Fitnah Besar Arab Saudi di Irak dan Yaman
Strategi Arab Saudi di Irak didasarkan pada penguatan posisi Riyadh di wilayah Timur Tengah, di mana mereka ingin menciptakan sebuah peta baru di kawasan. Pemerintah Riyadh dengan menyebarkan pengaruhnya di Irak, bermaksud mengirim pesan ke Iran bahwa Arab Saudi akan memperluas pengaruhnya di Irak.
Saudi mengklaim kepemimpinan di dunia Islam, dan berusaha untuk menjadi kekuatan regional, mengingat berbagai komponen kekuatan seperti luas wilayah, letak geografis, sumber daya alam, pendapatan minyak yang tinggi, dan keberadaan kota-kota suci di Mekah dan Madinah. Hal ini juga diperkuat oleh penekanan Saudi pada pemikiran Salafi-Wahabi sebagai ideologi politik mereka untuk menyebarkan pengaruh di Timur Tengah.
Pada dasarnya, pemikiran seperti ini membahayakan Timur Tengah dan dunia akibat brutalitas para teroris Takfiri, yang berpaham Salafi-Wahabi. Ideologi mereka juga menentang simbol-simbol Islam dan mendorong penghancuran situs-situs suci di Suriah dan Irak. Aksi ini mengikuti kebijakan penghancuran situs-situs umat Islam secara bertahap di Arab Saudi sendiri.
Para penguasa Saudi berusaha mendekati Irak untuk menghadapi dilema besar yang melanda mereka, termasuk kekalahan di Yaman. Kegagalan dan kekalahan ini memiliki konsekuensi pada tingkat regional dan internasional bagi Riyadh. Peperangan, intervensi, dan agitasi mereka melalui dukungan kepada teroris Takfiri, telah membuat Saudi semakin terkucil di arena internasional dan menurunkan posisi mereka di Timur Tengah. Saat ini, Saudi tidak punya banyak pengaruh di komunitasnya sendiri yaitu, Dewan Kerjasama Teluk Persia dan bahkan Liga Arab.
Perselisihan dan perkubuan saat ini di Dewan Kerjasama Teluk Persia mengkonfirmasi fakta tersebut. Kondisi seperti ini mendorong Saudi untuk memperbaiki hubungannya dengan beberapa negara Arab. Saudi bahkan ingin membuka kembali perlintasan perbatasannya dengan Irak yang ditutup selama 27 tahun terakhir. Pada Februari lalu, Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir juga melakukan kunjungan ke Baghdad.

Namun, bukti menunjukkan bahwa Irak terus menjadi sasaran diplomasi dolar Al Saud. Sebelum ini, Kedutaan Arab Saudi di Baghdad juga memainkan peran destruktif di Irak dan pada akhirnya, Thamer al-Sabhan, duta besar Saudi untuk Baghdad, diusir dari Irak karena campur tangan dalam urusan internal negara tersebut. Dia berulang kali mengeluarkan pernyataan anti-pasukan relawan Irak, terutama terkait operasi pembebasan kota Fallujah dari pendudukan teroris Daesh. Dokumen rahasia juga mengungkap tentang hubungan Thamer al-Sabhan dengan kelompok teroris Daesh di Irak.
Saudi menyaksikan kebijakannya di Timur Tengah, terutama di Irak telah gagal, dan dengan berbagai trik berusaha untuk menutupi kekalahan tersebut dan memajukan kebijakan destruktifnya di negara itu pasca Daesh. Dalam situasi seperti ini, Saudi telah melancarkan gerilya ke berbagai daerah di Irak untuk memicu konflik sektarian dan fitnah di antara berbagai etnis.
Hubungan mencurigakan dengan pihak berwenang di wilayah Kurdistan Irak, upaya untuk membuka konsulat di beberapa daerah, termasuk kota Najaf, dan penjajakan dengan beberapa organisasi di Irak, merupakan bagian dari manuver liar Arab Saudi untuk memajukan konspirasinya di Negeri Kisah 1001 Malam ini.
Di sisi lain, Arab Saudi menyadari bahwa dengan adanya pasukan Hashd al-Shaabi, maka era teroris Takfiri termasuk Daesh yang didukung oleh mereka, telah berakhir di Irak. Dengan demikian, dalam babak baru intervensi Saudi di Irak, para pejabat Riyadh menyebarkan fitnah baru dengan tujuan membubarkan Hashd al-Shaabi.

