Muharram dan Imam Husein bin Ali as
(last modified Thu, 28 Jul 2022 11:41:05 GMT )
Jul 28, 2022 18:41 Asia/Jakarta
  • Muharram dan Imam Husein as
    Muharram dan Imam Husein as

Muharram, awal bulan di kalender Islam yang seharusnya menjadi peristiwa menggembirakan bagi umat Islam, tapi di bulan ini justru umat muslim berduka, pasalnya cucu tercinta Rasulullah Saw dan juga penghulu pemuda surga dibantai oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut kakeknya di Padang Karbala.

Sekitar dua abad sebelum kedatangan Islam, para pemimpin kabilah Arab di Mekah berkumpul untuk menyatukan nama-nama bulan Arab. Pertemuan tersebut digelar di rumah Kilab bin Murrah, kekek kelima Rasulullah Saw. Arab mengharamkan perang di hari-hari tersebut dan meninggalkan permusuhan. Oleh karena itu, sejak saat itu, bulan ini dinamakan dengan larangan tersebut dan hari pertama Muharram ditetapkan sebagai awal tahun hijriah qamariah.

Dengan hijrahnya Nabi (SAW) dari Mekah ke Madinah pada tahun ketiga belas kenabian, yang terjadi pada bulan Rabiul Awwal, peristiwa bersejarah ini dan bulan ini menjadi awal dari sejarah umat Islam. Oleh karena itu, sejak tahun pertama Hijriah, peristiwa ini menjadi cikal bakal penanggalan Islam. Penyebaran Islam ke wilayah kerajaan Persia dan Romawi, dan kesimpulan dari berbagai perjanjian seperti perdamaian, upeti, upeti, dll, mendorong perhatian terhadap sejarah yang akurat.

Isu-isu ini mendorong khalifah kedua untuk mengadakan pertemuan konsultatif untuk membangun sejarah yang teratur dan akurat. Sejak masa khalifah kedua, umat Islam, atas saran Imam Ali (AS), telah menganggap migrasi Nabi (SAW) dari Mekah ke Madinah sebagai sumber sejarah dan kalender Islam, dan bulan Muharram menurut dengan ciri-ciri khusus yaitu akhir haji, bulan terakhir dianggap haram, dipilih sebagai bulan pertama tahun qamariyah. Hari ini adalah hari pertama tahun baru qamariyah dan awal Muharram.

Setiap kali bulan Muharram tiba, ingatan tentang gerakan Asyura dan pemberontakan Imam Husein as semakin hidup dan bergairah. Darah Imam Husein, yang ditumpahkan secara tidak adil di tanah pada tahun 61 H dan di bulan ketika perang dilarang, masih hangat dan setelah 14 abad masih mengalir di pembuluh darah jutaan pecinta kebebasan dan keadilan. Husein bin Ali -sebagai manusia yang saleh dan anti-penindasan- menjadi teladan gerakan para pejuang dan memori kesyahidan Husein as dan para sahabatnya menciptakan semangat yang tak terlukiskan di hati.

Bulan Muharram mengingatkan peristiwa tragis yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Sang cucu tercinta Husein bin Ali bin Abi Thalib as, putra putrin tercintanya, Fatimah Az-Zahra justri dibantai umatnya sendiri di Padang Karbala. Kesedihan Rasulullah Saw terlihat sejak awal kelahiran Imam Husein, ketika ia diberitahu Jibril bahwa bayi yang baru lahir ini nantinya akan terbunuh dalam kondisi kehausan dan kepalanya terpenggal oleh mereka yang mengaku sebagai pecinta dan pengikut Rasulullah.

Ketika Husein dilahirkan ke dunia, ia menemukan dirinya dibuaian kakeknya yang penuh cinta, Rasulullah Saw. Mohammad al-Mustafa (Saw) memiliki kecintaan dan kedekatan khusus dengan cucunya, Imam Hasan dan Imam Husein as. Beliau tak segan-segan menunjukkan kecintaan besar tersebut kepada para sahabatnya.

