Iran dan Perannya Menyelesaikan Krisis Timur Tengah
Menurut banyak pengamat politik, Iran memainkan peran konstruktif dan berpengaruh dalam menyelesaikan banyak masalah di kawasan. Dengan melibatkan Iran, maka banyak masalah di kawasan termasuk krisis terorisme, narkoba, perdamaian dan stabilitas di kawasan akan terselesaikan.
Dalam hal ini, Iran khususnya pasca pelaksanaan kesepakatan nuklir Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA), lebih siap membantu penyelesaian krisis regional dan memperkokoh solidaritas dan persahabatan antarnegara kawasan.
Muncul perspektif di Barat yang menegaskan bahwa kesepakatan nuklir serta pelaksanaan Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA), meningkatkan peran dan interaksi politik Iran di kawasan dan ini akan merugikan kepentingan Barat dan sekutu regionalnya. Negara-negara Barat dan sekutu regionalnya, khususnya Arab Saudi dan rezim Zionis Israel, menilai Iran sebagai sumber utama ancaman di kawasan, di saat semua akar instabilitas di kawasan telah jelas. Sumber ketidakamanan adalah negara-negara yang menginginkan perluasan pengaruhnya melalui politik imperialisme di kawasan. Politik regional Amerika Serikat juga difokuskan untuk menjegal pengaruh dan kemajuan Iran di kawasan.
Namun Iran menilai kehadiran asing di kawasan berarti eskalasi persaingan berbahaya regional dan kian melebarnya jurang antarbangsa kawasan. Selain itu, pada akhirnya, kepentingan negara-negara juga akan terancam dan oleh karena itu, Iran menuntut penghentian campur tangan asing dalam urusan regional. Dalam hal ini, kesepakatan nuklir JCPOA, sedikit mereduksi rasa ketidakamanan akibat politik AS di kawasan dalam memandang Iran.
Transformasi ini dengan sendirinya membuat negara-negara Arab pesisir Teluk Persia, Yordania, bahkan Mesir dan Turki—yang menjadi sekutu strategis politik-keamanan AS di kawasan—ingin meredefinisi dan bahkan meningkatkan hubungan dengan Iran. Iran juga mengharapkan kerjasama dekat dengan Arab Saudi meski Riyadh telah bersikap tidak sopan terhadap Tehran pasca penandatanganan JCPOA.
Menurut perspektif Iran, menjaga stabilitas politik di kawasan bukan dengan cara perluasan hubungan bilateral antara Iran dan Amerika Serikat, melainkan dengan cara perluasan interaksi Iran dengan negara-negara regional. Politik regional Iran merupakan akumulasi upaya memainkan peran determinan guna memperkokoh kekuatan nasional dan keamanan masyarakat. Politik seperti itu dapat mempersiapkan peluang pengokohan kerjasama regional menjamin kepentingan kolekif. Keputusan Iran untuk membantu memberantas kelompok teroris ISIS di Irak dan Suriah merupakan salah bukti legitimasi politik regional Iran. Dan bahwa nilai strategis partisipasi Iran dalam menyelesaikan krisis regional juga akan meningkat di mata Barat dan sekutu regionalnya.
Di mata Republik Islam, stabilitas kawasan bukan bergantung pada kedekatan hubungan dengan Amerika Serikat atau tidak. Faktanya adalah bahwa Iran selama bertahun-tahun terus memperjuangkan perspektif bahwa stabilitas regional dapat terwujud dengan perluasan kerjasama regional. Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir mengerahkan seluruh daya untuk mempengaruhi proses transformasi regional dan internasional dengan menunggangi isu keamanan global dan anti-terorisme yang, dalam banyak kasus AS sendiri yang menyebabkannya.
Amerika Serikat dalam hal ini menyusun program dan pelaksaaan strategi perang pre-emptive dan untuk menyempurnakan strategi perluasan hegemoninya di dunia, Washington mendirikan pangkalan militer di lebih dari 136 negara dunia serta menempatkan antek-anteknya untuk terjun dalam perang pre-emptive. Proses ini berujung pada pendudukan Irak dan Afghanistan pada tahun 2001 dan 2003 dengan alasan pemberantasan terorisme serta pembalasan serangan 11 September 20o1 ke menara kembar WTC New York pada tahun 2001.
