Okt 17, 2018 10:36 Asia/Jakarta
  • Masjid Al Hakim Mesir.
    Masjid Al Hakim Mesir.

Dalam beberapa program sebelumnya, kita telah menyebutkan fungsi sekunder terpenting masjid sebagai pusat pendidikan, dan mencatat bahwa masjid telah berfungsi sebagai madrasah sejak awal kehadirannya di era Rasulullah Saw.

Sebelum dibuatkan mimbar, Rasulullah biasanya menjelaskan hukum-hukum Allah dan makrifat agama dengan bersandar pada sebatang pohon kurma yang ada di dalam masjid. Kuliah ini terus berjalan dan menjadikan kegiatan akademik sebagai bagian tak terpisahkan dari masjid.

Kegiatan lain yang dilakukan di masjid pada era permulaan Islam adalah mengumpulkan orang-orang di sana untuk mendengarkan keluhan mereka dan menyelesaikan persoalan sosial masyarakat. Pada dasarnya, kehadiran mereka di masjid telah memperkuat persatuan dan menumbuhkan kesepahaman di antara individu masyarakat.

Terlebih setelah deklarasi persaudaraan antar individu Muslim seperti pada ayat 10 surat al-Hujurat, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu…" Masyarakat Muslim akhirnya mencapai sebuah pemahaman bahwa mereka tidak boleh mengabaikan penderitaan dan kesusahan saudaranya se-agama.

Sikap empati dan simpati dengan sesama saudara dalam Islam adalah awal dari sebuah kebijaksanaan, dan hal ini ditekankan dalam sumber-sumber riwayat setelah iman kepada Allah Swt. Seperti kita ketahui, empati dan simpati dianggap sebagai sebuah keutamaan dan ibadah, sebagaimana sabda Nabi Saw, "Mengatasi kesusahan masyarakat dan berempati dengan mereka lebih baik daripada puasa dan i'tikaf satu bulan."

Rasa simpati dan empati muncul ketika seseorang menyadari dan memahami penderitaan dan kesusahan yang diderita saudaranya. Rasa ukhuwah ini akan lebih tampak dalam kegiatan shalat jamaah, karena mereka berdiri berdekatan. Selain melaksanakan ibadah, mereka jadi saling mengetahui kondisi masing-masing dan jika ada yang absen, jemaah lain akan menanyakan keberadaan orang tersebut dan jika ia sedang ada masalah, mereka akan berusaha untuk mengatasinya atas dasar kewajiban agama dan kemanusiaan.

Islam menganggap empati dengan orang lain sebagai perkara yang penting dan hal ini akan menciptakan stabilitas dan kedamaian masyarakat. Tidak diragukan lagi, kehadiran rutin orang-orang di masjid akan memperkuat pondasi kesehatan mental masyarakat dan menyelamatkan mereka dari penyakit egoisme dan individualisme.

Imam Ali as berkata, "Orang mukmin itu bersaudara, dan karena dia adalah satu raga dan jika salah satu bagiannya merasa sakit, maka bagian tubuh lain juga ikut merasakannya, dan jiwa mereka juga berasal dari jiwa yang satu."

Oleh karena itu, semua individu Muslim harus saling peduli terhadap sesama dan masjid adalah tempat terbaik untuk menunjukkan rasa simpati dan empati seperti ini. Di antara berkah lain kehadiran di masjid adalah untuk memperkuat dan menyebarkan budaya pengorbanan dan infak, di mana fenomena ini kadang ditemukan dalam bentuk yang sempurna di tengah para ahli masjid.

Masjid Nabawi.

Secara alamiah bahwa informasi tentang sebuah desa terpencil dan kondisi masyarakat yang hidup di sana kadang sangat sulit diperoleh. Namun, kehadiran rutin orang-orang di masjid akan membuat pekerjaan ini mudah dan seperti pada permulaan Islam, masjid adalah tempat untuk berbagi informasi tentang kondisi sosial masyarakat Muslim dan membantu sesama manusia.

Seorang mufassir Sunni, Abu Ishaq ibn Ibrahim ats-Tsa'labi dalam bukunya, Tafsir ats-Tsa'labi menulis, "Abu Dzar berkata; 'Suatu hari, aku mengerjakan shalat dzuhur bersama Rasulullah Saw dan tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Ali as yang sedang ruku' kemudian memberi isyarat kepada pengemis itu agar mengambil cicin di jari kelingking tangan kanannya. Pengemis itu pun mendekati dan mengambil cincin tersebut dari jari Ali.'"

"Kejadian ini terjadi di depan Rasulullah Saw. Jadi begitu selesai shalat, beliau mengangkat kepalanya ke langit dan berseru, 'Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Musa as memohon kepadamu sembari berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku yaitu; saudaraku, Harun. Bantulah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.'"

