Okt 13, 2018 10:22 Asia/Jakarta
  • Kegiatan tadarus di Iran selama bulan Ramadhan.
    Kegiatan tadarus di Iran selama bulan Ramadhan.

Sebelum ini, kami telah menjelaskan tentang kegiatan dakwah Nabi Muhammad Saw yang dipusatkan di masjid. Salah satu dari kegiatan beliau di masjid adalah menyampaikan nasehat dan memberi pencerahan kepada masyarakat. Islam dan al-Quran menyeru manusia kepada iman, yang berlandaskan pada pengetahuan dan makrifat. Jadi, setiap Muslim perlu meningkatkan pengetahuan dan makrifatnya jika ingin mempertebal imannya.

Dalam al-Quran, manusia diajak untuk berpikir tentang tatanan alam semesta dan keajaiban-keajaibannya seperti, sistem tata surya, bintang-bintang, siang dan malam, tumbuhan, hewan, manusia, dan benda-benda lain. Penekanan yang berulang ini mendorong kaum Muslim untuk secara serius mendalami ilmu pengetahuan sehingga bisa meningkatkan kadar keimanannya.

Selain ayat-ayat al-Quran, sirah Rasulullah juga merupakan faktor lain dalam pendekatan ilmiah umat Islam. Beliau mengawali risalahnya dengan perintah membaca dan itu pun di sebuah lingkungan, yang tidak mengenal baca-tulis dan tidak tersentuh oleh pendidikan. Menurut catatan sejarah, jumlah orang terpelajar di Mekkah dan kota-kota di sekitarnya kurang dari 20 orang pada saat kemunculan Islam.

Persoalan ini di samping sabda Nabi Saw tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu seperti, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang mukmin. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah,” atau "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina," semua ini telah membakar rasa ingin tahu dan semangat kaum Muslim untuk menuntut ilmu. Mereka akhirnya dengan penuh antusias mendatangi tempat-tempat belajar untuk menimba ilmu pengetahuan.

Dorongan untuk menuntut ilmu seperti ini tidak terjadi di pusat-pusat pendidikan besar Yunani atau Persia, tapi di sebuah lingkungan yang tidak pernah menyaksikan aktivitas pusat ilmiah dan pendidikan. Di sisi lain, ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Islam bertujuan untuk mencapai keimanan serta mengejar tujuan-tujuan luhur agama dan masyarakat Muslim.

Dalam situasi seperti ini, masjid adalah tempat terbaik dan paling tepat untuk kegiatan ilmiah dan pendidikan. Sebagaimana sabda Nabi Saw, "Barang siapa yang mendatangi masjidku dan tidak ada niat lain selain menimba ilmu atau mempelajari sesuatu yang lain, maka ia sama seperti seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah."

Kegiatan ilmiah dan budaya ini tentu saja tidak terbatas di masjid Nabi, tapi kegiatan serupa juga dilakukan di masjid-masjid lain seperti, Masjid Quba. Namun, masjid Nabi di kota Madinah dianggap sebagai pusat pendidikan al-Quran dan yurisprudensi yang paling penting pada masa itu. Karena di masjid ini, guru besar umat manusia, Nabi Muhammad Saw, secara pribadi terlibat dalam kegiatan pengajaran dan bimbingan umat Islam.

Di masjid Nabi, kegiatan pendidikan al-Quran dan ilmu fikih dilakukan pada siang dan bahkan malam hari. Selain Rasulullah Saw, pribadi-pribadi lain dari kalangan sahabat – yang memperoleh pendidikan khusus dari nabi – juga terlibat aktif mengajarkan ilmu al-Quran dan fikih kepada kaum Muslim.

Kegiatan ini tentu saja tidak terbatas pada pembacaan al-Quran dan ilmu fikih. Namun, karena semua orang sangat gemar membaca al-Quran dan ingin mempraktekkan hukum-hukum agama dalam keseharian mereka, maka wajar jika perhatian untuk mempelajari al-Quran dan fikih lebih besar daripada ilmu-ilmu lain. Kegiatan ilmiah ini berlangsung selama lebih dari dua abad di semua masjid di dunia Islam, dan tradisi ini mulai memudar setelah munculnya sekolah-sekolah tinggi dan universitas di dunia Islam.

Bongkahan batu di Masjid al-Nuqtabh.

Sejarah Masjid al-Nuqtah dan Masjid al-Aqsab di Suriah

Pada kesempatan ini, kami akan memperkenalkan Masjid al-Nuqtah dan Masjid al-Aqsab, yang masuk dalam barisan masjid-masjid paling populer di Suriah. Masjid al-Nuqtah adalah sebuah masjid yang terletak di Gunung Jawshan di Aleppo, Suriah. Para tawanan Karbala sempat bermalam di tempat ini ketika mereka digiring dari Karbala ke Syam.

Pasukan Yazid meletakkan kepala Imam Husein as di atas sebuah bongkahan batu di Gunung Jawshan. Keesokan harinya, ketika mereka mengangkat kepala suci Imam untuk melanjutkan perjalanan, beberapa tetes darah membasahi batu tersebut. Ketika masyarakat Aleppo mengetahui hal ini, mereka berkumpul di sekitar batu tersebut dan menggelar acara ratapan duka untuk menangisi para syuhada Karbala.

