Epik Perempuan di Perang Pertahanan Suci
(last modified Mon, 26 Sep 2022 09:12:34 GMT )
Sep 26, 2022 16:12 Asia/Jakarta
  • Peran perempuan di masa perang Iran-Irak
    Peran perempuan di masa perang Iran-Irak

Seiring dengan meletusnya perang yang dipaksakan pada 31 Shahrivar 1359 Hs (22 September 1980), kaum perempuan sebagai bagian penting di masyarakat Iran, menciptakan epik bersejarah dengan keberanian yang tak terlukiskan di wilayah perbatasan termasuk di Khorramshahr, Susangerd, Ahvaz, Mehran dan...

Kaum wanita ini sejatinya prajurit tak dikenal yang membawa beban berat logistik front perang dan beberapa tugas lainnya. Serangan musuh yang tiba-tiba di daerah perbatasan dan juga pemboman udara di kota-kota mengharuskan perempuan untuk hadir langsung di medan perang.

Faktor penggerak dan gerakan perempuan dalam menjalankan kewajiban sosial mengambil teladan dari para wanita di awal Islam dan perempuan di zaman Rasulullah Saw, khususnya Sayidah Fatimah Az-Zahra dan Sayidah Zainab as yang aktif berpartisipasi di kegiatan sosial berdasarkan ideologi Islam dan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan data list syuhada perang pertahanan suci, sebanyak 6.428 perempuan Iran gugur sepanjang perang ini, dan mayoritas dari mereka gugur dalam pemboman dan serangan rudal ke berbagai kota di negara ini. 500 di antara syuhada perempuan tersebut adalah pejuang di medan tempur. Mayoritas syuhada perempuan ini adalah gadis dan 2500 di antaranya berusia antara 10-30 tahun.

Selain itu, selama delapan tahun perang yang dipaksakan (Iran-Irak) yang berlangsung 8 tahun, sebanyak 22.802 tim penyelamat dan 2.276 dokter perempuan dikirim ke medan perang. Menurut data Yayasan Veteran dan Urusan Veteran Cacat yang dirilis tahun 2002, jumlah veteran perempuan yang mengalami cacat sebanyak 5.735 orang dan di antara mereka 3.075 mengalami cacat di atas 25 persen.

Sementara itu, tidak ada data yang jelas mengenai jumlah tawanan perempuan Iran selama perang Iran-Irak, tapi di sejumlah sumber disebutkan terdapat sekitar 171 tawanan perempuan selama perang delapan tahun ini.

Selama delapan tahun perang yang dipaksakan, meskipun sebagian besar pendapatan negara dihabiskan untuk melengkapi zona tempur, karena luasnya medan perang, durasi konflik yang panjang, blokade ekonomi dan situasi ekonomi domestik yang tidak menguntungkan, pemerintah tidak dapat menanggung semua biaya untuk mendukung medang perang.Intervensi kekuatan rakyat sangat diperlukan dalam mendukung perang.

Sementara itu, perempuan memainkan peran penting dalam bidang ini dengan berpartisipasi aktif di pusat dukungan logistik dan perang. Wanita tidak hanya membantu pria dengan menggali parit dan menyiapkan makanan untuk tentara dan melindungi amunisi, tetapi juga bertempur di garis depan melawan musuh rezim Baath dengan pelatihan militer yang telah mereka jalani di tingkat dasar. Beberapa kegiatan perempuan untuk mendukung garis depan antara lain membuat markas pengumpulan bantuan umum di masjid dan sekolah, memilah dan mengirim segala macam kebutuhan pejuang, memperbaiki peralatan, merenovasi peralatan dan menyediakan makanan, pakaian, dan pakaian hangat.