Al-Thabarani dalam bukunya Maqtal Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib mengisahkan bahwa suatu ketika, Husein bin Ali masuk ke kamar Nabi yang ketika itu sedang menerima wahyu. Lalu Husein meloncat ke atas pundak Nabi dan bermain-main di atas punggung beliau. Maka kemudian Jibril bertanya, “Wahai Muhammad, apa engkau mencintainya?.” Nabi pun menjawab, “Wahai Jibril, bagaimana aku tidak mencintai cucuku?.”

Jibril lantas berkata kembali, “Sesungguhnya, setelah kamu wafat nanti umatmu akan membunuhnya.” Jibril kemudian mengambil tanah berwarna putih dan memberikannya kepada Nabi seraya berkata, “Wahai Muhammad, di tanah inilah cucumu akan dibunuh. Tanah itu namanya Thaf (Karbala).”

Di hari-hari pertama bulan Muharram, umat Islam dan para pecinta Ahlul Bait as yang seharusnya bergembira dan ceria, tapi mereka justru bersedih dan mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Ya...mereka berkabung untuk kesyahidan cucu junjungan mereka dan penghulu pemuda surga, Husein bin Ali as. Bulan Muharram yang dilarang untuk berperang menurut Islam, tapi di bulan ini sejarah mencatat peristiwa tragis yang dialami keluarga manusia paling sempurna dan penerang dunia, Muhammad al-Mustafa Saw.

Ya....di hari-hari pertama bulan Muharram kita menyaksikan ungkan sedih dan acara duka umat Islam mengenang Husein bin Ali as. Imam Ridha as saat menyebutkan kondisi ayahnya, Imam Musa al-Kadhim as ketika bulan Muharram tiba mengatakan, ketika bulan Muharram tiba, tidak ada yang melihat ayahku tertawa, dan kesedihannya semakin besar hingga datangnya hari kesepuluh (Asyura). Dan ketika hari kesepuluh Muharram tiba, saat itulah hari musibah, kesedihan dan tangisan tiba.

Di sebuah riwayat daru Rayyab bin Syabib disebutkan bahwa di hari pertama bulan Muharram saya bertemu dengan Imam Ridha as dan beliau berkata kepadaku, Wahai putra Syabib sesungguhnya bulan Muharram adalah bulan di mana masyarakat di zaman jahiliyah di masa lalu mengharamkan kezaliman dan perang untuk menghormati bulan ini, tapi umat ini, bukan saja tidak menjaga kehormatan bulan Muharram, dan juga kehormatan Rasulullah Saw, bahkan berani membantai anak dan keturunanya, serta menangkap perempuan Ahlul Bait dan menjarah harta bendanya...Wahai Putra Syabib ! Jika kamu ingin menangisi sesuatu, maka menangislah untuk Husein bin Ali as.

Kemudian Imam Ridha as melanjutkan, Wahai Putra Syabib ! Menangislah untuk Husein as hingga bercucuran air matamu, Allah Swt akan mengampuni setiap dosamu, baik kecil atau besar, sedikit atau banyak...Wahai Putra Syabib ! Jika kamu ingin ditempatkan bersama nabi di surga, maka laknatlah pembunuh Husein as....Setiap kamu mengingat Husein ucapkanlah " یا لَیتَنِی کُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِیمًا " (Seandainya aku bersama mereka, maka aku akan beruntung dan meraih kemenangan besar)

Masalah menangis untuk Imam Husein tidak sama dengan tangisan dan duka lainnya, sehingga kita samakan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik. Tapi menangis untuk Imam Husein sejak awal beda. Imam Shadiq as berkata:

 

إِنَّ الْبُکَاءَ وَ الْجَزَعَ مَکْرُوهٌ لِلْعَبْدِ فِی کُلِّ مَا جَزِعَ مَا خَلَا الْبُکَاءَ عَلَى الْحُسَیْنِ بْنِ عَلِیٍّ ع فَإِنَّهُ فِیهِ مَأْجُورٌ

 

Sesungguhnya setiap tangisan dan jeritan itu makruh bagi seseorang kecuali tangisan untuk Husein bin Ali. Karena sesungguhnya ia [tangisan untuk Husein] ada pahalanya.