Sekarang Amerika Serikat juga memperluas jangkauan intervensinya khususnya di wilayah strategis Timur Tengah dan Afrika Utara, yang diikuti oleh sejumlah negara adidaya dunia, guna sepenuhnya menguasai transformasi regional, khususnya di negara-negara Arab-Islam Timur Tengah dan Afrika Utara. Politik itu banyak membebani kawasan.
Dari sudut perspektif Iran, politik seperti itu tidak benar dan oleh karena itu Iran dalam menganalisa krisis regional lebih fokus pada faktor penyebab ancaman dan krisis itu sendiri. Republik Islam Iran menentang segala bentuk kesewenang-wenangan dan imperialisme. Seraya menekankan prinsip non-intervensi, Iran menyerukan kerjasama dan partisipasi seluruh negara regional untuk menyelesaikan krisis di kawasan ini.
Presiden Iran, Hassan Rouhani dalam partisipasinya di tiga sidang Majelis Umum PBB mengutarakan masalah-masalah penting seperti ekstrimisme dan kekerasan. Secara tegas Rouhani mengatakan, “Jika terorisme meluas, bukan hanya kawasan [Timur Tengah] yang merugi melainkan Eropa dan seluruh dunia akan merugi.” Sekarang ucapan Rouhani itu telah terbukti dan terorisme telah menyusup ke jantung negara-negara Eropa. Presiden Iran juga menjelaskan fakta-fakta getir dalam pertemuannya dengan Sekjen PBB, Ban Ki-moon dan mengatakan, “Masalah terbesar dan penghalang utama perwujudan perdamaian dunia adalah hegemoni kekuatan adidaya serta ketidakadilan di dunia dewasa ini.”
Presiden Iran menegaskan bahwa dalam memberantas terorisme, akar dan sumber-sumbernya harus ditangani terlebih dahulu. Dikatakannya, “Terorisme berkembang dari kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, penistaan dan ketidakadilan, serta tumbuh dengan budaya kekerasan. Dan untuk memberantasnya, keadilan dan pembangunan harus diperluas serta harus dicegah penyimpangan agama-agama langit [yang digunakan] untuk menjustifikasi kekejian.”
Kofi Annan, utusan PBB untuk urusan Timur Tengah pada musim panas 2012 meminta Amerika Serikat untuk melibatkan Iran dalam perundingan Suriah. Iran memainkan peran kunci pada dialog perdamaian untuk Suriah, akan tetapi para pejabat Gedung Putih termasuk Tom Shannon, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, berusaha mencegah undangan untuk Iran dengan mengemukakan pengaruh Rusia di medan perang dan juga kehadiran militer Iran di Suriah.
Kekuatan-kekuatan intervensif yang menilai munculnya pemerintahan berpolitik independen di kawasan akan merugikan mereka; menggunakan berbagai macam trik guna menghalangi pendekatan negara-negara regional dengan Iran serta berupaya menyudutkan peran Iran dalam penyelesaian krisis regional, dengan menggulirkan proyek Iranphobia.
Amerika Serikat selama 38 tahun terakhir, bersandarkan pada sebuah teori perang; menggulirkan boikot ekonomi dan isolasi Iran di tingkat global, dengan membantu rezim-rezim boneka di kawasan; berharap dapat menaklukkan bangsa Iran. Akan tetapi pengalaman membuktikan bahwa langkah-langkah seperti itu tidak mampu mengubah pendapat Iran terhadap mereka. Republik Islam Iran, selama bertahun-tahun menunjukkan perlawanan dan kehormatannya bukan hanya di hadapan Barat dan Timur, melainkan juga kepada negara-negara regional untuk menjaga keteguhan, independensi dan pengandalan kemampuan dalam negeri. Dan bahwa satu-satunya cara menghadapi propaganda serta menyelesaikan berbagai krisis regional adalah meningkatkan kerjasama sesuai kepentingan kolektif. Fakta ini yang tidak dapat diterima sekutu regional Amerika Serikat termasuk Arab Saudi.
Akan ada banyak tantangan dan hambatan di jalan itu. Para pejabat AS menuding Iran mencampuri urusan negara regional dan klaim tersebut diulang oleh negara-negara seperti Arab Saudi, yang mengobarkan perang destruktif di Yaman. Negara-negara tersebut menilai kehadiran Iran pada perundingan damai di kawasan termasuk terkait krisis Suriah, sama artinya dengan pengakuan peran Iran sebagai sebuah kekuatan besar di kawasan. Akan tetapi, Amerika Serikat tidak pernah dapat mengingkari bahwa kehadiran Iran dalam berbagai isu regional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fakta regional.