Pesona Iran yang Mendunia (56)
Maulana Jalaluddin Mohammad Maulavi adalah ulama terkenal, sekaligus penyair dan arif terkemuka. Kebanyakan para peneliti mengungkapkan bahwa Maulavi dilahirkan tanggal enam Rabiul Awal 604 Hijriah, atau bertepatan dengan 30 Desember 1207 Masehi di Balkh. Pada musim gugur tahun 672 Hq atau 1273 M, Maulavi jatuh sakit hingga dokter tidak berdaya untuk mengobatinya. Ulama, penyair, arif sekaligus ilmuwan Iran ini wafat pada 5 Zumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 M di usia 68 tahun.
Maulavi memiliki berbagai karya terkemuka di antaranya: Makatib, Fihi Ma Fihi dan Majalis Sab’ah dalam bentuk nasr. Di bidang syair, ada Divan Kabir dan Matsnavi-e Maknavi. Dari sekian karyanya, Matsnavi memiliki kedudukan khusus. Sebab setelah berlalu ratusan tahun lalu hingga kini masih menjadi buku yang memancarkan cahayanya di bidang budaya dan sastra Farsi di dunia. Banyak peneliti menilai kitab Matsnavi sebagai buku pelajaran penting sekaligus petunjuk hidup yang berharga.
Maulavi dalam bukunya Matsnavi-e Maknavi menekankan masalah akhlak dan pendidikan melebihi masalah lain. Cerita yang disajikan Maulavi dalam Mastnavi-Maknavi berpijak pada pendidikan manusia dan penyucian diri. Melampaui bentuk ceritanya, berbagai cerita dalam Matsnavi mengungkapkan tentang pemikiran yang tinggi.

Inovasi adalah salah satu karakteristik khusus Maulavi. Dengan mencermati berbagai karyanya, terlihat dengan jelas perbedaan antara karya Maulavi dengan penyair sebelumnya dari sisi metode, isi, lagu, irama, ritme dan pemilihan diksinya. Maulavi juga dikenal menerobos tradisi syair yang selama ini dipergunakan oleh para penyair sezamannya, bahkan sebelumnya.
Para penyair sezaman Maulavi dan sebelumnya biasa memulai syair dengan melantunkan pujian kepada Allah swt dan Rasulullah Saw. Contohnya bisa kita lihat dalam munajat Ferdowsi, Rodaki, Khaghani, dan Manouchehr, bahkan Sinai dan Attar serta penyair lainnya.
Tapi Maulavi, tidak mengikuti tradisi klasik tersebut, dan menyajikan pujian terhadap Tuhan dalam format baru. Terkait hal ini, doktor Zerin Koub, peneliti sastra Persia mengungkapkan, “Seluruh Matsnavi dari awal hingga akhir inovasi Maulavi. Dengan mengingat Tuhan dan lagu cinta, seorang arif mencari Tuhan dalam api gairah rindu dan rintihan derita,”.
Ungkapan cinta kepada Allah swt yang disampaikan Maulavi dalam berbagai syairnya tidak menggunakan diksi klise maupun resmi sebagaimana dilakukan para penyair sezaman maupun sebelumnya. Berbeda dengan para penyair lain, Maulavi tidak sebatas mendeskripsikan alam semesta dan seluruh makhluk di dunia ini sebagai ciptaan Allah swt dalam syairnya.
Selain itu, Maulavi menerjemahkan gairah cinta kepada Tuhan yang berkobar di dalam dada seorang arif yang tidak terbatas hanya dalam bentuk diksi-diksi resmi para penyair klasik. Maulavi mengungkapnya dengan cara baru yang tidak biasa di kalangan para penyair sezaman dan sebelumnya. Awal Matsnavi dimulai dengan rintihan pencinta. Sastrawan sekaligus peneliti sastra Farsi terkemuka, Doktor Gholam Hossein Yousefi mengungkapkan,“[Matsnavi Maulavi] kerinduan terhadap Tuhan dalam bentuk yang lembut dan puitis”.
Para peneliti karya Maulavi termasuk doktor Zerin Koub berkeyakinan bahwa awal buku pertama Matsnavi yang menjelaskan derita keterpisahan seruling dari rumpun bambunya tidak lain dari kerinduan seorang arif terhadap Tuhan.