Jenis duka untuk Imam Husein as dengan duka-duka yang lain begitu berbeda, sehingga jauh-jauh sebelum tragedi Asyura menyampaikan tentang nilainya menangis untuk Imam Husein as dan bersabda:

یا فاطِمَةُ! کُلُّ عَینٍ باکِیَةٌ یَومَ القِیامَةِ إلاّ عَینٌ بَکَت عَلى مُصابِ الحُسَینِ

Hai Fatimah! Setiap mata akan menangis di Hari Kiamat, kecuali mata yang menangis atas musibah-musibah [yang menimpa] Husein.[6]

Faedah Menangis dan berduka untuk Imam Husein as

Ketika menangisi musibah Imam Husein begitu dianjurkan, dan disebutkan betapa besar pahalanya di akhirat; yakni memahamkan kepada kita bahwa amal ini juga memiliki pengaruh dan faedah yang sangat penting di dunia. Salah satu pengaruhnya adalah melewati gerbang gejolak dan masuk menuju lautan pemahaman. Menangis untuk Imam Husein bukan akhir pekerjaan, tapi permulaan untuk memahami. Perasaan yang akan bangkit dan kita dibawa untuk memikirkan. Sebuah pemikiran yang membangun yang terbentuk dari ilham yang berasal dari musibah yang ada.

Risalah menangis untuk Imam Husein adalah menjaga nama, peninggalan dan jalan Imam Husein. Tangisan inilah yang mengajarkan budaya syahadah pada para pecinta jalan Imam Husein, juga yang menjaga darah [perjuangan] Imam Husein.

Menangis untuk Imam Husein pada dasarnya mengenali para pezalim dan despotik dunia. Setelah bertahun-tahun ada saja orang-orang yang melanjutkan jalannya Yazid dan orang-orang seperti Yazid. Menangis untuk Imam Husein menjadikan seseorang terdidik menjadi seorang pejuang. Pejuang yang sungguh-sungguh yang menghadapi kezaliman dan imperialisme sampai akhir hayat dan di jalan menuju pada Allah tidak takut sama sekali pada pezalim. Selain itu, menangis untuk Imam Husein adalah mewariskan kecintaan kepada Imam Husein pada generasi selanjutnya dan mengalihkan budaya Asyura dari generasi ke generasi. Jangan lupa bahwa alat untuk menyampaikan budaya Imam Husein di tangan Sayidah Zainab dan Imam Sajjad adalah tangisan untuk Imam Husein as.

Sejarah Acara Duka untuk Imam Husein as

Hind (هند), istri Yazid bin Muawiyah adalah seorang wanita cantik dan saleh di zamannya. Ayahnya bernama Abdullah bin Amir, salah satu sahabat Imam Ali as yang gugur di salah satu perang. Hind setelah ayahnya gugur, untuk beberapa waktu tinggal di rumah Imam Ali as. Kemudian Muawaiyah melamar Hind untuk anaknya, Yazid. Dengan demikian Hind resmi menjadi istri Yazid dan tinggal di Syam.

Setelah peristiwa Asyura dan gugurnya Imam Husein as beserta sahabat setianya, iring-iringan tawanan dibawa ke kota Syam dan ditempatkan di reruntuhan. Warga Syam yang tidak mengetahui gugurnya keluarga Rasulullah Saw dan menganggap bahwa sejumlah pemberontak tewas di perang dengan khalifah musliminin, sibuk menggelar pesta.

Saat itu, salah satu pelayan Hind mendatanginya dan berkata, "Ada sekelompok tawanan yang dibawa ke kota kota. Apakah kamu ingin melihatnya dan bergabung dengan kegembiraan ?

