Tata Keamanan Asia Barat dalam Perspektif Ayatullah Khamenei
Tanggal 3 Juni 2020, bertepatan dengan peringatan 31 tahun pemilihan Ayatullah Khamenei sebagai Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Peristiwa besar ini menjadi momentum yang tepat untuk mengkaji pemikiran beliau, termasuk dampaknya terhadap tatanan keamanan Asia Barat.
Pemikiran Ayatullah Khamenei di bidang kebijakan luar negeri didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu: martabat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Martabat bermakna tidak menyerah kepada musuh, sedangkan kebijaksanaan adalah berperilaku bijaksana, dan kemasalahan mempertimbangkan kepentingan nasional dalam kebijakan luar negerinya.
Prinsip pertama, tidak menyerah terhadap musuh di berbagai bidang, terutama di bidang pertahanan. Oleh karena itu, Rahbar selalu menekankan masalah penguatan pertahanan nasional. Meskipun demikian, beliau menganggap kekuatan pertahanan memiliki dimensi defensif dan menyatakan bahwa Republik Islam Iran tidak akan pernah memulai perang, tetapi dengan tegas akan mempertahankan diri terhadap segala bentuk agresi.
Contoh jelas dari pernyataan ini adalah aksi pemerintah teroris AS membunuh Letjen Qassem Soleimani pada 3 Januari 2020, yang memicu reaksi keras dari Iran dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer Ain al-Assad pada 8 Januari 2020. Pasca Perang Dunia II, tidak ada negara yang berani mengambil tindakan militer terhadap Amerika Serikat. Langkah yang disebut oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam sebagai "Pembalasan Keras" ini menunjukkan bahwa Republik Islam Iran tidak akan menyerah kepada musuh, bahkan di bawah sanksi berat AS.
Memperkuat Sumbu Perlawanan di kawasan Asia Barat adalah pandangan penting lain dari Ayatullah Khamenei dalam masalah regional. Selama ini Iran selalu menjadi salah satu pembela Sumbu Perlawanan di kawasan, dan memainkan peran penting dalam memperkuat poros ini dalam dimensi operasionalnya.
Pada awal krisis Suriah meletus, beberapa anggota Hamas keliru memahami perkembangan di Suriah dan mengadopsi pendekatan yang bertentangan dengan kepentingan Damaskus. Tapi sebagian besar tetap memusatkan dukungan Hamas terhadap pendekatan Iran. Dalam kondisi demikian, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menekankan dukungannya terhadap gerakan perlawanan Palestina, termasuk Hamas, dan menilai kesalahan beberapa orang tidak bisa menjadikan Hamas sebagai pihak yang keliru secara keseluruhan. Hasil dari pendekatan itu, gerakan Hamas hingga kini memiliki hubungan erat dengan Republik Islam Iran.
Di sisi lain, ketika beberapa pihak di dalam dan di luar Iran mengklaim dukungan Tehran terhadap Damaskus dalam memerangi kelompok-kelompok teroris di Suriah dan pendukungnya bukan kepentingan Iran; Rahbar dengan tegas menekankan urgensi mendukung Suriah dalam memerangi kelompok-kelompok teroris. Dampaknya, tidak hanya pemerintah berdaulat Suriah yang tetap berdiri, integritas teritorialnya juga tetap terjaga. Bahkan para penentang Republik Islam Iran menuding Tehran menggunakan krisis Suriah sebagai peluang untuk membuktikan kekuatannya di Asia Barat.
Mitra Iran di Lebanon, Irak, dan Yaman tampil unggul. Kini, Hizbullah di Lebanon menjadi aktor berpengaruh tidak hanya di negaranya saja, tetapi juga di kawasan Asia Barat. Kelompok-kelompok perlawanan Irak telah memainkan peran penting dalam pembangunan negaranya, termasuk dengan memaksa pemerintah teroris AS menutup beberapa pangkalan militer kecilnya di Irak, dan hari ini slogan pengusiran pasukan AS telah menjadi tuntutan nasional di Irak.
Kelompok-kelompok perlawanan di Yaman bukan hanya tidak menyerah menghadapi koalisi agresor yang dipimpin Saudi, bahkan hari ini Pemerintah Penyelamat Nasional Yaman memegang kendali dalam perang tersebut. Sementara itu, koalisi agresor pimpinan rezim Al Saud berada dalam posisi yang semakin melemah.
