Jan 15, 2019 18:52 Asia/Jakarta
  • Presiden Donald Trump, Raja Salman, dan Presiden al-Sisi meresmikan Pusat Dunia untuk Melawan Pemikiran Ekstrimis di Riyadh pada 21 Mei 2017.
    Presiden Donald Trump, Raja Salman, dan Presiden al-Sisi meresmikan Pusat Dunia untuk Melawan Pemikiran Ekstrimis di Riyadh pada 21 Mei 2017.

Islamophobia dan sentimen anti-Muslim telah menjadi sebuah pendekatan yang terstruktur di negara-negara Barat. Jika sebagian pejabat Barat mengakui Islam sebagai agama damai dan kasih sayang serta menepis keterkaitan antara tindakan teroris dengan ajaran Rasulullah Saw. Namun, kebijakan Barat secara praktis mengejar penguatan kelompok takfiri dan teroris.

Pengakuan ini sebenarnya sebuah trik untuk melepas tanggung jawab mereka yang telah memperkuat dan menyebarkan gerakan-gerakan radikal dan teroris. Nyonya Theresa May – baik sewaktu menjabat menteri dalam negeri atau perdana menteri Inggris – berulang kali menyinggung esensi kelompok takfiri dan teroris Daesh.

Pada 30 September 2014, May dalam pidatonya setelah pekerja kemanusiaan Inggris, David Haines dibunuh oleh teroris Daesh di Suriah, mengatakan, "Para ekstremis percaya bahwa tidak mungkin menjadi Muslim yang baik sekaligus warga negara Inggris yang baik. Dan mereka menganggap siapa saja yang tidak setuju dengan mereka, termasuk Muslim lainnya sebagai orang yang tidak beriman."

"Ideologi kebencian ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Dan itu ditolak oleh mayoritas Muslim di Inggris dan di seluruh dunia," tegasnya.

Meski para pejabat Barat mengetahui esensi Islam hakiki, tetapi mereka tidak mengambil langkah apapun untuk meredam kampanye Islamophobia dan serangan media Barat terhadap Islam.

Mengikuti setiap insiden serangan terorisme, kampanye Islamophobia dan serangan terhadap warga Muslim serta tempat-tempat ibadah umat Islam di Barat semakin gencar dilakukan.

Arab Saudi mendukung Daesh dan kelompok-kelompok teroris lainnya.

Surat kabar The Independent Inggris dalam sebuah laporan pada 7 Juli 2017 menulis, "Kejahatan yang melibatkan diskriminasi rasial dan agama melonjak pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak referendum Brexit. Data yang diperoleh oleh polisi Inggris menunjukkan insiden yang terkait dengan kebencian naik sebesar 23 persen dalam 11 bulan pasca referendum Brexit, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dan menandai kenaikan yang tak tertandingi. Di beberapa daerah Inggris dan Wales, kejahatan berbasis kebencian meningkat lebih dari 40 persen, dan beberapa daerah termasuk Gwent, Nottinghamshire dan Kent melonjak lebih dari setengahnya dalam setahun."

Kelompok-kelompok agama dan organisasi yang mewakili negara asing mengatakan kepada The Independent bahwa mereka telah melihat peningkatan yang signifikan dalam kejahatan ras dan kebencian berbasis agama di seluruh Inggris.

Berbicara secara khusus tentang kejahatan rasial terhadap Muslim, Direktur Tell MAMA, Iman Atta mengatakan, “Kami telah melihat peningkatan signifikan dalam insiden kebencian dan kejahatan terhadap komunitas Muslim di berbagai daerah seperti Greater Manchester, Kent, Liverpool, dan Wales."

Pendiri Keterlibatan dan Pengembangan Muslim (MEND), Sufyan Ismail menuturkan, “Unit Respon Islamophobia kami telah melihat peningkatan yang cukup besar kasus kejahatan rasial yang dilaporkan kepada kami; banyak Muslim merasa lebih rentan dari sebelumnya."

“Kami sudah menangani 23 kasus sejak serangan April 2016 saja yang mencakup; serangan terhadap Muslim di angkutan umum, pemecatan mereka oleh perusahaan-perusahaan besar, dan penolakan terhadap fasilitas ibadah siswa Muslim di sejumlah sekolah," jelasnya.

