Menelisik Pemenggalan Sadis di Arab Saudi
Arab Saudi adalah salah satu pelanggar hak asasi manusia terbesar di dunia. Ada banyak dokumen dan pernyataan global yang membuktikan hal ini.
Pada Maret 2016, para peserta seminar tentang situasi HAM di Arab Saudi, menyimpulkan bahwa pemerintah Saudi adalah pelanggar HAM terbesar dan mereka menyerukan peninjauan kembali kebijakan Riyadh terkait hak-hak sipil. Seminar ini digelar bersamaan dengan sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Ilhan Omar, anggota DPR AS baru-baru ini menyebut Saudi sebagai pelanggar HAM terbesar di dunia.
Pada April 2018, Departemen Luar Negeri AS dalam laporan tahunannya tentang situasi HAM di dunia, menyatakan pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh para pejabat Saudi termasuk, pembunuhan ilegal dan eksekusi mati, penyiksaan, dan penahanan pengacara, pejabat hukum, lawan politik, serta membatasi hak kebebasan berekspresi, termasuk di dunia maya, merampas hak warga negara untuk memilih pemerintah lewat pemilu yang bebas, perdagangan manusia, dan kekerasan terhadap wanita dan diskriminasi seksual.
Eksekusi di luar hukum para oposan adalah salah satu pelanggaran HAM yang paling nyata dan terburuk yang dilakukan oleh pemerintah Riyadh. Data eksekusi selama satu dekade terakhir menunjukkan bahwa jumlah pemenggalan naik secara signifikan sejak Mohammed bin Salman (MBS) terlibat dalam struktur pengambil keputusan di Saudi.
Menurut Amnesty International, selama tahun 1985-2016 atau tiga dekade terakhir, Kerajaan Arab Saudi telah mengeksekusi lebih dari 2.000 orang atau rata-rata 65 orang dipenggal setiap tahun. Pada 2010, hanya 27 orang yang dihukum mati di negara itu. Pada 2016 atau satu tahun setelah MBS diangkat sebagai menteri pertahanan dan wakil putra mahkota, sebanyak 139 orang dieksekusi mati di Saudi, angka ini naik menjadi 147 pada 2017 dan 149 orang pada 2018.
Dengan kata lain, Arab Saudi mengeksekusi 2.000 orang selama tiga dekade terakhir, dan hanya dalam tiga tahun terakhir saja, negara itu telah memenggal 435 orang. Data ini mencerminkan peningkatan tajam dalam hal penggunaan hukuman mati di Saudi.
Sebagian besar eksekusi mati dalam beberapa dekade terakhir terkait kasus kejahatan narkoba, tetapi eksekusi mati selama tiga tahun terakhir dilakukan terhadap penentang dan pengkritik kebijakan Al Saud.
Dalam hal ini, majalah Newsweek menulis, "Setelah Mohammed bin Salman berkuasa pada 2015, tingkat eksekusi mati di Arab Saudi terus naik hingga belum pernah terjadi sebelumnya sejak dekade 1990-an."
Namun, MBS mengklaim bahwa pihaknya sedang berusaha menghadirkan citra Arab Saudi yang modern dan maju. Visi Saudi 2030 juga dirancang oleh MBS untuk mempromosikan ekonomi Saudi dan membentuk masyarakat yang aktif.
Pada 23 April 2019, pemerintah Arab Saudi melaksanakan pemenggalan kepala terhadap 37 warganya atas tuduhan "kejahatan yang terkait dengan terorisme" dalam satu hari.
Pertama, jika ingin menganalisa kejahatan ini dari aspek hukum, maka harus dikatakan bahwa Arab Saudi memiliki definisinya sendiri tentang terorisme di mana sepenuhnya berbeda dengan definisi yang diterima secara global. Undang-Undang Anti-Terorisme yang pertama kali disahkan Riyadh pada 2014 dan kemudian direvisi pada akhir 2017, memberikan definisi yang luas dan multi- tafsir tentang tindakan terorisme.
Human Rights Watch (HRW) berpendapat bahwa UU baru itu memberikan definisi yang sangat luas tentang tindakan terorisme dan tidak terbatas pada aksi yang berbau kekerasan, tetapi subjek terorisme dalam UU baru ini, termasuk mengganggu ketertiban umum, melemahkan keamanan publik, dan meliburkan undang-undang yang terkait dengan prinsip-prinsip memerintah. Para pejabat Saudi menggunakan UU ini untuk menghukum para oposan dan aktivis perdamaian.
HRW menambahkan bahwa UU tersebut akan memungkinkan pemerintah untuk memberi label terorisme kepada semua oposan, bahkan jika oposisi menuntut sesuatu yang berhubungan dengan reformasi atau memerangi korupsi di Arab Saudi.
