mereka mengesankan kesesatan mazhabnya sebagai sebuah kebenaran untuk menipu masyarakat awam. Dan kelima, rezim Al Saud menggunakan pendapatan minyak yang dialokasikan secara khusus untuk penyebaran faham Wahabi. Dalam metode ini, Arab Saudi mendirikan badan-badan amal dan mengirim para mubaligh ke seluruh pelosok Indonesia untuk misi dakwah.
Menurut Ali Munhanif, peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, kebangkitan Salafisme di Indonesia tak lepas dari peran sejumlah lembaga, organisasi dan institusi pendidikan yang didanai Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka memberi beasiswa pada orang Indonesia untuk belajar di sana dengan harapan membawa paham itu ketika pulang.
Dalam hal ini, koran The Jakarta Post menulis, "Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyatakan keprihatinan terhadap para ulama konservatif di Indonesia yang menyebarkan Wahabisme dan sekaligus menyerukan penganiayaan terhadap kalangan minoritas Syiah."
Untuk menghilangkan jejaknya, para penguasa Saudi tidak menyatakan dukungan kepada ormas tertentu, tapi fokus menyebarkan ideologi dan pandangan ekstrimnya pada skala nasional Indonesia. Meskipun sejumlah ormas Islam dan lembaga amal Indonesia menerima anggaran dari Riyadh, namun kebijakan para penguasa Al Saud adalah memanfaatkan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok ekstrim seperti Hizbut Tahrir dan Front Pembela Islam (FPI).
Dennis Ignatius, mantan diplomat senior Malaysia percaya bahwa Wahabisme dan ekstremisme Islam pada umumnya menimbulkan masalah bagi masyarakat di Asia Tenggara. Jelas, ekstremisme yang berkembang ini tidak terjadi dalam ruang hampa dan akar-akarnya juga tidak berasal dari Asia Tenggara. Pakar keamanan semakin yakin bahwa ideologi Wahabi yang diekspor secara agresif oleh Arab Saudi merupakan satu-satunya penyebab ekstremisme terbesar di wilayah ini. Wahabisme adalah interpretasi Islam yang sangat ganas, sempit, dan militan.
Meskipun Arab Saudi telah berusaha selama hampir lima dekade untuk menyebarkan faham Wahabi di Indonesia, namun tingkat keberhasilan yang mereka raih tidak sesuai harapan. Di sini ada beberapa faktor yang menghambat laju penyebaran Wahabi di Tanah Air. Pertama, masyarakat Indonesia menganggap Wahabisme dan Salafisme sama dengan ekstremisme dan agresivisme, di mana sama sekali tidak cocok dengan kultur mereka.
Kedua, di desa-desa, keyakinan agama masyarakat Indonesia masih bercampur dengan kepercayaan lokal, di mana ia benar-benar tidak sesuai dengan ajaran Wahabi Saudi yang kasar dan agresif. Ketiga, hambatan kesuksesan Wahabisme di Indonesia juga disebabkan oleh kegiatan ormas-ormas keagamaan anti-Wahabi seperti Nahdlatul Ulama (NU).
Dan keempat, perilaku buruk penguasa Saudi dan para majikan di negara itu terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya perempuan, telah memicu kemarahan dan sentimen anti-Saudi di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, para penguasa Arab Saudi berusaha memperluas zona penyebaran Wahabi ke seluruh Asia Tenggara dan tidak hanya fokus di Indonesia dan Malaysia.
Para ulama Arab Saudi secara agresif ingin menyebarkan faham Wahabi di berbagai negara dunia dan rezim Al Saud memanfaatkan Wahabisme sebagai salah satu alat untuk memajukan kepentingannya. Para pakar Barat memperkenalkan Wahabisme sebagai tantangan penting keamanan dunia pasca Komunisme. Surat kabar The New York Times menulis, "Upaya Arab Saudi untuk menyebarkan Wahabisme telah memicu ekstremisme dan terorisme di dunia."
Perlu dicatat bahwa Arab Saudi merupakan sekutu dekat Amerika Serikat dan sebenarnya Wahabisme adalah ideologi kelompok-kelompok teroris, yang digunakan oleh Washington sebagai alat untuk memajukan kepentingan dan tujuannya di dunia.
William McCant, pakar di Institut Brookings Amerika mengatakan, "Keluarga Kerajaan Saudi menyulut konflik dengan menyebarkan faham berbahaya Wahabisme di dunia, dan menariknya Saudi menjadi mitra strategis AS dalam perang yang disebut kontra-terorisme."
Singkat kata, melawan pemikiran-pemikiran sektarian Wahabisme di berbagai negara dunia termasuk Indonesia, membutuhkan penanganan serius dengan cara memberi pencerahan kepada masyarakat khususnya generasi muda. Dalam hal ini, para ulama memikul tanggung jawab yang berat. (RM)