Festival Film Fajr ke-37, dari Sinema Perang hingga Ketangguhan Sutradara Perempuan
(last modified Mon, 18 Feb 2019 08:23:36 GMT )
Feb 18, 2019 15:23 Asia/Jakarta
  • Festival Film Fajr ke-37
    Festival Film Fajr ke-37

Festival Film Fajr yang merupakan momentum terbesar tahunan sinema Iran berakhir 11 Februari yang bertepatan dengan peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran ke-40. Pada festival kali ini, dewan juru mengumumkan para pemenang yang diberikan penghargaan dengan berbagai kategori masing-masing.

Ketua Panitia Festival Film Fajr ke-37, Ebrahim Daroghazadeh dalam penutupan acara mengatakan, tahun 1397 Hs menjadi tahun paling banyak pengunjung bagi sinema Iran selama dua dekade terakhir. Tahun ini juga menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap sinema Iran yang menyambut beragam film dengan berbagai kategori dari perang pertahanan suci, perlawanan, hingga anak-anak dan seni. Menurutnya di tahun ini pula, bertambah sekitar 100 ruangan baru untuk gedung sinema di seluruh Iran.

 

Daroghzadeh dalam pidato sambutannya juga menyinggung kehadiran karya-karya sinema Iran dari film pendek, dokumenter hingga karya sinema yang berhasil menembus pentas dunia di tengah gejolak ekonomi domestik yang dipicu oleh sanksi luar negeri. Tingginya antusiasme dan tingkat kepuasan penonton terhadap karya-karya yang ditayangkan menunjukkan posisi sinema Iran yang menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, dan lebih dari itu bisa bersaing di arena internasional.

Ketua panitia Festival film Fajr ke-37 juag menyinggung sejumlah masalah teknis dalam industri sinema yang mengalami kemajuan signifikan. Menurutnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dalam industri sinema Iran dilihat dari keragaman gaya yang lebih beragam, perhatian kalangan sinema terhadap sejarah Iran dan masalah sosial yang terjadi dewasa ini, perang pertahanan suci, dan tema sejarah kontemporer Iran.

Salah satu film yang diumumkan meraih penghargaan  adalah film "23 Nafar" (23 Orang). Film besutan sutradara Mehdi Jafari yang meraih penghargaan film terbaik nasional ini bercerita tentang kelompok remaja Iran di era perang dengan Irak tahun 1980. Film berdasarkan kisah nyata ini menceritakan sejarah para remaja berusia sekitar 13 hingga 17 tahun ini kebanyakan dikirim dari brigade Sarallah Kerman Ketika Khoramshahr jatuh ke tangan pasukan Irak, sejumlah pasukan Iran ditawan, termasuk ke-23 orang remaja tersebut.

 

 

 

Saddam Hossein mengetahui kehadiran 23 orang remaja tersebut dan memerintahkan mereka untuk dipisahkan dari tawanan Iran lainnya. Tidak hanya itu, ia juga meminta mereka untuk datang ke istana Baghdad. Rezim Saddam berupaya memanfaatkan penahanan ke-23 orang tawanan remaja ini untuk kepentingan dirinya.

Di depan kamera yang disiarkan televisi Irak, Saddam mencoba menarik perhatian dengan mengungkapkan rasa sedih atas penangkapan para remaja Iran ini. Secara simbolis datang seorang remaja putri Irak bernama Hala yang memberikan bunga kepada mereka. Ketika itu, Saddam di depan kamera berjanji akan mengembalikan mereka ke Iran dengan melibatkan palang merah internasional. Tapi di luar perkiraan, ke-23 anak itu melakukan aksi mogok makan dan meminta mereka digabungkan bersama para tawanan Iran lainnya, dan menajdi tawanan hingga tahun 1987.

Film ini mengambil cerita dari memoir Ahmad Yousufzadeh yang ditulis dalam bentuk buku berjudul "Mereka 23 Orang". Sutradara menggunakan pemain non-profesional yang selama ini tidak pernah sekalipun berada di depan kamera. Meskipun demikian, film ini dengan baik menceritakan narasi besar tentang nasionalisme para remaja Iran yang berkorban untuk bangsa dan negaranya.