Setelah peristiwa itu, masyarakat Aleppo setiap tahun mendatangi tempat tersebut pada hari Asyura. Mereka menggelar majlis duka dan berdoa bersama untuk mengenang Imam Husein as, cucu baginda Rasulullah Saw. Kegiatan ini terus berlanjut sampai pada masa Walid bin Abdul Malik bin Marwan, dan ia memindahkan batu tersebut ke lokasi yang tidak diketahui, dan sejak itu, keberadaanya tidak diketahui.

Versi lain menyebutkan bahwa Masjid al-Nuqtah adalah bekas rumah Pendeta Qinnasrin. Ia menyaksikan cahaya yang terpancar dari kepala Imam Husein as ke langit. Pendeta Qinnasrin kemudian bertanya kepada pasukan Yazid apakah dia bisa membawa kepala Imam ke rumahnya untuk satu malam dengan imbalan 10.000 dirham. Setelah diizinkan, ia membawa kepala Imam bersamanya dan meletakkannya di atas batu. Keesokan harinya, Pendeta Qinnasrin mengembalikan kepala Imam dan memeluk Islam.

Menurut catatan sejarah, bangunan awal Masjid al-Nuqtah hanya berupa sebuah kubah yang dibangun pada era kekuasaan Umar bin Abdulaziz (awal abad kedua Hijriyah). Kemudian selama periode Saif al-Dawlah Hamdani, penguasa pertama Dinasti Hamdanian, masjid diperluas pada ke-4 Hijriyah dan terus dilakukan pemugaran pada periode-periode berikutnya.

Tempat ziarah ini dipakai sebagai gudang senjata oleh tentara Utsmani selama Perang Dunia I. Di akhir perang, karena serbuan orang-orang ke tempat tersebut, amunisi perang meledak dan menghancurkan bangunan Masjid al-Nuqtah secara total. Setelah kejadian ini, tempat ziarah ini ditinggalkan selama beberapa dekade, sampai direkonstruksi kembali pada tahun 1961-1967.

Masjid al-Nuqtah juga dikenal sebagai Mashadul Hussein, sebuah bangunan besar bersejarah yang seluruhnya terbuat dari batu dan dianggap sebagai arsitektur Islami yang paling penting di kota Aleppo.

Masjid al-Aqsab.

Masjid lain yang terkenal di Suriah adalah Masjid al-Aqsab. Masjid ini terletak di Damaskus dan merupakan salah satu tempat bersejarah di Suriah. Di masjid ini, kepala para syuhada Marj Azra yaitu Hujr bin 'Adi dan para sahabatnya dimakamkan. Pada masa remaja, Hujr bin 'Adi bersama saudaranya, Hani bin 'Adi bertemu Rasulullah Saw dan masuk Islam. Dalam penaklukan Syam, dia adalah salah satu penakluk dan dia juga yang menaklukkan Marj Azra.

Hujr bin 'Adi adalah sosok yang saleh dan bertakwa, dan oleh sebab itu ia dipanggil dengan sebutan Hujr al-Khair. Setelah kesyahidan Imam Ali as, para penguasa Bani Umayyah mulai menyiksa dan menyakiti para sahabat Ali atas perintah Muawiyah. Mereka membunuh beberapa tokoh terkemuka dengan alasan yang tidak berdasar dan salah satu dari korbannya adalah Hujr bin 'Adi.

Ketika Muawiyah memerintahkan pemenggalan Hujr bin 'Adi, sahabat Rasulullah Saw ini menyampaikan wasiat agar rantai di kakinya tidak dibuka dan darah dari tubuhnya tidak dibersihkan, karena dengan kondisi itu, ia ingin menuntut Muawiyah di akhirat kelak. Para algojo memenggal kepala Hujr bin 'Adi bersama putranya dan lima orang lainnya. Mereka kemudian dikuburkan di satu liang.

Kepala para syuhada ini kemudian dikuburkan di Masjid al-Aqsab di dekat makam Sayidah Ruqaiyah, putri Imam Husein as. Di koridor Masjid al-Aqsab terdapat sebuah tulisan, "Inilah makam suci tujuh sahabat Nabi Saw." Dan di atasnya terukir ayat 23 surat al-Ahzab, "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)." Nama ketujuh syuhada tersebut juga terpahat pada sebuah batu termasuk nama Hujr bin 'Adi.

Masjid al-Aqsab juga disebut Masjid Manjak setelah Amir Nasr al-Din bin Manjak, membangunnya kembali pada tahun 721 Hijriyah setelah kehancuran total oleh serangan tentara Mongol di Damaskus. Selama krisis Suriah, para teroris Takfiri dilaporkan membongkar makam Hujr bin 'Adi di Damaskus dan mencuri jasadnya. Padahal, setelah kesyahidan Hujr bin 'Adi dan para sahabatnya, jasad mereka dikuburkan di daerah Marj Azra, sementara kepala mereka dibawa ke Masjid al-Aqsab dan dikuburkan di situ. (RM)