Esmat Ahmadian, ibu dari dua syahid dan veteran Perang Pertahanan Suci, yang pergi ke medan perang sebagai pengemudi van selama bertahun-tahun dan mendukung para pejuang selama delapan tahun Pertahanan Suci di Ahvaz. Dari mencuci pakaian hingga menyiapkan sarapan untuk para pejuang, ini hanyalah sebagian dari pekerjaan yang dilakukan wanita jihadis ini pada tahun-tahun itu. Memasuki bidang konstruksi membuatnya menjadi seorang pengusaha. Dia mengatakan: "Perang adalah fenomena yang buruk. Tapi medan perang dan orang-orangnya menyenangkan, dan pertahanan adalah hal yang suci."

Fatima Navab Safavi, cucu dari Syahd Nawab Safavi adalah salah satu wanita pemberani yang pergi ke Bahman Shir sebagai pengintai selama perang yang dipaksakan oleh rezim Baath Irak terhadap Republik Islam Iran. Dengan informasi yang efektif dan berguna yang dia berikan tentang posisi musuh, dia memainkan peran yang menentukan dalam keberhasilan operasi. Dalam pertemuan terakhir, ia terlihat membawa jenazah seorang syahid. Ternyata dia kembali dari operasi gerilya yang sukses.

Majideh Naghravi, selama operasi pembebasan Susangerd pada 26 Aban 1359 Hs (17 November 1980) berhasil melucuti senjata enam prajurit dan perwira musuh serta menawan mereka. Ia mengatakan, "Ketika tentara Irak kalah di Hamidiyeh, serdadu musuh secara membabi buta menembaki warga karena takut dan berusaha melarikan diri, tapi mereka tidak mengetahui jalan menuju perbatasan. Ketika enam serdadu musuh mendekati rumah kami, saya mengatakan kepada mereka, jika kalian maju kedepan, maka kalian akan dikepung warga dan pasukan Sepah Pasdaran (IRGC) dan kalian akan terbunuh. Segera kalian masuk ke rumah dan duduklah di ruang tamu serta serahkan senjata kalian supaya aku sembunyikan. Mereka menuruti kata-kataku. Ketika mereka telah dilucuti senjatanya, saya kunci ruang tersebut dan saya memanggil warga. Dengan senjata rampasan tersebut, saya giring enam prajurit Irak ke masjid.

Dengan berani dapat dikatakan bahwa dukungan dan daya tahan yang muncul dari para wanita Iran selama perang yang dipaksakan belum pernah terjadi sebelumnya kapan saja dan di wilayah mana pun di dunia. Menurut ungkapan pemimpin tinggi Revolusi Islam atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei: "Jika perempuan tidak menyanyikan epos perang dan tidak menganggap perang sebagai nilai di rumah mereka, laki-laki tidak akan menemukan keinginan dan motivasi untuk berperang, dan sejumlah besar pejuang Basij tidak akan pergi ke medan perang."

Masoumeh Abad

Pada hari-hari awal perang, Dr. Masouma Abad bekerja sebagai anggota Bulan Sabit Merah dan perwakilan gubernur dalam sistem rumah kota. Dalam salah satu misi, dia ditangkap oleh pasukan Irak bersama tiga wanita lainnya. Dia dipenjarakan di kamp-kamp Irak selama empat puluh bulan dan dibebaskan pada tahun 1362 Hs (1983). Dari sudut pandangnya: "Tertawannya tubuh tidak seberapa di bandingkan dengan tawanan jiwa. Mereka yang berdiri teguh dan memiliki kehormatan dan martabat yang baik dengan kesabaran dan ketabahan tahu bahwa tawanan yang sebenarnya adalah mereka yang menjual jiwanya dengan harga murah untuk memelihara tubuh yang hina dan tidak berarti tanpa jiwa manusia."

Dr. Abad mengatakan tentang aktivitas perempuan di Republik Islam: "Dalam cara berpikir Islam, perempuan tidak pernah terpisah dari masyarakat umum dan kegiatan sosial. Sistem Islam menganggap setiap kemajuan dalam masyarakat bergantung pada kehadiran aktif dan bersemangat dari kelas besar ini bersama dengan yang lain. Di antara layanan terpenting yang dihasilkan dari pemikiran ini, kita dapat menyebutkan pemulihan identitas dan rasa percaya diri kepada perempuan dan anak perempuan masyarakat saat ini, yang dapat kita lihat membuahkan hasil baik di arena nasional maupun internasional.

