Bersama Kafilah Ramadan (28)
Rahasia semangat kaum Muslim memakmurkan masjid dapat ditemukan dari perkataan para pemuka agama. Ahli masjid adalah orang-orang yang mulia dari setiap keluarga dan bunga rampai setiap suku dan etnis. Ahli masjid mendapat kehormatan untuk duduk bersama malaikat dan menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah Swt. Mereka dikenal sebagai para penghuni rumah Allah Swt, langkah mereka dimudahkan dalam melintasi sirat (jembatan) di Hari Kiamat kelak, dan mereka juga akan menjadi para pengusung panji
Rasulullah Saw bersabda, “Manusia yang teguh pendiriannya selalu ditemukan di masjid-masjid, di mana malaikat Allah duduk dan akrab bersama mereka. Ketika mereka tidak hadir di masjid malaikat akan mencarinya, ketika mereka sakit malaikat akan menjenguknya, dan karena membutuhkan bantuan dalam pekerjaan-pekerjaannya, malaikat akan membantu mereka.” (Bihar al-Anwar, jilid 80)
Pada shalat jamaah, orang-orang berdiri dalam satu barisan dan menanggalkan semua atribut duniawi seperti, kedudukan, etnis, bahasa, status sosial, dan lain-lain. Di situ yang terlihat hanya keakraban dan pertalian hati di antara para jamaah. Pertemuan kaum Mukmin dalam barisan shalat memberikan kehangatan serta menumbuhkan kekuatan dan harapan. Shalat jamaah merupakan pentas untuk merapatkan barisan, mendekatkan hati, dan memperkuat semangat persaudaraan. Kehadiran di masjid merupakan bentuk lain dari kegiatan silaturahim, yang memberi ruang untuk terciptanya semangat kepedulian sosial.
Ada banyak riwayat yang mendorong kaum Muslim untuk menumbuhkan sikap kepedulian sosial itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Jika seorang jamaah bermakmum kepada imam, maka setiap rakaat dari shalat mereka memiliki pahala 150 shalat, dan jika dua orang bermakmum, setiap rakaatnya memperoleh pahala 600 shalat, dan semakin banyak jumlah jamaah, maka pahala mereka akan semakin besar hingga mencapai 10 orang dan jika jumlah mereka sudah lebih dari 10, maka jika seluruh langit menjadi kertas, laut menjadi tinta, pepohonan jadi pena, dan jin, manusia, dan malaikat jadi penulisnya, mereka tidak akan mampu mencatat pahala satu rakaat shalat tersebut.”
Bulan Ramadan memberi nuansa baru bagi kehidupan kaum Muslim dan mereka berusaha untuk menunaikan shalatnya secara berjamaah di masjid-masjid. Bersama datangnya Ramadan, sejumlah masjid menyusun program-program khusus seperti, kegiatan shalat berjamaah, tadarus, menggelar kelas agama, dan lain-lain. Masyarakat Islam juga menaruh perhatian besar untuk memakmurkan masjid di bulan Ramadan dan mereka antusias mengikuti kegiatan ceramah agama dan safari Ramadan yang digelar di masjid-masjid.
Menurut ayat suci al-Quran dan perkataan para imam maksum,ikhlas merupakan landasan agama dan pondasi yang kokoh baginya. Dalam surat az-Zumar ayat 11, Allah Swt berfirman, “Katakanlah! Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” Para ulama akhlakmentamsilkan ikhlas dengan susu murni, yang tidak ada warna kemerahan di dalamnya dan juga tidak tercampur dengan noda, tapi sepenuhnya murni dan suci. Niat dan perbuatan ikhlas juga seperti itu dan sama sekali tidak ada motivasi lain di dalamnya kecuali tulus karena Allah Swt. Orang-orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak menaruh harapan kepada siapa pun selain Allah Swt, lahir dan batin mereka sama, mereka tidak mengenal kelelahan dan penyesalan, serta pujian dan cacian masyarakat sama di mata mereka.
Sementara riya’ – sifat yang bertentangan dengan ikhlas–bermakna pamer diri dan memamerkan dirinya kepada orang lain. Dengan kata lain, seseorang melakukan perbuatan dengan niat untuk mempertontonkan kepada orang lain dan ia menikmati pujian dan sanjungan yang diperoleh dari masyarakat. Perasaan riya’ merupakan salah satu sarana penting syaitan untuk menyesatkan manusia. Syaitan menyalahgunakan kebutuhan alamiah manusia akan pujian dan membuat mereka berbangga diri serta menyibukkan mereka dengan aspek-aspek lahiriyah perbuatan.
