Nov 14, 2022 19:57 Asia/Jakarta
  • Aktiivitas perempuan di Iran
    Aktiivitas perempuan di Iran

Kondisi perempuan di keluarga, sosial, ekonomi dan politik selama masa jahiliyah penuh dengan kezaliman dan kegelapan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perubahan mendasar Islam adalah memperbaiki posisis dan kedudukan manusiawi dan sosial perempuan. Islam di hak-hak sosial, seperti hak memilih pasangan, kesaksian, partisipasi sosial dan politik, sangat memperhatikan kepentingan perempuan, dan jika ada pembatasan di bidang ini, tentunya sekedar untuk hal ini bahwa perempuan tidak akan menderita kerugian sekecil pun di isu-isu sosial.

Perempuan sebelum Islam bahkan tidak memiliki hak kemanusiaan paling mendasar. Bangsa Arab jahiliyah meyakini bahwa perempuan diciptakan dari bahan yang lebih rendah daripada pria dan memiliki status sebagai komoditas dan dianggap sebagai bagian dari milik ayah atau suaminya. Sumber sejarah Arab memaparkan laporan gelap dan mengenaskan dari kondisi perempuan di zaman jahiliyah. Pria di masa jahiliyah adalah pemilik keluarga dan berkuasa atas kehidupan wanita. Di era jahiliyah, perempuan tidak dianggap setara dengan manusia lainnya, tapi manusia nomor dua. Di perang orang-orang jahiliyah, wanita adalah faktor yang memotivasi dan menggairahkan untuk pertempuran. Prajurit berjuang untuk melarikan diri dari rasa malu karena menangkap wanita dan anak perempuan mereka, dan musuh juga menggunakan pedang untuk menangkap mereka.

Namun dengan kemunculan Islam dan penerapan keadilan ilahi, kaum perempuan seperti pria juga mendapat hak materi dan spiritual. Islam agama kesetaraan, dan hanya iman dan takwa sebagai tolok ukur keunggulan dan kemuliaan seseorang. Agama Islam tidak membeda-bedakan perempuan dan laki-laki untuk kehormatan manusia. Nyawa, harta, kehormatan dan keyakinan serta pendapat manusia, seluruhnya patut dihormati, dan kehormatan mereka harus dijaga. Kehormatan yang ditetapkan Islam bagi manusia, oleh karena itu, manusia dinyatakan sebagai khalifah Tuhan di bumi dan untuk kekhilafahan ini, tidak disebutkan perbedaan gender antara pria dan wanita.

Faktanya, salah satu kebanggaan sistem hukum Islam adalah mengakui secara resmi hak ekonomi, politik, keluarga, peradilan dan ibadah wanita, dan dengan memperhatikan posisi wanita sebagai istri dan ibu serta menetapkan mahar dan fiqih baginya, maka hal itu memelihara hak-hak individu, keluarga dan sosial perempuan.

Selama periode Arab Jahiliyah, aturan umum dalam warisan adalah bahwa hanya laki-laki yang menjadi pejuang suku yang menjadi ahli waris, dan perempuan dan anak-anak dirampas dari hak warisan. Orang Arab tidak menganggap perempuan sebagai manusia, dan perempuan tidak hanya dirampas dari hak warisan, tetapi juga dianggap sebagai barang dan diwariskan kepada ahli waris sebagai bagian dari warisan. Islam membawa revolusi di bidang warisan dan merupakan sistem hukum pertama di dunia yang memberikan hak kepada perempuan untuk mewarisi dan menghapuskan semua hukum kejam pada zaman Jahiliyya, yang didasarkan pada kepercayaan dan adat kesukuan.

Seiring dengan munculnya Islam dan turunnya ayat 7 Surat An-Nisa, prinsip berbagi apa yang ditinggalkan almarhum antara laki-laki dan perempuan diakui dan hubungan hukum baru muncul di mana perempuan juga mendapat manfaat dari warisan. Oleh karena itu, Allah Swt di ayat ketujuh Surat An-Nisa berfirman yang artinya, "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan".

Agama Islam mengakui prinsip independensi finansial wanita dan pria serta hak pengelolaan dan penggunaan wanita atas hartanya, juga merupakan prinsip yang diakui secara pasti oleh fiqih Syiah. Berdasarkan hal ini, perempuan di masalah keuangan dan ekonomi sepenuhnya bebas, dan dapat mengelola hartanya sendiri, tanpa perlu minta ijin dari suami.

