Kebijakan Strategis Iran dalam Bertetangga
Republik Islam Iran sejak dulu sampai sekarang menunjukkan sikap serius dalam masalah keamanan. Dalam merespon krisis regional selama satu tahun terakhir, Iran juga membuktikan dirinya bahwa ia bukan pemicu krisis dan ketegangan, tapi bahkan selalu menjadi bagian dari solusi masalah-masalah regional. Hal ini jelas berbeda dengan sikap beberapa negara di kawasan.
Terorisme dan ekstremisme merupakan sebuah fenomena berbahaya yang telah mengubah kawasan (Asia Barat dan Afrika Utara) menjadi salah satu zona yang paling kritis di dunia. Berlanjutnya situasi seperti itu dapat menyebabkan penyebaran konflik regional ke negara-negara lain. Di era globalisasi dan dunia tanpa batas, negara-negara dunia kesulitan mengontrol garis perbatasannya serta mencegah penyebaran kekacauan dan instabilitas.
Bahaya besar di dunia modern adalah bahwa organisasi-organisasi teroris telah berubah menjadi pemerintahan teroris. Kebangkitan bangsa-bangsa regional yang menuntut reformasi dan perubahan konstruktif di negara-negaranya juga sudah diselewengkan oleh teroris dan nasib bangsa-bangsa mulai ditentukan oleh moncong senjata dan teror, bukan lagi di kotak suara.
Republik Islam Iran percaya bahwa kerjasama kolektif untuk melawan ancaman dan musuh akan menguntungkan kawasan. Sebab, kubu ekstrim, ISIS, Front al-Nusra, dan sejenisnya akan menghancurkan seluruh kawasan dan pada akhirnya seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam artikelnya di koran New York Times dan juga di Asharq al-Awsat, mengusulkan pembentukan forum dialog regional dan mengatakan bahwa dengan kehadiran forum seperti itu, kita dapat menjelaskan kekhawatiran kita tentang satu sama lain, termasuk kekhawatiran soal keamanan dan pertahanan. Ia menegaskan Iran punya kesiapan untuk tujuan itu, karena kami tidak memiliki sesuatu untuk ditutupi.
Menlu Zarif dalam pertemuan di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga menandaskan bahwa program rudal Iran sama sekali tidak melanggar aturan dan hukum internasional. Ia menyampaikan hal itu dalam menjawab pertanyaan bahwa mengapa para pakar Amerika khawatir dengan program pertahanan rudal Iran. Zarif menerangkan bahwa mereka mungkin bisa berbicara seperti itu ketika resolusi 1929 Dewan Keamanan PBB masih berlaku, tapi sekarang tidak ada satu pun yang bisa berkata bahwa program rudal Iran telah melanggar hukum.
Republik Islam Iran berdasarkan fatwa Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dan juga doktrin pertahanannya, tidak pernah berniat untuk memproduksi senjata nuklir. Lalu, untuk apa semua propaganda itu?
Menlu Iran mengingatkan bahwa sama sekali tidak ada ancaman dari Iran terhadap tetangga selama lebih dari 250 tahun. Ia menuturkan, “… kita tidak melakukan agresi terhadap negara mana pun meski kami termasuk salah satu negara besar atau mungkin kekuatan terbesar di kawasan. Kami sama sekali tidak pernah menyerang salah satu dari tetangga kami. Tapi kami membela diri kami. Kami berhak untuk memiliki sarana dan metode pertahanan untuk diri kami. Kami tidak akan melepaskan metode dan sarana itu dan meski demikian, kami siap untuk membangun kepercayaan dengan semua tetangga kami.”
Zarif lebih lanjut menegaskan bahwa anggaran pertahanan Iran khususnya anggaran untuk perangkat keras militer, juga tidak sampai sepersepuluh dari anggaran yang dibelanjakan Arab Saudi untuk perangkat keras militernya.
Dari segi politik dan ekonomi, perjanjian nuklir merupakan sebuah kesepakatan win-win untuk semua. Dari perspektif regional, perjanjian nuklir membawa pesan bahwa diplomasi dapat memecahkan masalah, di mana sebelumnya semua berpikir mustahil untuk melakukan itu. Masalah nuklir telah diselesaikan antara Iran dan enam kekuatan besar dunia, di mana paling tidak untuk lebih dari satu dekade telah menjadi sebuah sengketa dan juga kerap terdengar ancaman. Untuk itu, sama sekali tidak ada alasan rasional bahwa isu-isu di kawasan tidak bisa dipecahkan.
Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 2013, mengusulkan sebuah prakarsa Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme (WAVE) dan para perwakilan masyarakat dunia dengan suarat bulat menyetujui usulan tersebut. Sekarang perkawinan antara Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dan WAVE, dapat menjadi sebuah cara efektif untuk menyelesaikan masalah di Timur Tengah.
Ia akan menjadi sebuah prakarsa – melalui dialog dan gerakan global untuk menyelesaikan konflik regional – yang dapat mencegah pembantaian warga tak berdosa dan pemboman warga sipil, penyebaran kekerasan, dan genosida. Dan dengan dukungan dunia internasional, stabilitas dapat diciptakan serta demokrasi dan supremasi sipil dapat ditegakkan di Timur Tengah.
Realitas saat ini adalah bahwa Irak, Suriah, dan Yaman telah menjadi korban aksi teror, ekstremisme, kekerasan, agresi, dan juga ketidakpedulian masyarakat dunia, di mana kini dampaknya menyebar dari dunia Arab ke Eropa dan AS. Krisis tersebut akan berujung pada musnahnya warisan peradaban manusia dan dalam dimensi yang lebih luas adalah pembantaian massal. Akan tetapi, AS – sebagai negara yang mengaku memerangi terorisme – melakukan serangan ke Afghanistan dan Irak dengan alasan itu.
AS menduduki negara tersebut selama bertahun-tahun serta membuat jutaan orang meninggal dunia dan kehilangan tempat tinggal. Namun Washington gagal menumpas teroris dan justru memicu kekacauan dan perpecahan di kawasan.
Keamanan kolektif di kawasan dan dunia sekarang juga terancam dengan penyebaran teroris ISIS-Zionis. Pemerintah AS dengan membantu beberapa sekutu regionalnya seperti, Arab Saudi, memainkan peran langsung dalam menyebarluaskan aktivitas teroris takfiri. Sebanyak 10 warga Saudi tercatat sebagai tersangka utama dalam serangan teroris 11 September 2001 dan sekarang Riyadh memolopori pembentukan koalisi anti-terorisme.
Kebijakan standar ganda AS – bersama dengan mendistorsi realitas di kawasan dan melontarkan tudingan miring kepada pihak lain – telah memperparah ekstremisme, kekerasan, dan konflik sektarian di kawasan.
Dengan memperhatikan ancaman mereka, kebijakan Republik Islam Iran di organisasi-organisasi internasional adalah memolopori perdamaian di kawasan atas dasar kepentingan kolektif atau prinsip win-win. Dalam kerangka ini, Iran siap berkontribusi untuk kehancuran terorisme dan mempersiapkan kondisi untuk perubahan ke arah demokrasi di kawasan. Republik Islam percaya bahwa semua negara tidak boleh membiarkan senjata menjadi instrumen untuk mewujudkan perubahan di kawasan. Iran mendukung keberlangsungan kekuasaan lewat suara rakyat dan bukan dengan senjata. Iran selama ini berkontribusi untuk tegaknya demokrasi di Irak dan Afghanistan dan sekarang juga siap untuk membantu terwujudnya demokrasi di Suriah dan Yaman.
Berkenaan dengan krisis Suriah, Republik Islam Iran percaya bahwa krisis itu tidak punya solusi militer, krisis Suriah membutuhkan prakarsa politik. Iran sejak awal bertekad mendorong sebuah solusi politik untuk Suriah. Sayangnya, beberapa pihak justru mengajukan prasyarat dan ingin menentukan skornya justru sebelum proses itu dimulai. Jelas bahwa tuntutan seperti itu akan membuat perundingan mustahil dilakukan.
Namun, kebuntuan itu sedang mencair berkat upaya Iran dan beberapa negara lain serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu, penekanan dan fokus diplomasi Iran adalah berlanjutnya upaya politik untuk mendorong kehadiran pemerintah persatuan nasional dan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil. Selain itu, ada beberapa amandemen yang perlu dilakukan dalam konstitusi Suriah. Iran yakin bahwa formula ini bisa mengakhiri krisis di negara Arab itu.
Presiden Hassan Rouhani dalam pidatonya di Majelis Umum PBB mengatakan, “Perang, kehancuran, dan teror hari ini bersumber dari pendudukan, agresi, dan intervensi militer kemarin. Jika agresi militer AS ke Afghanistan dan Irak tidak pernah ada, dan jika dukungan mutlak AS terhadap tindakan anti-kemanusiaan Israel atas bangsa tertindas Palestina tidak pernah ada, maka sekarang teroris tidak menemukan alasan untuk pembenaran kejahatan-kejahatannya.”