Perjanjian Damai Imam Hasan as
-
Artikel ini bersumber dari buku Sulh al-Hasan karya Sheikh Razi Ale Yasin dan diterjemahkan oleh Ayatullah al-Uzma Sayid Ali Khamenei.
Tanggal 26 Rabiul Awal (tahun 41 H) adalah hari lahirnya perjanjian damai Imam Hasan as dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini dipuji oleh sebagian dan Imam Hasan dianggap sebagai pahlawan perdamaian, sementara sebagian lain menuding cucu Rasulullah Saw ini mengejar kenyamanan dan keselamatan.
Sekelompok orang memandang perdamaian ini tidak sejalan dengan semangat keberanian dan pengorbanan Ahlul Bait, dan penyerahan pemerintah kepada Muawiyah telah menyebabkan kehinaan kaum Muslim serta melencengkan garis kepemimpinan dari jalur aslinya.
Namun, kajian dan realitas sejarah kehidupan Imam Hasan as menunjukkan bahwa ia adalah seorang politisi cerdik yang sudah membaca semangat dan kecendrungan sosial pada masanya. Dengan kearifan dan visioner, ia merintis sebuah revolusi besar melalui perdamaian yang tidak bisa dielakkan.
Setelah syahidnya Imam Ali as, Imam Hasan naik ke atas mimbar ayahnya dan membuka pidatonya dengan berkata, “Sungguh telah diambil nyawanya pada malam itu. Dialah sosok yang orang-orang sebelumnya belum pernah mengunggulinya dalam beramal, dan orang-orang setelahnya pun tak sanggup melakukan amalan itu. Sungguh ia berjuang bersama Rasulullah dan menjaganya dengan dirinya, dan Rasulullah senantiasa memberikan panji Islam kepadanya dan mengirim dia ke medan jihad, sedang malaikat Jibril menjaganya dari sisi kanan dan malaikat Mikail dari sisi kirinya. Dan ia tidak pernah kembali sehingga Allah Swt membuka dan memperlihatkan kemenangan kepadanya. Sungguh beliau telah syahid di malam ketika Isa bin Maryam as dimikrajkan dan di malam ketika Yusya’ bin Nun, sang penerus Musa as pergi menghadap Allah Swt.”
Setelah pidato itu, bangkitlah Abdullah bin Abbas sembari berkata, “Ketahuilah wahai sekalian manusia, inilah putra Nabimu dan penerima wasiat dari Imammu. Maka, berbaiatlah kepadanya karena Allah Swt melaluinya akan menuntun kalian ke jalan keselamatan dan dengan izin-Nya, ia akan membawa kalian dari kegelapan menuju cahaya dan membimbing kalian ke jalan lurus.”
Masyarakat membenarkan ucapan Abdullah bin Abbas dan kemudian bangkit membaiat Imam Hasan as. Baiat yang sama juga diberikan oleh masyarakat Irak, Hijaz dan Yaman, hanya Muawiyah yang menolak baiat kepada putra Sayidah Fatimah as ini.
Imam Hasan meminta Muawiyah untuk tidak membangkang dan mengikuti kebenaran. Namun, ia menolak mengikutinya dan bahkan mengirim bala tentara ke wilayah Irak untuk melawan Imam Hasan as.

Tidak ada yang lebih berbahaya dari permusuhan yang tampil dalam selimut persahabatan. Secara lahir menampakkan persahabatan, tapi memeranginya dari batin. Seperti inilah sifat kelompok Khawarij yang mengisi barisan pasukan Imam Hasan as. Mereka adalah orang-orang yang licik dan menikam dari belakang. Kebersamaan mereka dengan Imam Hasan bukan jihad, tetapi untuk menyebarkan fitnah.
Golongan lain menyertai Imam Hasan demi memenuhi ambisi dunianya dan ketika mendapati beliau tidak sejalan dengan mimpinya, mereka mulai berpaling dan meninggalkan Imam. Jadi di antara Imam Hasan as, pejuang yang setia dan beriman jumlahnya sangat sedikit. Muawiyah juga selalu menggoda para pengikut Imam dengan harta dan kekayaan.
Imam Hasan as dikelilingi oleh orang-orang yang tidak siap berperang dengan pasukan Muawiyah. Pidato beliau di daerah Madain – salah satu titik persinggahan pasukan Imam – bisa memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi masyarakat waktu itu.
