Tiga Prinsip Iran dalam Berinteraksi dengan Dunia
(last modified Sun, 12 Jul 2020 08:52:36 GMT )
Jul 12, 2020 15:52 Asia/Jakarta
  • Tiga Prinsip Iran dalam Berinteraksi dengan Dunia

Dalam kalender nasional Iran, tanggal 23 Tir atau 13 Juli setiap tahun diperingati sebagai Hari Dialog dan Interaksi Konstruktif dengan Dunia. Tujuan penetapan hari seperti itu adalah untuk menekankan kembali perhatian Republik Islam Iran terhadap interaksi konstruktif dengan negara dunia.

Pada peringatan tahun pertama dicapainya perjanjian nuklir JCPOA (2015), Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sebuah pidato mengatakan tanggal 23 Tir dapat disebut sebagai hari interaksi dengan dunia. “Pada hari itu, Republik Islam Iran membuktikan kepada seluruh dunia bahwa dari segi kekuatan politik, ia punya kemampuan dan keahlian dalam persoalan politik, logika, dan isu-isu teknis dan hukum, di mana mampu bernegosiasi dengan kekuatan besar untuk memecahkan isu internasional yang kompleks dan membela hak-hak rakyat Iran dengan baik.”

“23 Tir membuktikan bahwa kita – sama seperti di medan perang – mampu menghadapi konspirasi global dan melawan mereka serta membawa kemenangan untuk bangsa. Di kancah politik, hukum, dan teknis, kita juga punya kekuatan dan mampu membela hak-hak bangsa,” tegasnya.

Tentu saja, penetapan momen seperti itu dalam kalender Iran bersifat simbolis, karena bangsa Iran selalu menjadi bangsa yang mencari perdamaian dan interaksi yang konstruktif dengan dunia. Jika kita melihat sekilas sejarah Revolusi Islam, kita menyadari bahwa tingkat interaksi konstruktif Iran dengan negara-negara penting dan berbeda di dunia, telah menjadi salah satu perhatian Tehran sejak masa Imam Khomeini ra.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei berulang kali menekankan masalah tersebut. Di salah satu pidatonya, Rahbar mengatakan, “Apa yang kami sampaikan adalah bahwa para pejabat negara – segala puji bagi Allah – mampu bekerja sama dengan dunia selama dekade ini. Terlepas dari fakta bahwa musuh selalu ingin mengisolasi bangsa Iran, tetapi bangsa ini tidak terkucil, mereka bekerja sama dengan dunia, dan di saat yang sama mereka secara serius melawan kekuatan hegemoni dan arogan, mereka mampu melawan tipu daya.”

Jadi, penetapan momen seperti itu merupakan bentuk penekanan kembali tentang minat dan perhatian Republik Islam Iran untuk membangun interaksi yang konstruktif dengan dunia.

Presiden Rouhani di salah satu pidatonya bertepatan dengan peringatan Hari Dialog dan Interaksi Konstruktif dengan Dunia, mencatat pentingnya momen tersebut. Bercerita tentang interaksi yang telah melahirkan perjanjian nuklir JCPOA, dia menuturkan selama berlangsungnya negosiasi yang rumit dan intensif, sebuah negara berhadapan dengan enam negara dan mencapai sebuah kesepakatan besar.

“Kekuatan-kekuatan besar menuduh negara kita melakukan kegiatan rahasia dan berusaha memperoleh bom selama 12 tahun terakhir. Namun dalam negosiasi ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) secara tegas menyatakan Iran tidak mencari bom,” ungkapnya.

Sayangnya, sikap inkonsisten Washington setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, telah merusak sebuah perimbangan yang membawa dunia menuju perdamaian dan ketenangan.

Rouhani menerangkan bahwa AS setelah keluar dari JCPOA, berusaha mendorong negara lain untuk mengikuti keputusannya dan dengan menjatuhkan lebih banyak sanksi terhadap Iran dan perang ekonomi, Washington juga memaksa Tehran untuk meninggalkan JCPOA.