 

 

 

Film terbaik festival film Fajr tahun ini jatuh kepada film "Shabi keh Mah Kamil Shod" (Ketika Bulan Purnama) yang meraih enam simogh untuk kategori aktris pemeran pertama terbaik, aktor pemeran terbaik, aktris peran pembantu terbaik, sutradara terbaik, film terbaik, kostum terbaik dan tata rias wajah terbaik.

Film diawali dengan kisah cinta Abdul Hamid di pasar Tehran ketika pertama kali melihat Faezeh yang merupakan salah seorang pembelinya. Kehidupan sulit setelah pernikahan dikisahkan dengan sangat detil, bahkan penjualan senjata selundupan yang dilakukan keluarga suaminya tidak luput dari bidikan kamera. Film ini menjadika Faezeh sebagai titik sentral yang membuat nilai kemanusiaan bercampur aduk dengan penderitaan dan kerasnya kehidupan. Ini baru separuh cerita.

Film "Ketika bulan purnama" menjadi istimewa karena kehadiran sutradara perempuan dengan isu garapannya yang tidak biasa mengenai terorisme. Narges Abyar dengan filmnya memasuki masalah besar dan sensitif di Iran. Abyari membidik kehidupan kelompok teroris Jundullah yang berada di wilayah tenggara Iran. Kelompok teroris ini membangun gerakannya berdasarkan ideologi jihadi Wahabi yang menggunakan sentimen etnis untuk merusak Iran dari dalam. Abyari dengan kecerdasannya menggarap isu militer dan keamanan dengan spirit kemanusiaan yang didekati dari perspektif seorang perempuan. Ia memotret kehidupan pemimpin kelompok teroris Jundullah, Abdul Malik Rigi, menantunya, Faezeh, dan kehidupan anggota keluarganya dengan sangat hati-hati dan manusiawi.

 

sutradara perempuan Narges Abyar

Film "Shabi keh Mah Kamil Shod" (Ketika Bulan Purnama) yang disutradarai Narges Abyar berhasil meraih perhatian tidak hanya dari juri, tapi juga dari para penonton. Ia berhasil menyuguhkan sebuah film tentang perang, tapi dengan muatan karakter yang sangat menonjol. Para pengamat menilai film ini menunjukkan kekuatan industri sinema Iran dalam merekonstruksi sebuah sejarah negaranya sendiri. Narges Abyari sendiri meraih penghargaan untuk dua kategori sekaligus, film dan sutradara terbaik. Film  yang bercerita tentang kisah seorang perempuan Balouch ini menggunakan ritme lambat dan tenang, serta romantisme yang menarik perhatian penonton dan para juri. Film ini dengan baik memperkenalkan geografi dan tradisi etnis Balouch. Hingga akhir, film ini berupaya menawarkan nilai-nilai cinta dan kemanusiaan di tengah ledakan kekerasan dan perang.

Film ini memotret kehidupan pemimpin kelompok teroris Jundullah, Abdul Malik Rigi. Ia mengatasnamakan pembelaan terhadap etnis Balouch dengan melakukan berbagai aksi teror dan serangan hingga menelan korban jiwa. Film tersebut juga merekam sistem pemikiran yang diadopsi para teroris hingga mereka melakukan serangan yang menghancurkan harapan banyak orang. Film ini menjadi film keempat Narges Abyar. Sekitar enam tahun lalu, ia memasuki dunia sinema dengan kekuatan sebelumnya sebagai seorang penulis cerita, dan kini ia dikenal sebagai sutradara perempuan yang mulai diperhitungkan di dunia sinema Iran.

 

Selain sutradaranya, film ini juga didukung oleh para aktor dan aktris yang sangat baik memainkan setiap peran yang diberikan kepadanya. Salah satu penghargaan terbaik dalam festival film Fajr adalah Simorgh Blorin untuk kategori film terbaik dari penilaian penonton. Film berjudul "Metri Shish va Nim" (semeter enam setengah) besutan sutradara Saeed Rostaie dan produser Seyyed Jamal Sadatian meraih suara 88,22 suara. Film ini bercerita tentang seorang polisi yang bekerja untuk membongkar sindikat narkotika. Film tersebut menggambarkan bagimana kehidupan para pecandu narkotika, termasuk anak-anak mereka yang merana dan menderita. (PH)