Hind menerima usulan pelayannya dan ketika keluar dari istana ia berpapasan dengan suaminya, Yazid. Hind menjelaskan tujuannya keluar istana, tapi tiba-tiba ia melihat muka suaminya berubah. Yazid dengan baik mengetahui bahwa Hind selama bertahun-tahun tinggal di rumah Ali bin Abi Thalib dan mengenal Zainab as. Oleh karena itu, Yazid pertama-tama berusaha menghalangi kunjungan istrinya tersebut, tapi tidak memiliki alasan yang tepat. Oleh karena itu, ia memberi syarat bahwa Hind hanya dapat keluar di malam hari untuk menyaksikan tawanan tersebut. Hind sendiri menerima syarat tersebut.

Ketika malam tiba, Hind bersama pelayannya mendatangani tempat tawanan. Ia diberitahu bahwa pemimpin tawanan tersebut seorang wanita. Kemudian ia mendekati Sayidah Zainab dan bertanya kepadanya, dari kota mana kamu berasal ? Sayidah Zainab langsung menjawab, Madinah !

Hind setelah mendengar kata Madinah, dengan bersemangat maju kedepan dan berkata, Benarkah !!! Kemudian ia melanjutkan, jika kamu warga Madinah, pastinya kamu mengenal Zainab, putri Fatimah as. Ia adalah guruku dan semua pengetahuan agamaku berasal darinya.

Sayidah Zainab yang sejak awal kedatangan Hind telah mengenalnya berkata, Hind ! Putri Abdullah bin Amir, aku mengenal Zainab ! Ia sekarang berada di depanmu ! Setelah mendengar jawaban Sayidah Zainab, Hind merasa tenggorokannya tercekik dan berteriak dengan sedih. Ia kemudian menghadap pelayannya dan berkata, Celakalah Aku, tawanan Syam adalah keluarga Rasulullah Saw.

Hind, sambil merobek kerudungnya, memasuki tempat pertemuan (majelis) Yazid dan berteriak kepadanya, "Apakah kamu telah memberi perintah untuk menempatkan kepala Husain (as) di pintu istana?" Haruskah kepala anak Fatima (as) digantung di pintu rumah saya, putri "Abdullah bin Amer"? Yazid, yang sedang duduk di singgasana di majelisnya, ketika dia melihat istrinya seperti ini, bangkit dan sambil berusaha menutupi kepala dan wajahnya, berkata: Wahai Hind! Menangislah untuk anak putri Rasulullah, yang "Ibnu Ziyad", penguasa Kufah,tergesa-gesa di pekerjaannya, semoga Tuhan membunuhnya!!! Saya tidak puas dengan pembunuhan Husein!!

Hind yang menyaksikan Yazid berusaha menutupi kepalanya dengan marah berteriak: Wahai Yazid ! Celakalah kamu, apa yang tengah terjadi ! Apakah kamu cemburu ? Jadi mengapa Anda tidak cemburu dengan putri-putri Rasulullah (Saw) ? Kamu telah merobek kerudung mereka dan memperlihatkan wajah mereka dan meninggalkan mereka dalam reruntuhan ? Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan memasuki rumahmu kecuali saya membawa mereka bersamaku.

Dengan demikian Yazid memerintahkan para tawanan wanita ditempatkan di rumah Hind. Saat itu, seluru wanita di istana Yazid melepas seluruh perhiasannya dan berduka selama tiga hari.

Yazid kemudian mengijinkan keluarga Ahlul Bait Nabi menggelar acara duka untuk Imam Husein as. Kisah Karbala yang terdengar penuturan Sayidah Zainab telah memicu revolusi di hati saat itu, dan membuat perempuan Syam menangis tesedu-sedu. Menurut kutipan sejarah, di Syam digelar acara duka selama tiga hari berturut-turut untuk mengenang gugurnya Imam Husein as dan sahabatnya. Setelah peristiwa ini, wajah kota Syam berubah dan kota ini tenggelam dalam duka, tidak seperti tiga hari lalu saat tawanan Karbala memasuki kota ini.

