Tantangan Keamanan Asia Barat
Penyelenggaraan konferensi keamanan Asia Barat kedua yang berlangsung di Tehran hari Senin (8/1) yang dihadiri para pejabat politik dan pakar di bidangnya, memberikan kesempatan untuk membahas tantangan keamanan kawasan Asia barat.
Asia Barat selama berabad-abad menjadi arena perebutan kekuasaan kepentingan global. Bahkan, kemunculan negara-negara di kawasan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran adidaya global ketika itu. Kebanyakan negara kawasan disusun berdasarkan garis batas yang ditentukan oleh imperalis, hingga muncul sebuah negara multietnis. Dengan kata lain, Asia barat merupakan salah satu titik utama krisis di dunia, dan krisis baru memiliki akar selama era imperialisme.
Berkaca pada peristiwa beberapa abad lalu menunjukkan bahwa negara-negara yang yang terletak di kawasan Asia Barat berada dalam pengaruh arus imperialisme. Dengan politik divide et imperanya, kekuatan imperialisme memiliki sarana untuk aksi intervensi demi kepentingannya.
Krisis yang terjadi bertubi-tubi di kawasan Asia Barat dan konflik regional di berbagai bidang menjadi jejak yang ditinggalkan dari intervensi tersebut. Bagaimana mereka menyulut munculnya krisis, dan mengobarkan konflik keamanan di kawasan. Rangkaian intervensi ini menyebabkan keamanan regional terus-menerus terancam.
Di sisi lain, terbentuknya rezim Zionis Israel pasca jatuhnya Ottoman, dan perang dunia kedua yang mengubah perimbangan kekuatan dunia, menjadi masalah paling utama titik krisis.
Kini, beberapa tahun menjelang akhir dekade kedua abad 21, Asia barat masih dilanda krisis dalam bentuk yang lebih rumit dan kompleks. Agresi militer AS ke Afghanistan, kemudian dilanjutkan dengan menyerang Irak di tahun 2003, bukan hanya tidak berhasil mengembalikan stabilitas keamanan regional, bahkan menyeret kawasan ke jurang perang berkepanjangan yang tidak jelas kapan akan berakhir.
Krisis merembet ke negara-negara lain yang sebelumnya relatif stabil di kawasan asia barat. Para penguasa sebagian negara kawasan ini membelanjakan pendapatan hasil penjualan minyaknya untuk membeli senjata dan alutsista karena merasa keamanannya terancam.
Kondisi tersebut memicu perlombaan pembeliaan senjata dari negara-negara kawasan. Lagi-lagi, pihak adidaya global yang menyulut konflik sekaligus produsen senjata meraup keuntungan besar dari situasi konflik ini.
Kontrak pembeliaan senjata senilai ratusan miliar dolar ditandatangani oleh para penguasa negara-negara kawasan dan negara adidaya. Salah satu contohnya adalah penjualan senjata dan alutsista senilai lebih dari seratus miliar dolar yang ditandatangani Trump Januari tahun lalu dalam kunjungannya ke Riyadh.
Sejatinya, berlanjutnya krisis dan eskalasi perang di kawasan Asia Barat lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan korporasi industri senjata di Barat melebihi setiap masalah internal yang melibatkan institusi maupun personalnya. Sejarah Asia barat menunjukkan bahwa kemunculan perang yang relatif berkesinambungan menjadi pasar potensial bagi penjualan senjata dan alutsista AS.
Dalam kondisi baru, Donald Trump menggunakan Iranophobia untuk mengendalikan Asia Barat dan mereguk keuntungan besar dari sana. Lebih khusus masalah ini tampak dalam krisis Suriah, ketika negara-negara Arab di kawasan semakin merasa membutuhkan AS dan persenjataannya. Menjaga poros krisis dan berlanjutnya instabilitas di kawasan asia barat menyeret negara kawasan ke arah militerisme. Ini menjadi atmostif yang sangat kondusif bagi pasar industri senjata barat.
Di sisi lain, perekonomian global sangat tergantung terhadap pasokan minyak dari kawasan Teluk Persia. Masalah ini menyebabkan Asia Barat menjadi kawasan yang luar biasa strategis. Oleh karena itu, tujuan strategis AS adalah menguasai sumber minyak negara-negara kawasan. Sebab, konflik yang terjadi antarsesama negara kawasan akan membuka AS melancarkan intervensi dalam berbagai bentuk.
Perang antara rezim Zionis dan negara-negara Arab di tahun 1948, 1956, 1967, 1973, dan juga intervensi Israel di Lebanon pada dekade 1980 menunjukkan penciptaan krisis dan konflik tidak langsung negara-negara kawasan menjadi sarana bagi Israel dan AS untuk mewujudkan tujuannya.
Saat ini mereka melancarkan plot penyebaran terorisme di kawasan demi mewujudkan tujuannya. Kini setelah berlalu hampir delapan dekade, AS dan Israel berupaya menyembunyikan wajahnya di balik topeng krisis regional yang mereka sulut dengan tujuan supaya masalah Palestina dilupakan dan menjadi sebuah masalah yang tidak penting.
Pasca normalisasi hubungan antara negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania dengan Israel, kini satu persatu negara Arab lain mulai mengulurkan tangan dengan Tel Aviv, di antaranya Arab Saudi. Upaya tersebut selama setahun terakhir dilakukan secara terbuka dan dibenarkan oleh pejabat tinggi Tel Aviv dan Riyadh.
Pengakuan resmi Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel yang disampaikan Presiden AS, Donald Trump belum lama ini menunjukkan manuver baru Washington untuk mengarahkan opini publik dunia supaya mengikuti jejaknya. Tapi ternyata sebagaian besar negara dunia menentangnya. Bahkan PBB mengeluarkan resolusi menolak mengakui pengumuman AS tersebut.
Sidang Majelis Umum PBB hari Kamis (21/12) tidak mengakui Baitul Maqdis sebagai ibu kota rezim Zionis. Keputusan tersebut diambil dengan 128 suara mendukung, 9 menentang dan 35 abstain.
Rezim Zionis selama beberapa tahun terakhir menempuh berbagai cara mulai dari terorisme hingga menyulut krisis untuk menjaga kondisi kawasan demi kepentingannya. Berlanjutnya eksistensi rezim ilegal ini tetap membutuhkan krisis yang berkesinambungan.
Dengan mempertimbangkan realitas tersebut; menteri pertahanan Iran dalam konferensi keamanan Tehran kedua berkata, "Masalah utama kawasan, terorisme dan friksi internal yang berakar dari imperialisme, dan intervensi adidaya transregional, dan agresor. Contoh paling nyata dari penjajahan mereka selama tujuh abad adalah Palestina."
Brigadir Jenderal Amir Khatami menegaskan, Transformasi Timur Tengah ditentukan oleh keberadaan dan intervensi asing serta kehadiran pasukan transregional. Oleh karena itu, kelalaian dan ketertipuan sebagian negara kawasan juga memberikan pengaruh.
Menteri pertahanan Iran mengingatkan, Kawasan Asia barat berada dalam situasi menyibak identitas strategisnya dan bangsa-bangsa kawasan semakin menyadari identitasnya masing-masing, dan berbicara mengenai masa depannya sendiri.