Sep 14, 2020 18:15 Asia/Jakarta

Pelaksanaan pemilu dalam sejarah politik Iran memiliki masa lalu hampir 110 tahun silam. Pemilu legislatif pertama Iran diselenggarakan pada bulan Juli 1906 setelah Revolusi Konstitusi.

Sejak masa itu, rakyat Iran tampaknya sudah mulai mengenal pesta demokrasi, tapi situasi politik Iran pada zaman itu tidak memposisikan pemilu sebagai sebuah hak sipil dan politik rakyat. Pada masa itu, pemilu merupakan bagian dari gerakan imperialisme di Iran yang tampil dalam sebuah bentuk lahiriyah bagi masyarakat Iran.

Sejarah mencatat bahwa pemerintah konstitusional terbentuk di Iran setelah Revolusi Konstitusi pada masa Muzaffaruddin Shah Qajar dan kemudian digelar pemilu legislatif pertama di Iran. Lebih dari 110 tahun lalu, Muzaffaruddin Shah menandatangani konstitusi pembentukan Majelis Syuro Melli (parlemen), karena ia tidak mampu lagi untuk menghadapi gerakan-gerakan rakyat yang menuntut kebebasan.

Akan tetapi, pemilu legislatif itu bersifat elitis, di mana keturunan raja, bangsawan, tokoh, pedagang, dan ulama memilih sendiri wakilnya. Sementara masyarakat biasa dan kalangan menengah ke bawah tidak punya hak suara dalam pemilu tersebut. Perempuan juga tidak memiliki hak suara dalam pemilu itu sesuai dengan undang-undang yang diberlakukan oleh Muzaffaruddin Shah.

Kurang dari tiga tahun setelah Muzaffaruddin Shah menyerahkan kekuasaannya kepada Putra Mahkota Mohammad Ali Shah Qajar, Majelis Syuro Melli sebagai simbol kekuasaan rakyat Iran dibubarkan atas perintah penguasa baru. Tiga bulan setelah penaklukan Tehran, Majelis Syuro Melli kedua dibentuk dan dilakukan beberapa perubahan dalam undang-undang pemilu.

Iklim pemilu di Iran juga mengalami banyak pasang-surut pada era kekuasaan Shah Pahlevi dan lembaga legislatif tidak mampu memainkan peran konstitusionalnya kecuali dalam kasus tertentu. Parlemen Iran pada masa itu kerap menjadi korban kebijakan penguasa atau intervensi Inggris dan Amerika Serikat. Para anggota parlemen juga dipilih berdasarkan loyalitas mereka kepada keluarga raja dan melalui proses pemilihan yang sepenuhnya bersifat formalitas.

Kemenangan Revolusi Islam telah memberi pengalaman baru kepada rakyat Iran dalam masalah pemilu. Kemenangan itu sebenarnya merupakan mukaddimah untuk kembali ke suara rakyat dalam membentuk sistem Republik Islam. Setelah kemenangan revolusi dan keruntuhan rezim Pahlevi, Imam Khomeini ra mengeluarkan perintah pelaksanaan referendum untuk menentukan bentuk pemerintahan di Iran.

Setelah referendum itu, rakyat Iran menganggap partisipasi dalam pemilu sebagai sebuah tanggung jawab sipil dan kewajiban agama, sehingga hasil pemilu menjadi manifestasi dari tekad rakyat dalam mengelola negara. Dari perspektif hak-hak warga negara, partisipasi dalam pemilu bermakna keterlibatan dalam mengatur urusan negara dengan cara yang demokratis, di mana individu tertentu di masyarakat akan diangkat untuk menduduki jabatan di pemerintahan.

Hal yang menjadi penentu dalam pemilu di sistem Republik Islam adalah suara rakyat, yakni rakyat yang akan menentukan hasil pemilu. Pada dasarnya dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran, budaya menerima tanggung jawab di ranah politik dan pemerintahan mulai berkembang. Ia telah berubah menjadi sumber otoritasi dan legitimasi pemerintahan. Perubahan politik ini menghadirkan iklim yang baik untuk memperkuat persatuan sebagai amunisi pemerintah di kancah dalam negeri dan internasional.