Peran dan kedudukan yang tentukan Islam bagi perempuan di bidang politik dan sosial, tidak lebih rendah dari pria. Seperti yang diisyaratkan ayat 71 Surat At-Tawba atas salah satu tanggung jawab penting sosial bagi pria dan wanita. Ayat ini menyatakan, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Oleh karena itu, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran adalah tugas perempuan dan laki-laki. Dengan demikian keduanya melalui peran mendasar dan sosialnya, harus berpartisipasi aktif di sosial dan berusaha untuk memperbaiki masyarakat.

Untuk memahami akar sejarah Islam akan partisipasi perempuan di bidang politik dan sosial, dapat dicermati di masalah baiat perempuan dengan Rasulullah Saw. Di agama Islam, baiat dimanfaatkan untuk menerima kepemimpinan Rasulullah Saw dan tidak memberontak kepada beliau atau menyimpang dari perintahnya.

Secara historis, ikrar baiat perempuan pertama kali muncul di era Nabi (SAW) disebut sebagai "Baiat an-Nisa". Kehadiran perempuan dalam sumpah setia ini sangat mengejutkan di saat perempuan dirampas hak-hak individu dan sosialnya. Ikrar kesetiaan wanita kepada Rasulullah (Saw) terjadi di Perjanjian Hudaybiyah dan penaklukan Mekah, dan itu dalam bentuk lisan. Selama peristiwa Ghadir, wanita bersumpah setia kepada Imam Ali as dengan meletakkan tangan mereka di panci air.

Allah Swt di Surat al-Mumtahinah ayat 12 terkait baiat perempuan kepada Rasulullah Saw di hari Fathul Makah (penaklukan kota Mekah) berfirman, " Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Sementara di Iran, mengingat partisipasi politik wanita dan pria setara, hak suara perempuan di Iran diakui secara resmi sejak tahun 1962 dam perempuan seperti laki-laki memiliki saham untuk menentukan nasib negara.

Jihad juga merupakan salah satu elemen penting dari budaya politik Islam. Sejarah Islam menunjukkan bahwa perempuan bisa hadir di bagian penting dari urusan yang berkaitan dengan jihad, karena jihad bukan hanya tentang berada di benteng dan menembak. Perempuan juga dapat memberikan bantuan dan dukungan logistik di garis depan. Bawakan air dan perbekalan untuk para prajurit dan merawat yang terluka.

Fakta bahwa jihad dan berperang bukanlah kewajiban seorang wanita tidak berarti bahwa seorang wanita tidak boleh berjihad, tetapi jihad tidak dianggap sebagai kewajiban bagi seorang wanita. Juga, tidak diperbolehkan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam jihad utama jika mereka adalah penggagasnya. Tetapi dalam perang defensif di mana umat Islam bukan penggagas perang dan harus mempertahankan tanah mereka dari serangan musuh, seorang wanita bahkan dapat menjadi komandan tentara wanita. Karena tidak ada pembelaan khusus bagi laki-laki dan perempuan, dimanapun ada pembelaan, maka perempuan hadir disamping laki-laki.

Kondisi perempuan di keluarga, sosial, ekonomi dan politik di masa jahiliyah sangat zalim dan gelap. Oleh karena itu, dapat dikatakan salah satu perubahan mendasar yang dibawa Islam adalah memperbaiji posisi manusiawi dan sosial perempuan. Islam di hak-hak sosial, seperti hak memilih pasangan, kesaksian, partisipasi sosial dan politik, sangat memperhatikan kepentingan perempuan, dan jika ada pembatasan di bidang ini, tentunya sekedar untuk hal ini bahwa perempuan tidak akan menderita kerugian sekecil pun di isu-isu sosial.

Sementara itu, di pemerintahan Republik Islam, wanita muslimah aktif di tengah masyarakat, dan mereka memiliki saham di keputusan politik yang besar. Di sistem ini, posisi kemanusiaan perempuan sebagai seorang perempuan tetap dijaga, berbeda dengan perempuan di masyarakat Barat, di mana mereka diperlakukan layaknya barang dan komoditas serta untuk memuaskan syahwat laki-laki.

Pamimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyebut masyarakat Barat sebagai patriarki, karena meyakini bahwa mereka menginginkan perempuan untuk laki-laki. Rahbar mengatakan, "Salah satu indiksi patriaki Barat adalah perempuan diinginkan untuk laki-laki, karena itu mereka mengatakan, perempuan harus berhias sehingga laki-laki dapat bersenang-senang ! Ini adalah patriaki, ini bukan kebebasan perempuan. Ini sejatinya kebebasan pria ! Mereka menginginkan pria bebas, bahkan untuk kenikmatan visual. Oleh karena itu, mereka mendorong wanita untuk melepas hijab, berhias dan pamer dihadapan pria."

 

 

Tags