Peran budaya perempuan selama perang juga berdampak besar, yang diwujudkan dalam kasus-kasus seperti: propaganda, memuji dan menghormati para syuhada, menghadapi orang-orang munafik dan desas-desus anti-revolusioner, mengubur jenazah para syuhada dan memperingatinya. Menulis, meliput, menulis cerita, menulis puisi dengan topik perang dan pertahanan suci, dan melakukan kegiatan jurnalistik dan media diamati.

Karena kehadiran mereka yang efektif dalam pertahanan suci, kaum perempuan ini telah menjadi narator yang baik pada zaman itu dan telah memainkan peran dalam literatur keberlanjutan dan literatur pertahanan suci. Kenangan hidup perempuan sebagai tawanan dan veteran, narasi manis dan sekaligus menyakitkan dari para ibu, istri dan anak-anak para syuhada yang menggambarkan keindahan kehidupan para martir mereka, serta kenangan para penyelamat dan dokter perempuan dari era itu, telah menghiasi sejarah perlawanan dan pengorbanan di negara kita.

Zahra Hosseini, narator di buku One Woman's War: Da (Mother) termasuk salah satu perempuan yang aktif terlibat dalam proses pengkafanan dan pemakaman para syuhada. Saat itu, ia baru berusia 17 tahun dan dengan tangannya sendiri ia meletakkan ayah dan saudaranya yang syahid di liang lahat. Ia terluka selama membela Khorramshahr dan pecahan peluru bersarang di sumsum tulang belakangnya, yang selalu bersamanya setelah itu dan dia harus menanggung rasa sakit. Meski demikian, ia tidak duduk diam dan senantiasa berusaha memberi pelayanan untuk medan perang dan rakyat. Laporan Hosseini terkait perang sangat menakjubkan, serta tidak menyerupai berbagai buku yang ditulis baik oleh orang Iran lainnya atau asing terkait perang. Di bukunya, tampak dengan jelas pengorbanan dan semangat keimanan yang membuat hati manusia bergetar.

Azam Hosseini dan Zahra Hosseini

Pada tahun-tahun awal Revolusi Islam, Imam Khomeini menyampaikan khutbah pernikahan "Fahima Babaianpour" dan syahid "Gholamreza Sadeghzadeh". Ketika Imam Khomeini meminta kuasa Fahima untuk mengucapkan akad nikah, Fahima mengatakan kepada Imam dengan suara yang jelas: "Jawaban positif saya bersyarat!" Orang-orang di sekitar bertanya dengan heran: Bagaimana kondisinya? Fahima berkata kepada imam: "Dengan syarat doa Anda untuk kesyahidan kami berdua di dunia ini dan penerimaan syafaat kami di akhirat." Semangat mencari kesyahidan ini membuat Imam Khomeini yakin akan kemenangan dan dia berkata: “Setiap kali saya melihat wanita terhormat yang siap untuk tujuan kami menjalani kesulitan dan bahkan kesyahidan dengan tekad yang kuat, saya yakin bahwa jalan ini akan berakhir pada kemenangan.

Dan begitulah yang terjadi. Dengan kesadaran dan pengorbanan diri mereka, para wanita bergegas membantu para pejuang pemberani untuk melestarikan sistem suci Republik Islam, dan dengan keberanian dan dedikasi mereka yang tak terlukiskan, mereka menorehkan lembaran emas ke dalam sejarah keberanian di negara ini. Imam Khomeini berkata: “Saya bangga dengan kelas besar ini yang, dengan kehadiran mereka yang berharga dan berani di arena pertahanan, telah membawa kemenangan bagi tanah air Islam, Al-Qur’an dan revolusi, dan sekarang mereka aktif di depan dan di belakang garis depan dan siap berkorban."