Karena suara rakyat secara langsung menentukan hasil pemilu, maka Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran menjamin keterjagaan suara mereka. Perhatian khusus terhadap peran rakyat dalam pemilu – sebagai dasar-dasar konstitusi – telah mendorong penguatan peran para wakilnya di parlemen dan rakyat juga menaruh kepercayaan kepada sistem parlementer. Kepercayaan ini akan memberi pengaruh yang signifikan dalam membuat keputusan-keputusan penting di parlemen.

Dapat dikatakan bahwa pemilu dalam sistem Republik Islam Iran memiliki tempat istimewa, karena rakyat lewat partisipasi yang bertanggung jawab dan arif dalam pemilu, menentukan masa depannya dan negara. Jelas bahwa partisipasi mayoritas rakyat dalam pemilu parlemen pada 26 Februari 2016 ini juga akan menambah kekuatan Republik Islam Iran di semua aspek.

Rakyat Iran memandang partisipasi dalam pemilu sebagai sebuah tanggung jawab kolektif sebagai warga negara dan kewajiban keagamaannya. Menurut Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, kehadiran rakyat dalam pemilu merupakan manifestasi dari tekad nasional dalam berbangsa dan bernegara. Beliau menyebut pemilu di Iran sebagai manifestasi dari epik politik.

Ayatullah Khamenei mengatakan bahwa kekuatan Republik Islam sejak kemenangan Revolusi Islam hingga sekarang didasarkan pada kehadiran, partisipasi, dan dukungan rakyat. Dalam pandangannya, pemilu merupakan manifestasi dari demokrasi religius di Iran.

Selama lebih dari tiga dekade, bangsa Iran telah mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk mewujudkan demokrasi religius yang bebas dari tekanan asing. Oleh karena itu, pemilu merupakan sarana untuk menjaga dan melindungi hasil jerih payah perjuangan panjang dan melanjutkannya mencapai berbagai kemajuan sesuai yang dicita-citakan.

Rakyat Iran menyadari tentang pentingnya kehadiran mereka di bilik-bilik suara. Dengan suaranya, mereka tidak hanya akan menentukan hasil pemilu, tapi juga akan menyebabkan penguatan dan keberlangsungan sistem demokrasi di Iran. Dengan kata lain, kekuatan sistem Republik Islam akan ditentukan lewat suara rakyat dan partisipasi mereka dalam pemilu. Kehadiran itu juga akan menambah wibawa pemerintah Iran pada tingkat regional dan internasional.

Salah satu capaian utama Revolusi Islam di Iran adalah mewujudkan prinsip partisipasi rakyat dan merujuk suara rakyat di berbagai bidang yang menampilkan kedaulatan rakyat dan keislaman dalam Republik Islam Iran. UUD Iran menjunjung tinggi suara rakyat sebagai prinsip penting berdemokrasi. Pasal 14 UUD Iran menyebutkan bahwa suara rakyat menjadi penentu dalam pemilu baik pemilihan Presiden maupun legislatif.

Secara umum, pemilu dalam sistem Republik Islam memiliki kedudukan khusus karena adanya peran aktif rakyat di dalamnya. Mereka mendatangi tempat pemungutan suara untuk menentukan wakilnya secara sadar dan tanpa paksaan, demi menentukan nasib bangsa dan negaranya. Perkara ini menunjukkan bahwa dalam sistem Republik Islam, pemilu merupakan manifestasi dan simbol demokrasi.

Dalam pandangan banyak media dunia termasuk kantor berita Reuters, pemilu merupakan parameter untuk mengukur tingkat popularitas sistem Republik Islam Iran dan penegasan kembali atas kepercayaan tak tergoyahkan rakyat kepada sistem Republik Islam. Koran Guardian Inggris dalam sebuah analisanya tentang pemilu Presiden Iran menulis, “Partisipasi luas rakyat dalam pemilu merupakan bukti dari dukungan mereka untuk pemerintah, di mana akan memungkinkan Iran berdiri tegak dalam negosiasi dengan Barat terkait program nuklirnya.”

Jelas bahwa partisipasi mayoritas rakyat dalam pemilu merupakan benteng yang kokoh dalam menghadapi ancaman-ancaman musuh. Kehadiran ini membawa sebuah pesan yang jelas untuk membela cita-cita dan hak-hak Iran di arena internasional. Rakyat Iran juga menjadikan ajang pemilu sebagai kesempatan untuk menguatkan persatuan nasional, agama, dan budaya di satu sisi, serta pertumbuhan dan kedewasaan berpolitik dalam berdemokrasi di sisi lain. (RA)