Syaitan berupaya maksimal untuk merusak dan mengotori perbuatan manusia dengan riya’. Syaitan kadang membisikkan manusia untuk menunaikan shalat dengan tenang, tidak tergesa-gesa, dan khusyu’ sehingga lingkungan sekitar menganggapnya sebagai seorang mukmin dan shaleh. Namun, godaan syaitan kadang dilakukan dalam bentuk yang lebih halus dan tampil dalam jubah ketaatan. Sebagai contoh, syaitan berkata, “Engkau adalah orang alim dan masyarakat menilaimu, jika engkau memperindah shalat dan ibadahmu, mereka akan bermakmum di belakangmu dan engkau ikut serta dalam pahala mereka.”
Model godaan syaitan sesekali muncul dalam bentuk yang lebih rumit dan tersembunyi.Misalnya saja ia berkata kepada orang yang sedang shalat, “Jangan dirikan shalat berjamaah, sebab di sana mungkin saja niatmu akan ternodai, cukup tunaikan shalatmu di rumah saja, atau ketika engkau shalat di tengah jamaah, tinggalkanlah shalat sunnah dan shalatlah dengan cepat sehingga tidak terkontaminasi dengan riya’.” Sayangnya, tidak sedikit orang yang terjebak dalam godaan ini dan mereka harus kehilangan pahala shalat sunnah yang sangat ditekankan oleh agama.
Bulan Ramadan merupakan sebuah kesempatan berharga, di mana manusia selain bisa memperoleh berkah puasa, juga melatih dan menambah kadar keikhlasan di seluruh amalan lain sehingga menghasilkan sebuah perbuatan yang bebas dari riya’. Puasa merupakan satu-satunya amal ibadah yang terlepas dari riya’, karena aturan-aturan dalam puasa seperti, tidak makan dan tidak minum pada waktu tertentu, dapat disembunyikan dari khalayak. Kecuali ada pengakuan dari orang yang sedang menjalaninya. Berkenaan dengan puasa, Sayidah Fatimah az-Zahra as berkata, “Allah mewajibkan puasa untuk mengokohkan keikhlasan.”
Suatu hari, Abu Dzar duduk di sisi Ka’bah sambil berpikir bahwa berdiam diri tidak ada gunanya dan lebih baik bangkit memberi nasihat kepada masyarakat. Dia kemudian bangkit dan berkata, “Wahai manusia! saya adalah Jundab al-Ghifary, sahabat Rasulullah, kemarilah kalian untuk menemui saudara kalian yang menasehati dengan penuh kasih sayang.” Maka tatkala mereka berkumpul disekelilingnya, Abu Dzar bertanya, ”Bukankah kalian tahu bahwa jika salah satu di antara kalian ingin berpergian maka dia akan mempersiapkan bekal yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan?” Mereka menjawab, ”Benar, memang demikian seharusnya wahai Abu Dzar.”
Abu Dzar pun berkata, ”Jika demikian, maka ketahuilah bahwa perjalanan di Hari Kiamat lebih jauh dari apa yang kalian tuju di dunia ini, maka ambillah bekal yang dapat menyelamatkan kalian.” Mereka bertanya, ”Apakah bekal yang layak kami persiapkan untuk perjalanan tersebut wahai sahabat Rasulullah?” Beliau menjawab,”Tunaikanlah ibadah haji, berpuasalah di hari yang panas untuk menghadapi lamanya berdiri di Padang Mahsyar, shalatlah dua rekaat di kegelapan malam, karena alam kubur itu menakutkan. Berbicaralah dengan santun dan jangantanggapi ucapan buruk untuk menghadapi saat-saat sendirian di Padang Mahsyar, bersedekalah dengan hartamu, agar kalian selamat dari kesusahan di hari itu.”
Abu Dzar kemudian melanjutkan, ”Jadikanlah dunia untuk dua majelis; majelis untuk mencari rezeki yang halal dan majelis untuk mengejar akhirat. Adapun majelis ketiga, akan mendatangkan kerugian bagi kalian. Wahai Manusia! Jadikanlah harta milikmu menjadi dua bagian; bagian pertama sebagai nafkah yang halal untuk keluargamu dan bagian kedua untuk bekal akhiratmu, selain itu akan mendatangkan madharat bagimu.”
Sahabat besar Rasulullah Saw ini mengatakan, “Wahai manusia! Jadikanlah dunia menjadi dua waktu; pertama waktu yang sudah lewat dan kalian tidak bisa mengembalikannya, kedua waktu yang belum datang dan kalian juga tidak yakin apakah kalian akan tetap hidup di waktu itu. Untuk itu ambillah waktu yang sekarang. Sekarang engkau berada di dalamnya dan gunakan ia untuk keuntungan kalian dan berjuanglah untuk melawan ketidaktaatan kepada Allah. Janganlah berbuat dosa atau kalian akan binasa.”