Islamophobia di Barat (62)
Dampak dari Islamophobia di Eropa mulai mempengaruhi generasi masa depan masyarakat Muslim. Menurut sebuah riset di Inggris, kampanye Islamophobia dan pemberitaan bias media tentang Islam berdampak negatif bagi kesehatan wanita Muslim dan bayi mereka.
Riset tentang pengalaman perempuan Muslim yang tinggal di Inggris ini dilakukan oleh mahasiswa Muslim bernama Shima Mohammad Hassan di Inggris sebagai subjek disertasi doktoralnya. Studi itu menemukan bahwa karena pandangan dan prasangka negatif masyarakat Inggris terhadap Muslim, rasa percaya diri wanita Muslim untuk berbicara tentang keprihatinannya telah menurun.
Secara khusus mereka mengalami kesulitan untuk berkonsultasi mengenai persoalan medis yang terkait dengan ibadah seperti puasa atau meminta akses ke dokter wanita. Mereka juga menjadi ragu untuk bertanya kepada dokter tentang apakah tetap menjalankan atau meninggalkan ibadah tertentu saat sedang dalam perawatan.
“Saya tidak bisa berkata bahwa saya sedang berpuasa karena saya mungkin akan dinilai sebagai ekstremis,” kata salah satu responden. Masyarakat hanya mendengar kata puasa dan berpikir bahwa orang-orang yang berpuasa adalah ekstremis. Di media-media Inggris, perempuan Muslim biasanya dikesankan sebagai kelompok tertindas.
Kebanyakan perempuan yang berpartisipasi dalam studi tersebut menuturkan bahwa mereka harus menjelaskan keyakinannya setiap kali orang-orang berbicara tentang Islam. Perempuan Muslim harus menjelaskan mengapa mereka meminta dokter wanita yang memeriksanya ketimbang dokter pria atau mengapa mereka tidak boleh minum obat dan makan makanan yang dilarang oleh Islam.
Karena dokter dan perawat tidak memahami aturan hukum dalam Islam, akhirnya perempuan Muslim menolak berbicara bebas dengan staf medis, meskipun mereka ingin mengetahui pendapat dokter tentang praktik ibadah tertentu selama masa kehamilan.
Peneliti menyimpulkan bahwa ada risiko serius jika perempuan Muslim yang taat tidak diberikan akses ke layanan medis yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam kasus tertentu seperti saat mereka sedang hamil, risiko ini mengancam nyawa mereka dan kehidupan anak-anaknya. Mereka harus merasa bebas dalam menyampaikan kebutuhan medisnya. Hal ini menuntut staf medis dan kesehatan negara-negara Barat untuk mengetahui tentang hukum Islam.
Jilbab wanita Muslim merupakan salah satu kasus utama yang mendapat serangan dari kelompok anti-Islam di Barat. Dengan membatasi kehadiran wanita berjilbab di tempat-tempat umum, mereka sedang berusaha memarginalkan Muslim di Eropa atau memaksa wanita Muslim untuk hidup sesuai dengan norma-norma Barat.
Seperti sebuah kasus di Amerika Serikat yang videonya menjadi viral di media-media sosial. Dalam video itu terlihat seorang anggota kelompok ekstremis dan sayap kanan di Pennsylvania, menyerang seorang gadis pengungsi Suriah yang berjilbab dan melukainya hingga harus dirawat di rumah sakit. Gadis Suriah yang memakai jilbab, dipukul oleh murid lain di toilet Chartier Valley High School di Pittsburgh, Pennsylvania.
Gadis pengungsi ini terpaksa meninggalkan Suriah pada 2016 karena perang dan kekacauan yang melanda negaranya. Ia menjadi sasaran serangan rasial di sekolahnya karena mengenakan jilbab. Pejabat lokal Pennsylvania mengonfirmasi bahwa gadis Suriah itu terluka dan dirawat di rumah sakit, dan mengatakan mereka akan menindaklanjuti kasus tersebut.
Sejak Donald Trump berkuasa di Amerika, kelompok ekstremis dan sayap kanan telah meningkatkan aksinya dan menyerang komunitas Muslim. Wanita Muslim dan Muslim berjilbab – meski berpotensi menerima serangan rasis dan gangguan – tetap mempertahankan jilbab mereka dan menghadapi kelompok anti-Islam dengan menekankan pelestarian nilai-nilai dan norma-norma Islam, termasuk jilbab.
Seorang wanita Amerika yang telah memeluk Islam, Melanie Franklin mengatakan dalam seminar internasional tentang perempuan sukses yang diadakan di Provinsi Lorestan, Iran bahwa penyampaian informasi kepada remaja dan kaum muda tentang jilbab sangatlah minim dan kaku.
Berbicara tentang pentingnya jilbab dan bagaimana dirinya masuk Islam, dia berkata, “Dua tahun pasca kemenangan Revolusi Islam, saya mulai tertarik dengan Islam setelah mempelajari pemikiran-pemikiran Imam Khomeini dan memilih masuk Islam.”
“Setelah masuk Islam dan mengenakan jilbab, saya menyaksikan perubahan perilaku para dosen universitas terhadap diri saya dan saya menyadari bahwa mengenakan jilbab untuk seorang wanita adalah sebuah rasa hormat untuk dirinya dan orang lain,” kisahnya.
Melanie Franklin menuturkan, “Sayangnya saat ini sebagian besar negara di dunia terutama Amerika Serikat dan Barat, melakukan banyak upaya untuk memerangi jilbab, jadi para wanita perlu menyadari tentang pentingnya jilbab dan kesucian.”
Menurutnya, jika seorang wanita tahu apa nilai jilbab baginya, maka tidak ada yang bisa mencegahnya dari memakai jilbab dan pakaian Islami.
Dalam paparannya, Melanie Franklin juga mengenang perjuangan Marwa El Sherbini yang gugur di ruang pengadilan di Dresden, Jerman karena tikaman pisau. “Setelah peristiwa 11 September, kegiatan dan propaganda anti-Islam dilakukan secara besar-besaran di Amerika dan fokus utama mereka adalah memerangi jilbab wanita,” jelasnya.
Dia berpendapat bahwa di banyak masyarakat yang menentang Islam dan jilbab, orang-orang melalui film dan cara lain, ingin memperkenalkan perempuan berjilbab sebagai buta huruf dan terkurung di rumah.
Perempuan Muslim Amerika ini menekankan bahwa wanita Muslim perlu menyadari bahwa ketika seseorang berbicara banyak tentang satu masalah, tidak diragukan lagi itu adalah masalah yang sensitif dan penting. Saat ini media-media Barat dan negara-negara anti-Islam begitu banyak berbicara tentang jilbab dan ini menunjukkan bahwa masalah tersebut sangat penting bagi mereka.
Melanie Franklin menilai wanita berjilbab sebagai para pemegang panji Islam, kita adalah wanita berjilbab dan pemegang panji Islam. Ini merupakan suatu kehormatan bagi kita yang dianugerahkan oleh Tuhan. Dia meminta perempuan Muslim untuk menjadi teladan wanita dunia dengan mempertahankan jilbab dan akhlak mulia. Kita harus memiliki akhlak dan jilbab sehingga masyarakat lain tertarik.
Dia memandang penyampaian informasi mengenai jilbab di tengah masyarakat Muslim dan bahkan Iran, masih belum cukup. “Metode penyampaian informasi kepada remaja dan pemudi sangat kaku, padahal Islam bukanlah agama yang kaku. Ada banyak pesona dan keindahan sehingga siapa pun yang mengenal keindahan tersebut niscaya akan beralih ke Islam,” pungkas Melanie Franklin. (RM)