Apa yang terjadi hari ini di Saudi dan terutama kasus pemenggalan 37 orang, sepenuhnya sesuai dengan pandangan HRW, karena mereka dieksekusi atas tuduhan "kejahatan yang terkait dengan terorisme," padahal orang-orang ini hanya terlibat dalam demonstrasi atau mengkritik kebijakan Al Saud.
Ulama senior Saudi, Syeikh Nimr Baqir al-Nimr dieksekusi pada 2016 atas tuduhan mendukung terorisme, namun faktanya adalah ia dieksekusi mati hanya karena mengkritik kebijakan Al Saud.
Kedua, proses persidangan terhadap orang-orang yang dieksekusi sama sekali tidak adil. Di satu sisi, para terdakwa dilarang memiliki pengacara, dan di sisi lain, pengadilan berada di bawah arahan dinas-dinas keamanan Arab Saudi.
Televisi CNN Amerika dalam sebuah laporan menyatakan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) orang-orang yang dipenggal adalah palsu dan diperoleh di bawah penyiksaan yang kejam, dan bahkan BAP itu ditulis oleh aparat keamanan sendiri.
Oleh sebab itu, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet mengecam eksekusi terhadap 37 warga Saudi, dan menyatakan keprihatinan atas tidak adanya prosedur pengadilan yang adil di Arab Saudi dan laporan yang terkait dengan pengakuan orang-orang tersebut.
Ketiga, metode eksekusi mati yang diterapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Mereka melakukan eksekusi dengan cara memenggal kepala dengan pedang dan cara ini sudah tidak digunakan di negara mana pun, hanya Saudi yang masih menjalankan model seperti ini.
Wakil Menteri Luar Negeri Inggris, Alan Duncan mengkritik keras kinerja Arab Saudi dalam memenggal 37 warganya, dan menyebut hal itu sebagai tindakan yang menjijikkan dan sama sekali tidak dapat diterima di dunia modern. Dia mengatakan eksekusi massal ini adalah sebuah langkah mundur dan kami sepenuhnya mengecam tindakan tersebut.
Salah satu isu utama yang patut mendapat sorotan adalah tujuan dari kejahatan tersebut. Sebenarnya, tujuan apa yang ingin dikejar oleh rezim Al Saud dari aksi kejahatan yang membuat mereka dikritik secara global?
Pemerintah Arab Saudi adalah salah satu rezim yang mengejar pendekatan sektarianisme. Kebijakan Riyadh sarat dengan diskriminasi terhadap minoritas Syiah. Dari 37 orang yang dieksekusi pada 23 April lalu, 33 dari mereka adalah warga Syiah Arab Saudi.
Sebagian analisa berbicara tentang hubungan antara insiden serangan teror ke sebuah gedung keamanan di daerah Zulfi, sebuah kota kecil sekitar 250 km barat laut Riyadh dan keputusan eksekusi terhadap 37 warga Arab Saudi. Serangan itu terjadi pada 21 April dan eksekusi mati dilakukan pada 23 April.
Pada dasarnya, sebagian pihak percaya bahwa serangan teroris 21 April adalah sebuah insiden yang sudah didesain sebelumnya untuk mempersiapkan kondisi bagi pemenggalan 37 orang tersebut, di mana 33 dari mereka warga Syiah.
Melalui eksekusi ini, pemerintah Saudi juga ingin menyampaikan pesan kepada oposan dan penentang mereka – baik Syiah maupun Sunni – bahwa mereka tidak takut terhadap kecaman dunia dan setiap pengkritik akan dikirim ke liang kematian.
Dan keempat, pemerintah Saudi yakin bahwa kecaman dunia hanya bersifat verbal dan tidak akan ada tindakan nyata terhadap mereka, karena Presiden AS Donald Trump dan sekutunya akan mencegah setiap tindakan melawan Al Saud.
Dukungan penuh pemerintah AS terhadap rezim Saudi telah meningkatkan jumlah eksekusi mati di negara itu selama tiga tahun terakhir. Dukungan Trump ini bahkan telah memicu gesekan antara Gedung Putih dan Kongres AS.
Kongres telah meloloskan dua resolusi terhadap Arab Saudi, pertama meminta Gedung Putih menghentikan dukungannya terhadap serangan Saudi di Yaman, dan kedua memperkenalkan MBS sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi. Namun Trump telah memveto kedua resolusi tersebut.
Kebijakan Washington ini telah memperbesar keberanian Al Saud untuk meningkatkan kejahatannya di dalam dan luar Arab Saudi dengan tingkat yang mencengangkan. (RM)