Langkah Kedua Revolusi (9)
-
Peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran
Sebuah pertanyaan yang kerap muncul mengenai revolusi, setelah melewati fase euforia, revolusi kemudian mengalami stagnasi dan situasi kembali ke masa sebelumnya. Apakah fenomena ini juga menimpa Revolusi Islam ?
Para sarjana yang meneliti perkembangan revolusi dunia seperti sejarawan Amerika, Crane Brinton menyatakan bahwa revolusi, setelah melewati masa euforia kemudian secara bertahap menjadi stagnan dan kembali pada situasi yang relatif mirip dengan sebelum revolusi. Untuk membuktikan teori tersebut, Brinton melakukan kajiannya terhadap empat revolusi besar yang terjadi di dunia yaitu: Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika. Tetapi apakah teori Brinton ini tepat membaca Revolusi Islam Iran?
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei dalam statemennya mengenai langkah kedua Revolusi Islam, menegaskan bahwa kegigihan revolusioner Revolusi Islam masih lestari hingga kini, dan orang-orang masih setia terhadap cita-cita Revolusi Islam. Dalam salah satu ceramahnya, Rahbar mengatakan, "Revolusi besar dunia yang kita ketahui terjadi sekitar dua ratus tahun terakhir tepat digambarkan dalam analisis sebagaimana penjelasan dalam teori itu. Tetapi revolusi Islam sepenuhnya dikecualikan dari analisis sosiologis tersebut,".
Ayatullah Khamenei menegaskan, "Dalam Revolusi Islam, penangkal racun (kembalinya) revolusi terdapat dalam revolusi ini. Kami berulangkali telah menegaskan bahwa manifestasi revolusi Islam terdapat dalam konstitusi Republik Islam Iran. Para penyusun konstitusi, yang mendapatkan didikan dari pemikiran Imam Khomeini, dalam dirinya sendiri merupakan kelanjutan dari revolusi; kepatuhan terhadap ajaran Islam dan legitimasi hukum, kesesuaian dengan Islam, dan masalah Pemimpin".
Dengan kata lain, dari sudut pandang Rahbar, aspek keislaman dalam revolusi dan pemerintahan islam Iran dan dukungan rakyat terhadapnya, telah menyebabkan Revolusi Islam Iran terus berkibar hingga kini menjadi kekuatan yang dinamis dan progresif.

Menurut teori lain tentang nasib revolusi, setelah kemenangan tercapai dan perjuangan berakhir, revolusi berakhir seiring berdirinya lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, idealisme revolusi memberikan tempatnya pada realisme sistem politik. Masalah ini ditanggapi oleh Ayatullah Khamenei dalam statemennya mengenai langkah kedua revolusi dengan mengatakan, "Revolusi Islam tidak mengalami stagnasi dan padam, karena tidak melihat adanya kontradiksi dan ketidakcocokan antara tatanan revolusioner dengan sistem politik dan sosialnya, bahkan sebaliknya terjadi pembelaan dalam koridor revolusi untuk selamanya." Beliau juga menilai pembentukan dan pendirian lembaga-lembaga negara bukan sebagai akhir dari revolusi.
Salah satu masalah besar revolusi adalah perjalanan perjuangan revolusi, dan tujuan besar dan agungnya. Setelah kemenangan revolusi, cita-cita awal revolusi mulai dilupakan dan ditinggalkan. Para pemimpin revolusi dalam situasi seperti itu harus memilih antara melanjutkan jalan revolusi yang mulia, tetapi sulit dan memenuhi tujuannya, atau menyerah pada fakta yang tidak menguntungkan dan menerima tatanan yang ada dan melupakan cita-cita mereka.
Sayangnya, di hampir setiap revolusi, para pemimpin dan orang-orang yang berjuang gagal mewujudkan cita-cita revolusi. Tetapi Revolusi Islam Iran setelah empat puluh tahun telah menunjukkan kiprahnya di tengah besarnya rintangan yang menghadang tetap mengusung cita-cita dan tujuan Revolusi Islam yaitu ajaran Islam.
Ayatullah Khamenei selalu berusaha untuk melestarikan cita-cita suci Revolusi Islam, dan mengarahkan orang-orang dan negara ke arah tujuan tersebut, meskipun sulit dilakukan dan menghadapi permusuhan maupun rintangan dari dari berbagai arah.
"Tentu saja, jarak antara keharusan dan fakta senantiasa menyiksa hati nurani kalangan idealis, tetapi jarak yang masih jauh tersebut bisa tercapai, dan dalam banyak kasus terwujud selama empat puluh tahun terakhir. Tidak diragukan lagi di masa depan, dengan kehadiran generasi muda yang setia, dan beriman, Islam akan terus berkibar," ujar Ayatullah Khamenei.

Di bawah kepemimpinan yang bijaksana dari Imam Khomeini, aksi represif dan kekarasan terhadap oposisi tidak terjadi sebagaimana revolusi-revolusi lainnya. Sebab, gerakan ini berasal dari ajaran tertinggi Islam, yang selalu mengarahkan manusia untuk berbaik baik.
Mengenai masalah ini, Ayatullah Khamenei dalam pernyataannya mengenai langkah kedua revolusi mengatakan, "Revolusi Islam bangsa Iran sangat kuat, tetapi berkasih kasih, dan mulia, bahkan tertindas. Tidak terjatuh dalam ekstremisme kaum kiri dengan langkah-langkahnya yang menjadi penyebab munculnya stigma banyak pemberontakan dan gerakan perlawanan. Bahkan dengan Amerika Serikat dan Saddam Hussein sekalipun tidak pernah menembakkan peluru pertamanya, dalam semua kasus tetap membela diri ketika musuh menyerang, dan, tentu saja, dan melancarkan serangan balasan dengan setimpal. Revolusi ini, dari awal hingga hari ini tidak brutal atau berdarah, tapi juga tidak pasif dan ambigu,".
Mengenai dinamisme Revolusi Islam Iran, Rahbar mengungkapkan bahwa Revolusi Islam juga membuat kesalahan, namun tetap terbuka terhadap kritik dan memperbaikinya. Ayatullah Khamenei mengatakan, "Revolusi Islam sebagai fenomena yang hidup dan dinamis yang selalu fleksibel dan siap untuk memperbaiki kesalahannya, serta selalu melakukan revisi dan tidak pasif,".
Rahbar menyambut kritik konstruktif terhadap Revolusi Islam yang dianggap sebagai berkah Tuhan dan peringatan bagi pejabat pemerintah dan semua pihak yang terkait. Oleh karena itu, Revolusi Islam sebagai gerakan rakyat dan fleksibel menyambut kritik yang membangun dan bijaksana, dan bahkan melihatnya sebagai karunia ilahi.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menegaskan siapapun tidak boleh merusak prinsip-prinsip dan nilai-nilai revolusi yang didasarkan pada fondasi Islam. Dengan kata lain, revolusi besar ini tidak akan pernah mengorbankan cita-cita luhurnya demi kepentingan individu maupun kelompok. Sebab jika membiarkan penyerang melakukan kerusakan, maka tidak akan ada lagi nama revolusi.(PH)