Untuk menguji kesiapan masyarakat dalam berperang dengan Muawiyah, Imam Hasan berkata, "Apabila kalian siap perang dan menolak untuk berdamai, dengan bersandar pada pedang, kita sandarkan urusannya kepada Allah Swt, namun apabila kalian memilih untuk tinggal, kita menerima berdamai dengannya dan kita akan memilih opsi damai." Dalam kondisi seperti ini, orang-orang berseru dengan suara lantang, "Al-Baqiyah...al-Baqiyah… (tinggal…tinggal – ingin tatap hidup)."
Imam Hasan as mengenai perdamaian dengan Muawiyah menjelaskan, “Saya memutuskan berdamai dan mengumumkan gencatan senjata. Saya melihat, mencegah pertumpahan darah lebih baik dan tujuan saya adalah demi kebaikan kalian dan supaya kalian tetap dapat bertahan hidup.”
Dengan demikian, Imam Hasan meninggalkan perang dan menerima perdamaian demi maslahat yang lebih besar yaitu menjaga keutuhan negara Islam. Tentu saja beliau menerima perdamaian dengan beberapa syarat antara lain; Muawiyah harus mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw, dan tidak berhak untuk mengangkat pengganti setelahnya.
Namun, Muawiyah tidak berkomitmen terhadap butir-butir perjanjian damai dan dalam sebuah pidato berkata, “Wahai penduduk Irak! Demi Tuhan, aku tidak berperang dengan kalian karena shalat, puasa, zakat dan haji, perang aku dengan kalian hanya untuk kekuasaan. Ketahuilah bahwa setiap syarat yang aku sepakati dengan Hasan bin Ali, sekarang berada di bawah kakiku dan tidak ada harganya."

Jadi, Imam Hasan as melalui perdamaian telah menyingkap wajah asli Bani Umaiyah yang disembunyikan oleh Muawiyah. Beliau ingin mempersiapkan opini publik untuk memahami hakikat dan melakukan perlawanan terhadap mereka. Perdamaian ini adalah titik awal dari sebuah perang besar-besaran pada periode setelah Imam Hasan as.
Pembentukan pemerintahan, kebangkitan, perdamaian, dan sikap diam Ahlul Bait Nabi as bertujuan untuk menjaga Islam dan menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. Jika Islam terlindungi dengan kebangkitan, mereka akan melakukan kebangkitan dan tidak pernah takut dengan kematian. Dan jika perdamaian akan membuat agama terjaga, maka jalan damai akan ditempuh.
Imam Hasan as juga melakukan ini demi menjaga agama dan menghidupkan agama kakeknya, dan dalam dimensi yang lebih luas melakukan jihad pemikiran. Beliau memerangi segala bentuk fitnah dan juga memberikan penjelasan rasional kepada para sahabatnya yang memprotes perjanjian damai dengan Muawiyah.
Dalam menjawab sebuah protes terhadap perdamaian dengan Muawiyah, Imam Hasan as berkata, “Bukankah aku – setelah ayahku – adalah hujjah Allah Swt dan Imam atas makhluk? Tidakkah aku dan saudaraku adalah orang yang disebutkan oleh Rasulullah, ‘Hasan dan Husein adalah pemimpin, baik bangkit (melakukan perlawanan) atau pun diam.’”
Imam kemudian menjelaskan, “Wahai Abi Sa'id! Jika aku imam dan pemimpin dari sisi Allah, tidak pantas engkau menganggap pendapatku atau keputusanku baik perang atau berdamai sebagai kebatilan, meskipun hikmah dari pekerjaan ini tersembunyi bagimu. Bukankah engkau mendengar bahwa ketika Khidir melobangi perahu, membangun kembali dinding, dan membunuh seorang anak laki-laki, telah menyebabkan kemarahan Nabi Musa as? Karena hikmah dan filosofi urusan seperti ini tersembunyi bagi Musa, sementara sisi Allah perkara itu berjalan sesuai kebenaran. Ketahuilah bahwa engkau juga tidak memahami hikmah pekerjaanku. Apabila aku tidak melakukannya (berdamai), tidak akan ada tersisa dari Syiahku di muka bumi. Mereka akan membunuh semuanya."
Pada intinya, perdamaian Imam Hasan as adalah contoh dari fleksibilitas yang paling heroik dalam sejarah yang ditunjukkan olehnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi ketika itu. Berkat perdamaian ini, Imam Husein as pada masanya mampu mencetuskan sebuah revolusi besar untuk menjelaskan hakikat sekaligus pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Kedua sosok mulia ini mengemban risalah dan tugas yang sama untuk membangunkan masyarakat Muslim dari kelalaian. Imam Hasan memilih bersabar dan perlawanan lunak, sementara Imam Husein melakukan perlawanan bersenjata. Dari dua model ini lahirlah sebuah taktik yang sempurna untuk mengejar satu tujuan. (RM)