Mari Mengenal Lingkungan (21)
Salah satu isu terbaru selama beberapa dekade terakhir dan senantiasa menjadi pembahasan serius di bidang lingkungan hidup adalah Gas Rumah Kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai.
Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.
Greenhouse gases (Gas Rumah Kaca) dikarenakan gas ini seperti sebuah rumah kaca melingkupi bumi. Di rumah kaca ini, sebagian cahaya matahari akan kembali memantul ketika bertemu dengan dinding kaca ini dan sebagian lainnya masuk ke rumah kaca. Dengan demikian suhu di dalam rumah kaca lebih panas ketimbang di luar. Sementara di bumi, kondisi serupa terjadi. Ketika cahaya matahari mencapai bumi, sebagiannya diserap dan permukaan bumi memanas. Hal ini kerena permukaan bumi lebih dingin ketimbang matahari. Hasilnya adalah tersebarnya gelombang yang lebih tinggi di banding dengan matahari.
Cahaya matahari setelah mencapai bumi tersebar dengan bentuk gelombang lebih tinggi. Di sisi lain, iklim bumi dengan mudah menyerap gelombang lebih tinggi. Dengan demikian gelombang pantulan bumi ini diserap oleh atmosfer. Penyerapan ini menimbulkan pemanasan di permukaan bumi.
Di antara gas rumah kaca adalah uap air. Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktivitas manusia secara langsung memengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan.
Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.
Jenis lain gas rumah kaca adalah Karbondioksida. Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian.
Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri.
Jenis lainnya gas rumah kaca adalah Metana. Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat.
Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Ntrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.
Gas lainnya
Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet).
Selama masa abad ke-20, gas-gas ini telah terakumulasi di atmosfer, tetapi sejak 1995, untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan dalam Protokol Montreal tentang Substansi-substansi yang Menipiskan Lapisan Ozon, konsentrasi gas-gas ini mulai makin sedikit dilepas ke udara. Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pada tahun 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.
Salah satu dampak paling nyata dari gas rumah kaca adalah pemanasan global. Pemanasah global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Emisi karbon yang terus meningkat akan memperbesar risiko konflik, kelaparan, banjir, gangguan ekonomi, dan migrasi massal penghuni bumi pada abad ini.
Jika dibiarkan, emisi gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan kerugian triliunan dollar AS karena kerusakan properti dan ekosistem, dan untuk biaya membangun sistem pertahanan iklim. Risiko ini meningkat setiap satu derajat kenaikan temperatur udara akibat pemanasan global.
Demikian terungkap dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang disampaikan setelah konferensi selama lima hari di Yokohama, Jepang. IPCC adalah panel para pakar yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1988 untuk memberikan panduan ilmiah dan netral terkait perubahan iklim.
"Peningkatan besaran pemanasan menambah kemungkinan terjadinya berbagai dampak yang parah, meluas, dan tak bisa diubah," demikian isi ringkasan laporan itu, yang merupakan sebuah pesan yang kuat kepada para pembuat keputusan. Laporan IPCC itu menyebutkan, dampak pemanasan global dirasakan di mana pun, mengobarkan kemungkinan kekurangan pangan, bencana alam, dan risiko perang. "Dunia, pada banyak kasus, tidak siap menghadapi risiko iklim yang berubah," kata IPCC setelah teks final laporan itu disepakati.
Laporan ini merupakan bab kedua dari tahapan pemeriksaan kelima oleh IPCC, yang memberikan peringatan terkeras terkait berbagai konsekuensi ekstrem pemanasan global. Laporan ini juga memberikan uraian lebih rinci dalam hal efek regional perubahan iklim. Menurut laporan terbaru ini, pemanasan global akan mengganggu pola hujan dan menyebabkan kenaikan risiko banjir secara signifikan, terutama di Eropa dan Asia. Di sisi lain, risiko kekeringan juga makin tinggi di daerah yang tandus.
Semua itu akan berdampak pada sektor pertanian dan kesehatan, dan pada gilirannya bisa memicu gejolak serta konflik sebagai akibat migrasi massal dari daerah-daerah yang tak lagi bisa dihuni. Laporan sebelumnya, yang diterbitkan tahun 2007, menimbulkan sebuah gelombang aksi politik yang pada satu titik sempat memunculkan harapan tercapainya sebuah traktat dunia mengenai perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009.
Namun, sebuah konsensus global gagal terwujud saat terjadi perbedaan pendapat antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Negara-negara penyebab polusi utama, seperti Tiongkok, bersikeras bahwa negara-negara kayalah yang seharusnya memimpin upaya penurunan emisi karbon. Negara-negara berkembang, lanjut Tiongkok, tak bisa diharapkan untuk mengorbankan pertumbuhan ekonomi mereka.