Perilaku diskriminatif dan rasis terhadap warga Muslim juga meningkat di negara-negara lain Eropa. Salah satu indikator kenaikan ini adalah pertumbuhan kubu sayap kanan ekstrim, kelompok rasis, dan anti-Muslim. Namun, pemerintah-pemerintah Barat tidak berbuat apapun untuk meredam kampanye Islamophobia.

Fenomena Islamophobia di Inggris.

Meski Barat menganggap terorisme sebagai ancaman terbesar bagi keamanannya, tetapi pada prakteknya mereka justru menjalankan kebijakan yang memperkuat dan menyebarkan terorisme dan radikalisme.

Pemerintah Inggris bersama Amerika Serikat, berada di barisan terdepan dalam memperkuat dan menyebarluaskan gerakan takfiri dan terorisme di dunia. Barat tampaknya akan mempertahankan eksistensi kelompok takfiri dan teroris sehingga ada alasan untuk mengobarkan kampanye Islamophobia di Barat dan merusak citra Islam melalui kelompok tersebut.

Selama KTT G-20 di Hamburg pada 2017, salah satu isu yang dibahas adalah pemblokiran sumber-sumber dana kelompok teroris termasuk Daesh. Semua peserta KTT termasuk Arab Saudi mendukung gagasan ini.

Hampir semua petinggi di Barat mengetahui negara mana yang memberikan dukungan finansial dan ideologis kepada kelompok-kelompok teroris takfiri. Di Inggris, ada dua penelitian yang dilakukan untuk menelusuri sumber dana kelompok teroris.

Lembaga think tank Henry Jackson Society (HJS) dalam laporannya pada Juli 2017 menulis, "Arab Saudi adalah penyandang utama dana untuk terorisme di Inggris. Saudi menghabiskan dana 3,1 miliar poundsterling per tahun di seluruh dunia untuk mempromosikan interpretasi Islam yang cocok untuk ekstremisme."

Direktur Pusat Riset Frankfurt untuk Islam Global (FFGI), Susanne Schroter mengatakan, "Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa Arab Saudi memainkan peran sentral dalam radikalisasi umat Islam. Pengaruh Wahabi juga didorong di Jerman dengan uang minyak. Saudi mengekspor ekstremisme ke banyak negara termasuk Jerman."

"Temuan Henry Jackson Society (HJS) tidak mengejutkan saya sama sekali. Sudah lama diketahui bahwa Arab Saudi mengekspor ideologi Wahabi. Saudi tidak hanya memberikan uang, tetapi juga materi propaganda kepada orang-orang yang tertarik. Mereka ditugaskan untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, pusat budaya, dan semacamnya. Pusat-pusat ini kemudian dipakai untuk menyebarkan ideologi Wahabi."

Ilustrasi penyebaran Wahabisme di Eropa.

Menurut Schroter, ekspor Wahabisme meningkat terutama setelah Revolusi Islam di Iran. Revolusi ini telah mengguncang Saudi. Riyadh kemudian mulai membangun hubungan dengan para mitranya di Asia, Afrika, dan juga di sebagian Eropa untuk menyebarkan paham Wahabi.

Penelitian kedua tentang sumber pendanaan dan ideologi kelompok teroris dilakukan atas permintaan Perdana Menteri Inggris waktu itu, David Cameron dan riset ini baru selesai pada masa pemerintahan Theresa May.

Namun, pemerintah Inggris melarang penerbitan hasil penelitian tersebut, karena dianggap akan berdampak negatif pada hubungan strategis London dengan Riyadh.

Negara-negara Barat, terutama Inggris dan AS memiliki hubungan erat dengan Al Saud – sebagai pendukung utama gerakan takfiri dan teroris – di bidang politik, militer, dan ekonomi. Oleh karena itu, perang kontra-terorisme yang dikobarkan Barat tidak perlu dianggap serius.

Ideologi radikal dan ekstrem harus dilawan langsung dari sumbernya dan perang ini tidak akan sukses dengan hanya memperketat keamanan dan meningkatkan operasi intelijen.

Namun, bukti-bukti menunjukkan bahwa Barat bukan hanya tidak ingin memblokir sumber dana kelompok-kelompok teroris, tetapi justru bergerak ke arah penguatan kampanye Islamophobia dan gerakan-gerakan takfiri dan teroris. (RM)