Kita simak bersama petikan syair Maulavi:
Beshnou in ney chon shekayat mikonad
Az jodaie-ha hekayat mekonad
az nistan ta mara beboridah-and
az nafiram mard-0- zan nalidah-and
sineh khoham sharheh sharheh az feragh
ta begoyam sharh dard eshteyagh
[Dengarkan rintihan seruling
mengadu karena perpisahan
Sejak berpisah dari rumpunnya
Laki-laki dan perempuan menjerit karena rintihan
Perpisahan membuat terkoyak dada
Biar kuungkap semua derita kerinduan]
Seruling yang menjadi cerita pembuka dalam Matsnavi-e Maknavi bukan sebuah kebetulan atau sekedar ilustrasi belaka.Tapi lebih dari itu, seruling dalam pemikiran Maulavi memiliki kedudukan tinggi dan transenden. Peneliti Matsnavi, profesor Forouzanfar menuturkan, “Istilah Ney (seruling) disebutkan sebanyak 28 kali dalam Matsnavi dan Divan Kabir sebagai bahan metafora. Hal ini menunjukkan perhatian Maulavi terhadap makna kedudukan khususnya,”.
Seruling telah lama dipergunakan dalam berbagai cerita bangsa-bangsa dunia dengan makna khususnya masing-masing. Tapi Maulavi menggunakan seruling sebagai metafora yang lebih tinggi dan lebih halus untuk mengungkapkan kerinduan transendental.
Ketika seruling mengisahkan derita kerinduannya melalui bahasa syair, maka siapapun akan mendengar kisahnya. Menurut penyair Rusia, Lermantov, lagu tersebut mengisahkan derita dan kesalahan manusia. Maulavi bisa saja menggunakan cerita tentang seorang perempuan yang menderita dan menjelaskan kehidupannya.Tapi Maulavi, seorang arif besar Iran, menggunakan seruling untuk menjelaskan penderitaan ruh yang berpisah dari rumpun bambu.
Cerita rintihan seruling Matsnavi Maulavi merupakan cerita tentang ruh yang renta. Ia terasing dan rindu kembali ke tempat asalnya. Terkait hal ini doktor Zerin Koub menuturkan, “Apa yang kita dengar dari Matsnavi cerita tentang ruh yang gagal dan penuh petualangan. Cerita tentang dunia materi. Meninggalkan kelas dan mengesampingkan fiqih sampai datang badai cinta menerpa seperti melewati kerinduan terhadap Shams Tabrizi dan akhirnya menemukan dirinya sendiri hingga akhirnya rindu kembali ke asal. Sehingga Ruh yang dilanda cinta di dunia yang berwarna dan membutuhkan ini, beralih dari dunia yang lepas dari batasan jasmani menuju sumber yang tidak terbatas, zat Yang Maha Kuasa”.

Para komentator menilai seruling dalam Matsnavi tidak lain dari Maulavi sendiri. Sejatinya, syair ini mengungkapkan kerinduan terhadap pencinta. Dalam pandangan Maulavi, seruling memiliki makna yang dalam sebagai pembuka Matsnavi.
Maulavi bertutur lirih:
Ma cho changgim va to zahmeh mizani
Zari az ma ney, to zari mikoni
Ma cho nayaim va nava dar ma ze tust
Ma cho kohim va sada dar ma ze tost
[kami terikat dan kau torehkan luka
Seruling, kau merintih, kami meratap
bak tenggorokan yang mengeluarkan suara
laksana gunung yang menggelegar]
Kebanyakan para komentator dan peneliti Maulavi meyakini pentingnya Ney Nameh. Doktor Zerin Koub berkata, “Nay Nameh”[rintihan seruling] tidak lain dari 18 bait pertama sebagai inti seluruh isi enam buku Matsnavi.” Menurut peneliti Maulavi ini ney sebagai titik baru terkait dengan rintihan ruh seorang arif yang dalam kerinduannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.