Warga Syam yang sebelumnya menyambut kedatangan tawanan Karbala dengan gembira, kini dengan rasa malu dan penuh penghormatan memperlakukan para tawanan keluarga Nabi ini. Mereka mendapat pemahaman baru setelah mendengarkan khutbah Sayidah Zainab dan Imam Sajjad as. Dengan cepat kondisi tak puas melanda seluruh Syam, dan Yazid terpaksa memerintahkan pemulangan tawanan Karbala dnegan penuh hormat. Rombongan Sayidah Zainab setibanya di Madinah menggelar acara duka Imam Husein di Baqi' dan di makam Rasulullah Saw.

Setelah gugurnya Imam Husein as, para Imam maksum as juga menggelar acara duka untuk Imam Husein dan mendorong para pengikut serta pecinta Ahlul Bait as untuk menggelar acara ini.

Sementara itu, sejarah acara duka untuk Imam Husein as di Iran secara resmi dimulai di masa pemerintahan Dinasti Buwayhiyah (Buyid). Tahun 353 H (964 M) Mu'izz al-Dawla menginstruksikan acara duka umum untuk Imam Husein dan meminta masyarakat mengenakan pakaian hitam  serta pasar-pasar diliburkan. Dengan demikian acara pertama duka Imam Husein resmi digelar di Iran. Di hari Asyura, masyarakat dan sejumlah ulama Hanafi seraya meratap dan menaburkan tanah di kepala dan wajahnya, melaknat para pembunuh Imam Husein as.

Para raja Dinasti Saljuk (1037-1194) juga memiliki kecenderungan khusus terhadap para Imam Syiah. Raja Saljul MalikShah di tahun 1086 H pergi berziarah ke Kadhimaian, Najaf dan Karbala. Mohammad bin Abdullah Balkhi, penulis zaman itu, berturut mengenai ketertindasan Ahlul Bait as dan membaca syair-syair duka. Acara duka untuk syuhada Karbala marak di Bagdad dan berbagai kota Iran hingga awal pemerintahan Tughrul Saljuki.

Setelah runtuhnya pemerintahan Dinasti Abbasiah di Baghdad dan ketika Mongol menguasai sebagian besar pemerintahan Islam, bentuk dan konten acara duka ini berubah. Di saat itu, para pecinta Ahlul Bait as memiliki kebebasan lebih untuk melaksanakan ritual mazhab mereka. Sampa pada masa pemerintahan Oljaitu (1304-1316) mazhab Syiah menjadi mazhab resmi di Iran dan dengan demikian acara duka untuk Imam Husein bebas digelar.

Dengan dimulainya pemerintahan Safawi dan mazhab Syiah menjadi mazhab resmidi negara itu, pembacaan puisi untuk memuji para Imam, Imam Hussain (as) dan para syuhada Karbala dianggap sebagai suatu kehormatan besar. Isu ini berdampak signifikan pada hari berkabung Muharram, sedemikian rupa sehingga  acara besar ini digelar setiap tahun di Muharram dan penggunaan puisi-puisi ini banyak membantu untuk menyebarkan mazhab Syiah.

Jenis berkabung ini berlanjut sampai periode Pahlavi. Tapi selama era Reza Khan, pembatasan secara bertahap dipertimbangkan untuk pelayat; Hingga pada tahun 1314 (1935 M), penguasa berbagai daerah diperintahkan untuk melarang pembentukan prosesi berkabung di bulan Muharram dan Safar. Sedikit demi sedikit, pembatasan penyelenggaraan upacara keagamaan semakin meningkat, dan akhirnya dikeluarkanlah perintah larangan berkabung di masjid-masjid dan Huseiniyah, bahkan di beberapa kota, penyelenggara acara berkabung untuk Imam Husein as pun dipenjara.