“Ketika itu turunlah ayat kepadanya, 'Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar.' Ya Allah, aku ini adalah Muhammad, hamba dan nabi-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku yaitu; Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.'"

Abu Dzar kemudian berkata, “Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelum beliau sempat menyelesaikan doanya itu dan menurunkan ayat wilayah."

Sejarah Masjid Al Hakim di Mesir

Pada sesi ini, kami akan memperkenalkan Masjid Al Hakim sebagai salah satu masjid terkenal di Mesir. Mesir adalah salah satu pusat penyebaran ilmu pengetahuan pada lima abad pertama Hijriyah, dan banyak pelajar datang ke masjid-masjid di negara itu untuk menimba ilmu. Masjid Al Hakim Mesir adalah salah satu masjid besar dan sebuah masjid peninggalan era Dinasti Fatimiyah. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 380 Hijriyah (990 M) atas perintah Al 'Aziz Billah.

Al 'Aziz Billah adalah khalifah kelima dari Dinasti Fatimiyah dan sultan ke delapan dari para sultan Mesir. Atas perintahnya, Universitas Al Azhar di Kairo didirikan, dan juga sebuah perpustakaan dibangun di Kairo dan Alexandria.

Pasca kematian Al 'Aziz Billah, putranya, Al Hakim menyelesaikan pembangunan masjid tersebut pada 393 Hijriyah (1003 M), dan kemudian dia mempercantiknya dengan sebuah mimbar pada tahun 403 H, dan menunjuk sebuah badan untuk menjamin dana operasional masjid. Karena masjid ini selesai dibangun pada masa kekuasaan Al Hakim, maka ia dikenal dengan Masjid Al Hakim. Masjid ini juga disebut Jami' al-Khutba, Jami' al-Anwar, dan karena letaknya yang dekat dengan Bab al-Futuh di Kairo, disebut juga Masjid Jami' Bab al-Futuh.

Masjid Al Hakim telah menyaksikan banyak peristiwa selama berabad-abad. Pada masa pemerintahan Sultan Baibars al-Jashnakir atau Baibars II, mata pelajaran milik empat mazhab Sunni diajarkan di masjid tersebut. Selama Perang Salib pada tahun 1212, Perancis menggunakan Masjid Al Hakim sebagai barak militer. Pada akhir abad ke-13  (abad ke-19 M), museum pertama Islam Mesir didirikan di masjid ini.

Gaya arsitektur Masjid Al Hakim merupakan perpaduan antara arsitektur masjid-masjid di Barat dan arsitektur periode Fatimiyah. Masjid ini memiliki tujuh pintu masuk. Pintu masuk utama berada di tengah sisi utara dan terdapat dua pintu masuk di masing-masing sisinya. Sebuah pintu juga dibangun di masing-masing sisi timur, barat dan selatan masjid.

Masjid ini dilengkapi dengan pelataran besar berbentuk persegi panjang yang dikelilingi oleh rangkaian serambi yang bertiang, tiang-tiang ini dipakai untuk menopang atap. Pelataran besar dan luas dikelilingi oleh empat ruwaq (ruangan) dan yang paling besar adalah ruwaq qiblat (arah shalat). Semua ruwaq itu memiliki atap yang terbuat dari kayu.

Gerbang utama berjarak enam meter dari dinding masjid dan dihiasi dengan dekorasi ceruk. Di bagian atas terdapat ukiran kaligrafi yang berisi nama arsitek dan tanggal konstruksi bangunan tersebut. Pada awal abad ke-10, sebuah kubah yang disebut Kubah Qurqumas dibangun di dekat pintu masuk ini, tapi kemudian dirobohkan.

Masjid Al Hakim memiliki tiga kubah batu bata; satu di atas mihrab dan dua kubah lain terletak di sudut kiri dan kanan bangunan. Kubah-kubah ini pada awalnya berbentuk persegi empat dan kemudian berubah menjadi oktagonal atau segi delapan. Di dua sudut pintu masuk masjid, ada dua menara megah yang terbuat dari batu. Menara di bagian utara Masjid Al Hakim memiliki ketinggian 23 meter dan berbentuk silindris.

Tinggi menara di bagian barat mencapai 24 meter dengan bagian atas yang mengerucut. Menara ini memiliki beberapa tingkat dan dipercantik dengan kubah seperti menara utara.

Masjid Al Hakim digunakan sebagai sekolah pada masa mantan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Saat ini, masjid tersebut menerima banyak pengunjung dari seluruh dunia untuk melihat arsitektur Islam kuno yang mengagumkan. Masjid ini juga masih digunakan untuk shalat sampai hari ini. (RM)