Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (5)
Tokyo tidak terlibat konflik langsung dengan Beijing terkait Laut Cina Selatan, karena posisi Jepang berada di wilayah Laut Cina Timur. Pasca Perang Dunia II, Jepang juga menyerahkan urusan keamanannya kepada Amerika Serikat berdasarkan sebuah perjanjian keamanan.
Konflik Tokyo dan Beijing di Laut Cina Selatan
Berdasarkan perjanjian yang disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur, penguasa AS di Jepang waktu itu, negara tersebut dilarang memiliki angkatan perang hingga tahun 1954 dan tidak dapat melakukan pengerahan pasukan di perairan sekitarnya.
Namun pada tahun 2015, Jepang menyetujui undang-undang keamanan dan memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 9 Konstitusi. Akhirnya tercipta sebuah perubahan besar dalam misi pasukan militer Jepang.
Jepang sedang berusaha untuk membebaskan diri dari batasan hukum dan tekanan publik untuk membangun kembali angkatan lautnya. Tokyo menganggap dirinya bertanggung jawab atas masalah perlindungan sekutunya di kawasan seperti Vietnam, dari perilaku agresif Cina.
Pedana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Tokyo pada 2018, menyerukan kerja sama antara kedua negara di Laut Cina Selatan. PM Vietnam mengumumkan bahwa ia mendukung kehadiran Jepang di Laut Pasifik dan Samudra Hindia, serta Laut Cina Selatan untuk menjaga perdamaian dan keamanan.
Pemerintah Cina menentang keras kehadiran Jepang di Laut Cina Selatan dan berulang kali memperingatkan pemerintah Tokyo tentang masalah ini. Kehadiran Tokyo di Laut Cina Selatan dapat menciptakan tantangan baru bagi Beijing. Sebagai contoh, setelah Mahkamah Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Filipina atas kasus sengketa Laut Cina Selatan, pemerintah Jepang mulai meningkatkan tekanan politik terhadap Cina dengan alasan mendukung posisi negara-negara anggota ASEAN.
Shinzo Abe dalam KTT Perdagangan dan Investasi ASEAN 2016 di Laos, menyatakan bahwa pemerintah Tokyo sangat prihatin dengan klaim teritorial Beijing di Laut Cina Selatan. Dia menyerukan pemerintah Cina dan Filipina untuk mematuhi putusan Mahkamah Arbitrase Internasional dan menyelesaikan perselisihannya secara damai.
Akan tetapi, pelaksanaan manuver militer bersama Jepang-Inggris di Laut Cina Selatan, menunjukkan bahwa Tokyo mengadopsi pendekatan standar ganda terhadap konflik di Laut Cina Selatan. Di satu sisi, para pejabat Tokyo mendukung solusi damai untuk mengakhiri konflik di Laut Cina Selatan, tapi di sisi lain mereka mengerahkan kapal induk terbesar Jepang, Kaga ke Samudra Hindia untuk bergabung dengan kapal perang Inggris, HMS Argyll dalam sebuah latihan militer di Laut Cina Selatan. Kapal perusak Amerika Serikat juga dilaporkan hadir dalam latihan ini.
Untuk mengimbangi kekuatan Cina di Asia Tenggara, Jepang menyerahkan enam kapal ke Vietnam pada 2014 dan menyetujui penyewaan lima pesawat militer ke Filipina. Pemerintah Beijing memandang tindakan pemerintah Shinzo Abe terutama di bidang militer, sebagai provokatif. Menteri luar negeri Cina berulang kali memperingatkan Tokyo melalui kantor berita resmi Xinhua, agar tidak menciptakan masalah baru di kawasan tersebut.
Peringatan pemerintah Cina ini menjadi semakin penting setelah Jepang mengumumkan rencananya untuk mempersenjatai pasukan di negara-negara pesisir Laut Cina Selatan dengan kapal patroli dan pesawat pengintai. Beijing mengatakan pasukan mereka tidak akan diam jika Jepang melakukan patroli atau pengeboran di wilayah yang dikuasai Cina. Media-media pemerintah Cina juga memperingatkan eskalasi ketegangan antara Tokyo-Beijing dan konsekuensinya, termasuk pecahnya Perang Dingin.