“Kami sebagai sebuah bangsa dan pemerintah yang berpengalaman, sedang berhadapan dengan sebuah pemerintah yang tidak berpengalaman di AS, kami memberikan tenggat waktu kepada pihak lain anggota JCPOA untuk memberikan kompensasi, tetu saja beberapa pihak di JCPOA yaitu Rusia dan Cina, mengambil langkah tertentu selama periode itu dan menjalin kerja sama yang baik dengan Iran. Namun negara-negara Eropa tidak mau atau tidak mampu memenuhi kewajibannya,” tambahnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, AS berusaha menghancurkan JCPOA dan mendorong negara lain supaya mengikuti langkah mereka. Tetapi setelah hampir lima tahun, 14 anggota Dewan Keamanan PBB – selain Amerika – menyatakan dukungan kepada JCPOA dan resolusi 2231, sebab sudah terbukti bagi mayoritas negara dunia bahwa Iran tidak melanggar perjanjian nuklir.

Laporan-laporan IAEA juga memverifikasi kepatuhan Tehran. Menurut 15 laporan IAEA, Iran sepenuhnya memenuhi semua kewajibannya meskipun pihak lain baik AS maupun negara lain, belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Padalal dalam JCPOA disebutkan bahwa jika pihak lain tidak memenuhi kewajibannya, Iran juga dapat mengambil langkah yang sama. Namun demi memperkuat kepercayaan, Republik Islam tidak tergesa-gesa mengambil tindakan balasan dan menggunakan hak-haknya seperti tertuang dalam perjanjian.

Karena menurut Presiden Rouhani, rakyat Iran adalah orang-orang yang rasional dan berpegang pada akal sehat serta mematuhi perjanjiannya, tetapi ketika kalian tidak memenuhi ketentuan perjanjian, kami tidak punya pilihan lain dan dalam hal ini, rakyat Iran dengan seluruh kekuatannya berdiri mendukung para pejabatnya dan mendukung keputusan-keputusan pemerintah dalam menghadapi tekanan musuh.

Secara pasti, prinsip dialog dan interaksi dengan negara lain di tingkat internasional dan dengan faksi-faksi politik independen, merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri di dunia modern. Sebab di era saat ini, yang dikenal sebagai era komunikasi, tidak mungkin untuk menjalani hidup dalam keterasingan serta menutup jalur komunikasi dan interaksi dengan negara lain. Namun tentang bagaimana berinteraksi dan berdialog dengan orang lain, tentu saja memiliki prinsip dan ketentuan di mana semua negara dan pemerintah harus mematuhinya.

Atas dasar ini, Republik Islam Iran membangun interaksi dengan negara lain berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan luar negerinya yaitu didasarkan pada martabat, kebijaksanaan, dan kepentingan bangsa. Ketiga prinsip ini merupakan panduan berinteraksi dan bersikap di hadapan negara lain.

Presiden Hassan Rouhani.

Prinsip-prinsip ini mengajarkan para pejabat Iran bahwa dalam bernegosiasi dengan negara lain, perilakunya harus bersandar pada rasionalitas dan menjadikan martabat dan nilai-nilai bangsa sebagai prioritas. Mereka memahami bahwa dalam hubungan internasional, kemuliaan rakyat Iran tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan materi dan tidak boleh tunduk pada kehinaan.

Di sisi lain, Republik Islam Iran – karena posisi geopolitiknya – tidak ada jalan lain kecuali berinteraksi dengan negara lain. Iran terletak di daerah yang menghubungkan tiga benua. Selain itu Iran terletak di wilayah Teluk Persia, di mana semua kekuatan dunia memiliki kepentingan di sini.

Posisi geopolitik ini telah mengubah negara ini menjadi sebuah pemain internasional serta memaksa Iran dan negara-negara lain untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam hal ini, Republik Islam selalu berusaha membangun interaksi yang positif dan konstruktif dengan negara lain, tentu saja tidak mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.

Prinsip pertama Iran terkait dengan hubungan timbal balik. Prinsip kedua adalah sikap saling menghormati. Prinsip ketiga adalah saling menguntungkan, sebuah kondisi yang juga selalu menjadi perhatian dalam kehidupan individu. Artinya, jika Anda membangun interaksi positif dengan orang lain, tetapi ia justru menciderai interaksi ini, tentu saja tidak rasional untuk mempertahankan hubungan ini.

Prinsip penting lain dalam berinteraksi adalah prinsip independensi, sebuah prinsip yang selalu menjadi salah satu cita-cita bangsa Iran sejak awal Revolusi Islam. Independensi/kemandirian tidak berarti mengisolasi diri, juga tidak bermakna menutup pintu interaksi. Oleh karena itu, dari sudut pandang Iran, sebuah interaksi dianggap konstruktif jika memperhatikan semua prinsip ini dan secara khusus prinsip independensi Iran. (RM)