Menyimak Pemilu ke-37 dan Sejarah Pemilu di Iran
(last modified Mon, 24 Feb 2020 13:00:49 GMT )
Feb 24, 2020 20:00 Asia/Jakarta
  • Pemilu di Iran
    Pemilu di Iran

Di kemenangan Revolusi Islam Iran ke-41, rakyat negara ini untuk ke 37 kalinya berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara untuk memilih anggota parlemen ke-11. Pemilu ini digelar untuk memilih 290 anggota parlemen.

Di pemilu parlemen Iran, dari 208 zona pemilu, lima zona pemilu dialokasikan untuk minoritas agama Yahudi, Kristen, Armenia, Asyuria dan pengikut agama Zoroaster. Dan kaum minoritas ini berhak memilih wakilnya di parlemen seperti seluruh lapisan masyarakat lainnya.

Revolusi Islam Iran berbeda dengan seluruh revolusi di dunia. Salah satu karakteristik Revolusi Islam Iran adalah keyakinan pemimpin revolusi, Imam Khomeini terhadap suara rakyat untuk menentukan bentuk pemerintahan yang menggantikan sistem monarki yang telah berlangsung selama 2500 tahun di negara ini.

Berdasarkan keyakinan ini, 50 hari setelah kemenangan Revolusi Islam, penentuan bentuk pemerintah baru diserahkan kepada rakyat melalui referendum. Lebih dari 98 persen rakyat Iran di referendum ini setuju pembentukan pemerintahan Republik Islam di negara mereka.

Hanya berselang beberapa bulan setelah kemenangan revolusi digelar pemilu majelis ahli konstitusi (Assembly of Experts for Constitution) dan kemudian disusul dengan pemilu parlemen. Di usia satu tahun Revolusi Islam, seluruh lembaga sipil termasuk parlemen dan presiden dipilih melalui suara rakyat.

Rakyat Iran berbeda dengan seluruh revolusi dunia, sejak awal kemenangan revolusi mereka secara langsung terlibat dan hadir di lapangan dalam mengelola negara. Sementara di seluruh revolusi dunia di abad 20 dan sebelumnya tidak ada pembicaraan mengenai pemilu dan para pemimpin revolusi menganggap dirinya berhak untuk mengambil keputusan seumur hidup di seluruh urusan negara.

Di Revolusi Islam meski menghadapi beragam konspirasi dan permusuhan terhadap revolusi ini oleh musuh dalam dan asing, namun hal ini tidak pernah membuat pemimpin Revolusi meliburkan pemilu dan menangguhkan partisipasi rakyat untuk waktu yang tak jelas dalam mengelola negara. Bahkan ketika Abolhassan Banisadr, presiden pertama Iran setelah 14 bulan berkuasa dan setelah terungkap sikapnya yang mendukung salah satu musuh revolusi, Massoud Rajavi serta bersama ketua MKO ini lari dari Iran, rakyat Iran pada Murdad 1360 kembali menyalurkan suaranya di TPS.

Mohammad Ali Rajaei, presiden kedua Iran setelah dua bulan pemilu diteror kelompok MKO bersama Perdana Menteri Mohammad Javad Bahonar di kantor perdana menteri dan gugur syahid. Namun rakyat Iran bertekad melanjutkan jalan revolusi dan di pemilu lainnya memilih Ayatullah Khamenei sebagai presiden ketiga.

Selama 41 tahun lalu tidak ada faktor dan insiden yang mengakibatkan pemilu di Iran ditangguhkan. Selama perang delapan tahun pertahanan suci (Iran-Irak) di dekade 1990, berbagai kota Iran dihujani roket dan rudal rezim Saddam Husein. Meski ada beragam ancaman dari Saddam, rakyat Iran di berbagai kota dan di bawah hujan rudal tetap antusias mengikuti pemilu presiden dan parlemen  serta memilih presiden dan wakil mereka di parlemen.

Pemilu ke-37 di Iran digelar di kondisi khusus. Kondisi yang dari satu sisi tidak lebih buruk dari kondisi delapan tahun perang pertahanan suci rakyat Iran melawan agresi Saddam Husein yang mendapat dukungan dua kekuatan dunia, barat dan timur. Rakyat Iran sejak kemenangan Revolusi Islam senantiasa menghadapi permusuhan Amerika Serikat.

Rezim sebelum revolusi Islam Iran adalah rezim monarki dan sekutu terdekat Amerika di kawasan. Tumbangnya rezim Pahlavi membuat Iran keluar dari hegemoni AS dan muncul kekosongan besar bagi kebijakan regional AS dan rezim Zionis Israel. Para pemimpin Amerika tidak pernah bersedia menerima dan memahami. realita perubahan mendasar di Iran dan kemenangan revolusi Islam.