Dapat disimpulkan bahwa Tokyo tampaknya terus mendukung negara-negara yang terlibat konflik dengan Beijing di Laut Cina Selatan, dan langkah ini adalah sejalan dengan kebijakan AS di kawasan.
Posisi Australia dalam Konflik Laut Cina Selatan
Dalam kasus Australia, meskipun negara ini tidak memiliki kepentingan teritorial di Laut Cina Selatan, namun perairan tersebut merupakan jalur transit bagi 54 persen dari perdagangan luar negeri Australia. Menteri Luar Negeri Australia waktu itu, Bob Carr mengatakan bahwa Canberra tidak mendukung pihak manapun dalam pertikaian di Laut Cina Selatan.
Namun, pemerintah Australia secara eksplisit mendukung posisi ASEAN. Tentu saja, hal yang memaksa Australia melibatkan diri dalam konflik ini bukan hanya terkait dengan kepentingan ekonomi atau bahkan hak atas penangkapan ikan, tetapi Australia – sebagai sekutu strategis AS di Pasifik – prihatin dengan kebangkitan Cina dan pergeseran kekuatan di wilayah Asia-Pasifik, yang menguntungkan Beijing.
Pemerintah Australia khawatir bahwa sikap netralnya justru akan merusak kepercayaan negara-negara ASEAN. Australia – sama seperti Amerika – dengan hati-hati mencampuri konflik Laut Cina Selatan dengan dalih perdagangan bebas dan kebebasan navigasi, sesuai dengan norma hukum internasional.
Oleh karena itu, Australia telah melakukan patroli bersama dengan AS di Laut Cina Selatan sejak 1980. Pemerintah Cina juga tidak pernah cuek dengan keberadaan kapal-kapal perang Australia di kawasan.
Helikopter militer Australia dilaporkan menjadi sasaran serangan laser dari kapal-kapal Cina ketika melakukan patroli di Laut Cina Selatan. Euan Graham, seorang analis dari Australian Strategic Institute, mengatakan, “Beberapa pilot helikopter mendapat serangan laser saat melewati sebuah kapal penangkap ikan. Untuk sementara para pilot diistirahatkan untuk alasan medis.”
Beijing memiliki pasukan paramiliter yang kuat di Laut China Selatan dan menggunakan kapal-kapal penangkap ikan untuk beberapa misi militer. Oleh karena itu, jika benar telah terjadi serangan laser terhadap helikopter militer Australia di Laut Cina Selatan, ini menunjukkan bahwa Beijing telah menggunakan peralatan militer canggih untuk mempertahankan klaimnya atas wilayah tersebut.
Kejadian serupa juga pernah dialami para pilot AS di Djibouti. Beberapa pilot AS mengklaim bahwa Cina menembakkan laser ke arah mereka, tetapi Beijing membantah klaim tersebut.
Canberra adalah salah satu sekutu Washington di kawasan, di mana secara rutin melakukan manuver militer gabungan dengan Amerika, Jepang, dan Korea Selatan di perairan Pasifik Barat.
Terlepas dari kemarahan Cina, Australia secara terbuka mengumumkan akan meningkatkan patroli udara di Laut China Selatan dengan membeli enam drone canggih senilai lebih dari 7 miliar dolar dan mengadakan latihan bersama dengan Inggris di Laut Cina Selatan pada Juli 2018. Secara bersamaan, kapal-kapal selam militer Cina juga melakukan patroli bawah air di Laut Cina Selatan dan perairan Pasifik.
Beijing mengklaim kepemilikan atas lebih dari 90 persen dari perairan Laut Cina Selatan, sebuah wilayah dengan nilai perdagangan 3,5 triliun dolar per tahun. Negara-negara pesisir Laut Cina Selatan juga memiliki klaim yang tumpang-tindih atas wilayah tersebut. (RM)