Jadi, rezim Saudi mengandalkan Irak untuk melepaskan dirinya dari pengucilan psikologis di kawasan. Namun, mereka juga tidak mengadopsi posisi netral dalam hal pemisahan wilayah Kurdistan dari Irak. Koran al-Akhbar dalam satu laporan yang ditulis oleh Ali Murad pada 27 September 2017, menyebutkan bahwa banyak negara mengumumkan penentangannya terhadap pemisahan diri Kurdistan Irak, namun pengumuman ini tidak tulus, tidak jujur, dan punya tujuan tertentu.
Sebagai contoh, lanjutnya, Arab Saudi mengumumkan penentangannya hanya beberapa saat sebelum referendum digelar, tapi sinyal tentang persetujuan dan dukungannya untuk pemisahan wilayah Kurdistan tampak jelas, karena laporan media-media Saudi mengindikasikan bahwa rezim Saudi mendukung pembentukan "Kurdistan Raya." Saudi berkepentingan dalam pemisahan Kurdistan Irak, di mana kepentingan ini melampaui kebijakan AS secara umum di kawasan, termasuk jaringan pipa minyak.
Irak yang kaya minyak tampaknya telah berubah menjadi musuh Arab Saudi, karena ia bersaing dengan Saudi sebagai eksportir minyak terbesar ke negara-negara Asia dan Eropa. Pada April 2017, Irak menggantikan Saudi sebagai pemasok minyak terbesar di India. Ekspor minyak Irak ke negara-negara Uni Eropa telah meningkat, namun ekspor minyak Saudi ke Eropa secara bertahap menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Riyadh baru saja mengembalikan misi diplomatiknya ke Baghdad dan berusaha untuk mengakhiri hubungan dingin dengan tetangganya di utara itu. Oleh karena itu, fase "perang keras" telah berubah menjadi fase "perang lunak." Semua indikasi menunjukkan bahwa para penguasa Saudi terus-menerus berbicara tentang perlunya mengembalikan Irak ke komunitas Arab dan mendorong mereka untuk memusuhi Iran.
Pada 5 Juni 2015, Pensiunan Jenderal Arab Saudi, Anwar Eshki bertemu dengan Dore Gold, Dirjen Kementerian Luar Negeri Israel di Washington dan mengumumkan sebuah skenario yang disebut "Rencana Aksi Bersama Saudi-Israel." Rencana ini mencakup tujuh pasal termasuk upaya untuk membentuk Kurdistan Raya dengan cara damai. Sebab, langkah ini akan mengurangi pengaruh Iran, Turki dan Irak serta membuat mereka kehilangan sepertiga dari wilayahnya untuk pembentukan Kurdistan Raya.
Tidak diragukan lagi, dukungan Riyadh untuk pemisahan wilayah Kurdistan dari Irak bukanlah keputusan Pangeran Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Arab Saudi. Karena rezim Saudi hanya menjalankan perintah AS mengenai isu-isu di kawasan ini, terutama masalah Irak dan Suriah. Selain itu, Saudi sedang mendekati rezim Zionis Israel dan menyelaraskan kebijakannya dalam berbagai isu, terutama isu pemisahan Kurdistan Irak. Sebab, Israel dengan lantang mendukung pemisahan wilayah Kurdistan.
Mengingat bahwa Irak sangat penting bagi AS dan Israel, dan di sisi lain, Irak memiliki kekayaan dan posisi geostrategis yang luar biasa, maka Arab Saudi tidak akan sendirian dalam bergerilya di Irak.
Dalam masalah Yaman, negara ini telah menjadi medan pertempuran pertama bagi Salman bin Abdul Aziz sejak dia berkuasa. Namun, Saudi dan sekutunya tidak mencapai tujuan mereka selama dua tahun konflik dan hanya menghancurkan rumah-rumah penduduk serta membantai warga sipil. Aksi mereka telah menyebabkan wabah kolera dan pesimisme orang-orang Yaman dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.

Menurut sebuah studi baru di Universitas Harvard, Arab Saudi menghabiskan 200 juta dolar per hari untuk perang Yaman; biaya yang menyebabkan krisis finansial di Arab Saudi. Selama enam bulan terakhir, utang Arab Saudi naik menjadi 91 miliar dolar. Selain itu, dalam kuartal pertama tahun 2017, defisit perdagangan Saudi mencapai 52 miliar dolar dan defisit anggarannya mencapai 26 miliar dolar. Padahal, negara itu adalah eksportir minyak terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di dunia Arab.
Penurunan harga minyak mulai tahun 2014 di satu sisi dan kenaikan biaya perang di Yaman dari sisi lain, telah menyebabkan pendapatan keuangan Arab Saudi merosot tajam. Selama perang, rakyat Yaman mampu menciptakan kerugian ekonomi dan politik yang besar bagi Saudi dan sekutunya, di mana Putra Mahkota Arab Saudi – demi menghentikan perang di Yaman – meminta Irak untuk menjadi mediator antara Saudi dan Ansarullah Yaman dan Republik Islam Iran.
Arab Saudi tampaknya telah menyusun rencana untuk menyebarkan pengaruhnya di Irak, setelah mengobarkan perang di Yaman dan menjalankan kebijakan represif di dalam negeri. Pada dasarnya, para penguasa Saudi masih belum lepas dari satu fitnah, tapi sudah menciptakan intrik baru di kawasan. Jadi, Saudi – sesuai dengan skenario AS – akan merangkul Israel untuk menghadapi kubu perlawanan dan pendukungnya di Timur Tengah.