Rakyat Iran memegang kendala nasibnya sendiri dan mereka menumbangkan rezim despotik serta kriminal. Namun pemerintah Amerika berbeda dengan sloghannya mendukung demokrasi, malah menjadikan permusuhan terhadap Iran sebagai kebijakan utamanya menghadapi tehran di kawasan.

Sekaitan dengan ini, Amerika tak segan-segan mendukung setiap langkah politik, ekonomi, militer, perang syaraf dan media terhadap Republik Islam Iran. Pemerintah Amerika selama 41 tahun lalu memanfaatkan seluruh instrumen politik ekonomi, militer, syaraf dan propaganda media untuk melawan rakyat Iran.

Langkah terbaru dan aksi kriminal Amerika terhadap rakyat Iran adalah teror terhadap Komandan pasukan Quds IRGC, Syahid Letjen Qasem Soleimani. Sejatinya Amerika selama empat dekade lalu senantiasa memerangi rakyat dan pemerintah Republik Islam Iran. Amerika musuh terbesar rakyat Iran dan Imam Khomeini, pendiri Republik Islam menyebut Amerika sebagai setan besar.

.

Salah satu sarana terpenting pemerintah Amerika melawan Republik Islam adalah memanfaatkan sanksi ekonomi. Sejak Donald Trump berkuasa, perang ekonomi, politik dan syaraf Amerika terhadap rakyat Iran semakin meningkat. Presiden Amerika ini menerapkan sanksi ekonomi paling zalim dan belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Republik Islam Iran.

Pemerintah Amerika dengan dengan menerapkan sanksi sekunder juga telah mencegah transaksi perdagangan negara-negara lain dengan Republik Islam Iran. Bahkan Washington membatasi dan melarang masuknya obat-obatan dan makanan ke Iran.

Berbagai perusahaan di dunia menghentikan transaksi perdagangan, finansial dan ekonominya dengan Republik Islam Iran untuk menghindari sanksi sekunder Amerika. Tujuan pemerintah Amerika dari penerapan sanksi zalim ini adalah memaksa rakyat Iran tunduk dan menciptakan perpecahan antara rakyat dan pemerintah Iran.

Pemerintah Amerika dengan menentukan prasyarat untuk berunding dengan Iran dan pencabutan sanksi, ingin memaksakan tuntutannya kepada Tehran dan mengubah negara ini menjadi negara yang bergantung kepada Washington sama seperti sebelum kemenangan revolusi Islam. Ini adalah tujuan yang dikejar Donald Trump dan para pialangnya. Sanksi besar-besaran Trump terhadap Iran bahkan mencakup obat-obatan dan peralatan medis.

John Bolton, penasehat Trump yang dicopot secara transparan menyatakan bahwa tujuan sanksi adalah mengubah pemerintah dan menumbangkan Republik Islam Iran. Bolton berulang kali berpartisipasi di pertemuan MKO, salah satu kelompok teroris dan penjahat. MKO meneror sekitar 17 ribu warga Iran, mulai dari pejabat tinggi hingga warga biasa.

MKO secara terang-terangan berperang bersama tentara Saddam Husein melawan Republik Islam. Petinggi Amerika secara transparan berbicara mengenai upaya menumbangkan pemerintahan demokrasi Iran. Di sinilah partisipasi rakyat Iran di transformasi politik menemukan maknanya. Rakyat Iran sejak era baru sanksi Amerika, mulai tahun 2018 berada di kondisi ekonomi paling keras. Daya beli warga menurun drastis. Akses ke mayoritas obat-obatan sangat sulit.

Sementara itu, respon rakyat atas represi maksimum Amerika adalah resistensi dan perlawanan. Peta jalanpun mulai dipaparkan Rahbar, Ayatullah Khamenei untuk melawan permusuhan dan kebencian Amerika. Rakyat Iran selama tiga bulan terakhir tiga kali bangkit melindungi dan mendukung pemerintah serta negaranya.

Image Caption

Salah satunya adalah proses tasyi dan pemakaman Syahid Soleimani. Warga Iran menggelar prosesi tasyi dan pemakaman Syahid Soleimani secara besar-besaran. Acara ini membuat Amerika tidak mampu membalas serangan rudal Sepah Pasdaran Iran ke pangkalannya di Irak.

Pasca perang dunia kedua, untuk pertama kalinya sebuah pangkalan militer AS menjadi target negara lain dan Amerika tidak berani membalasnya. Gerakan kedua Iran dalam mendukung pemerintah Republik Islam Iran adalah partisipasi besar mereka di pawai akbar kemenangan Revolusi Islam ke-41 pada 22 Bahman.

Gerakan besar ketiga rkyat Iran menjawab represi maksimum AS adalah partisipasi di pemilu parlemen ke-11. Pemilu ini menunjukkan bahwa Revolusi Islam Iran terus tumbuh dan berkembang serta mencapai ketinggian sehingga membuat musuh bertekuk lutut  serta bangsa ini akan melewati masa-masa sulit ini.

 

Tags