Pada Juni tahun lalu, delegasi Yaman dipimpin oleh Juru Bicara Ansarullah Yaman, Mohammad Abdul Salam melakukan perjalanan ke Tehran dan menyerahkan surat Abdul Malik al-Houthi, pemimpin gerakan Ansarullah kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Ayatullah Khamenei membuka dan membaca surat ini langsung di hadapan delegasi Yaman, padahal beliau bisa membuka dan membacanya setelah pertemuan tersebut. Langkah simbolis ini diambil Rahbar, yang berbeda dengan peristiwa dua bulan setelahnya ketika Perdana Menteri Jepang, Abe Shinzo mengirim pesan dari Presiden AS Donald Trump kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, yang ditolak oleh beliau.
Pada 3 Juni 2019, Ayatullah Khamenei mengatakan, "Hari ini di kawasan kita, Asia Barat, kalimat bersama bangsanya adalah perlawanan; Semua orang menerima kehadiran gerakan perlawanan ... Kegagalan yang sama yang dialami Amerika di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan lainnya selama beberapa tahun terakhir adalah hasil dari aksi kelompok-kelompok perlawanan. Front Perlawanan adalah gerakan yang kuat hari ini,".
Salah satu landasan teoretis terpenting dari pemikiran Ayatullah Khamenei adalah perlawanan terhadap imperialisme dan Zionisme. Sebagaimana pandangan Imam Khomeini, pendiri Revolusi Islam Iran yang menekankan dua masalah penting ini, Ayatullah Khamenei menyatakan berlanjutnya perlawanan menghadapi imperialisme global dan Zionisme, sekaligus melumpuhkan proyek-proyek destruktif kekuatan Barat di kawasan Asia Barat.
Pada pertemuan dengan para pejabat Republik Islam dan duta besar negara-negara Muslim yang berlangsung Juni 2018, Rahbar mengatakan, "Hari ini, kebijakan kekuatan arogan global adalah menciptakan keretakan antara negara-negara Muslim, bahkan di dalam bangsa-bangsanya sendiri, antarindividu masyarakat dari negara-negara ini; Itulah kebijakan mereka saat ini. Inilah plot yang dirancang oleh konspirator kriminal Amerika dan Zionis Amerika untuk kawasan kami, yang merupakan salah satu kawasan Islam yang paling penting, dan Anda dapat melihat tanda-tandanya seperti peristiwa tragedi Yaman, peristiwa di Suriah, Irak dan negara-negara Muslim lainnya. Kini jalan keluarnya adalah negara-negara Muslim harus menemukan titik utamanya. Masalah utamanya, perlawanan masyarakat Muslim dan umat Islam terhadap kekuatan arogan. Berdiri melawan kebijakan arogan menjadi tugas pemerintah, itu adalah tugas para pejabat politik, juga para pemimpin agama, budaya dan politik di seluruh dunia Islam. Dan poin mendasar lainnya adalah masalah rezim Zionis, yang pada dasarnya diciptakan di jantung dunia Islam untuk menyulut perselisihan, penjinakkan, menciptakan masalah."
Kini, Iran bukan hanya tidak bergantung pada kekuatan asing di berbagai bidang, terutama di bidang pertahanan, bahkan menjadi kekuatan kompetitor penting, bahkan Amerika Serikat berpikir ribuan kali untuk melancarkan agresi militer terhadap Republik Islam Iran.
Donald Trump mengklaim akan melancarkan pembalasan dendam setelah jatuhnya pesawat tak berawak AS pada Juni 2019, tetapi mengurungkan niatnya setelah menyadari kekuatan militer Iran. Bahkan selanjunta pemerintah AS tidak berkutik ketika Iran mengirim kapal tanker minyaknya ke Venezuela yang berada di bawah sanksi ketat Washington.
Pemikiran Ayatullah Khamenei tentang tatanan keamanan di Asia Barat menjadikan Republik Islam Iran sebagai kekuatan regional yang paling penting di Asia Barat, yang berani menantang tatanan yang diciptakan oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat.
Rahbar dalam sebuah pernyataan mengenai langkah kedua Revolusi Islam yang disampaikan pada Februari 2019, menyatakan, "Iran yang berdaulat hari ini, sebagaimana awal Revolusi menjadi tantangan bagi Amerika Serikat, tapi memiliki perbedaan signifikan. Jika tantangan saat itu dengan AS mengenai pemutusan tangan agen asing, atau penutupan kedutaan Israel di Tehran, maupun terbongkarnya sarang mata-mata [di kedutaan AS], tapi kini tantangan mereka mengenai kehadiran Iran yang kuat di perbatasan rezim Zionis, dan melemahnya pengaruh ilegal AS di Asia Barat. Dukungan Republik Islam terhadap gerakan perjuangan Mujahidin Palestina di jantung wilayah yang diduduki rezim Zionis, dan pembelaan terhadap bendera yang diusung Hizbullah dan gerakan perlawanan di seluruh kawasan."(PH)