Indikator Pemilu Parlemen ke-4 Irak
Pemilu yang digelar 12 Mei 2018 di Irak tercatat sebagai pemilu parlemen keempat di negara ini pasca tumbangnya rezim Baath tahun 2003 dan pemilu ke 20 di sejarah kontemporer Irak. Sementara itu, untuk pemilu di luar negeri digelar sejak 10 Mei di 21 negara dunia dan berlangsung selama dua hari. Tercatat sebanyak 868.993 warga Irak di luar negeri telah mendaftarkan diri untuk menyalurkan suara mereka.
Berbeda dengan sejumlah negara seperti Republik Islam Iran di mana para pemilih bebas menentukan daerah pemilihan (dapil), di Irak warga telah ditentukan dapilnya dan setiap pemilih hanya dapat menyalurkan suaranya di daerah yang telah ditentukan bagi dirinya sendiri.
Parlemen Iran saat ini terdiri dari 328 kursi dan di parlemen mendatang akan ditambah satu kursi. Satu kursi tersebut akan dialokasikan bagi Kurdi Feyli dan dengan demikian kursi kubu minoritas akan menjadi sembilan kursi, sementara total kursi parlemen bertambah menjadi 329 kursi. Sementara perempuan seperti periode sebelumnya akan memiliki 25 persen kursi di parlemen.

Pemilu parlemen ke-4 Irak selain pemilu pertama pasca Daesh serta pemilu perdama setelah referendum Kurdistan, juga memiliki indikator penting lainnya. Salah satu indikator terpenting pemilu parlemen 12 Mei di Irak adalah persaingan antara koalisi dan kandidat yang telah duduk selama lebih dari tiga periode. Sementara itu, jumlah pemilih di pemilu parlemen 12 Mei 2018 semakin bertambah bila dibanding dengan pemilu sebelumnya di tahun 2014.
Koran al-Quds al-Arabi 4 Mei 2018 di laporannya menyebutkan, "Berdasarkan data yang dirilis pemerintah, sekitar 7367 kandidat dari 188 partai dan 27 koalisi di 18 provinsi Irak bersaing untuk memperbutkan 329 kursi parlemen. Sementara itu, jumlah mereka yang berhak memilih tercatat lebih dari 24 juta orang."
Mengingat tingkat persaingan ini, komisi tinggi pemilu Irak mengumumkan, sekitar 25 organisasi internasional dan Irak telah mendaftarkan diri untuk mengawasi jalannya pemilu. Dalam hal ini, Mazen Abdul Qadir, ketua komisi pemilu daerah pemilihan (dapil) Kurdistan mengatakan, lebih dari 250 ribu pengamat pemilu Irak akan mengawasi jalannya pemilu parlemen tahun ini. Para pengamat ini sebagai anggota komisi pemilu akan ditempatkan di 54 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh provinsi Irak.
Abdul Aziz Hassan, pengamat keamanan dan pertahanan di parlemen Irak menyebut fenomena teror terhadap kandidat selama masa kampanye pemilu menunjukkan puncak persaingan tak sehat sejumlah kubu politik dan menandaskan, sejumlah elit politk terlibat dalam upaya teror beberapa waktu lalu dengan harapan mampu menyingkirkan rival mereka.
Indikator penting lain dari pemilu parlemen ke-4 Irak adalah keterlibatan sejumlah negara Arab khususnya Arab Saudi di pemilu ini. Berbagai negara Arab memboikot pemilu parlemen pertama Irak di tahun 2005 dan parlemen ini di tahun 2009 menyetujui penarikan pasukan Amerika dari wilayah Irak.
Di pemilu 2018 Irak, negara-negara Arab pimpinan Arab Saudi memainkan peran penting. Arab Saudi sejak tahun lalu berupaya memulihkan hubungannya dengan Irak. Eskalasi pertemuan diplomatik antara petinggi Saudi dan Irak mengindikasikan pulihnya hubungan kedua negara. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir akhir Februari 2017 berkunjung ke Baghdad.
Sementara Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi awal Juni dan kemudian di bulan Oktober 2017 juga dilaporkan melawat Riyadh. Adapun menteri dalam negeri Irak dilaporkan berkunjung ke Riyadh pada Juli 2017. Moqtada Sadr, ketua kelompok Sadr Irak atas undangan Pangeran Mohammad bin Salman berkunjung ke Riyadh pada Juli 2017 dan bertemu dengan putra mahkota Arab Saudi.
Selain kunjungan timbal balik ini, penerbangan langsung antara kedua negara juga dibuka kembali dan jalur penyeberangan Arab Saudi dengan Irak dibuka pada Agustus 2017. Arab Saudi juga dilaporkan berencana membuka konsulat di Najaf dan Basrah.
Langkah Arab Saudi ini dimaksudkan untuk mempengaruhi hasil pemilu parlemen ke-4 Irak. Di pemilu kali ini, Arab Saudi berupaya menarik kelompok Syiah yang memprotes kondisi yang ada saat ini di Irak seperti gerakan Sadr dan Syiah sekular ke arah mereka. Dalam hal ini, Arab Saudi di pemilu parlemen Irak menerapkan kebijakan menciptakan friksi antar kubu Syiah dengan dibarengi dukungan terhadap kelompok politk yang berafiliasi dengan Ahlul Sunnah.
Sejatinya Arab Saudi di pemilu parlemen Irak berusaha mencegah kubu yang dekat dengan al-Hashd al-Shaabi atau koalisi negara hukum pimpinan Nouri al-Maliki tidak meraih suara mayoritas di parlemen. Arab Saudi dalam hal ini memiliki kesamaan pandangan dengan Amerika Serikat, karena tujuan utama Washington adalah mencegah al-Hashd al-Shaabi berubah menjadi kubu politik yang kuat di parlemen Irak.

Salah satu indikator penting pemilu parlemen keempat Irak adalah eskalasi kekhawatiran keamanan. Meski pemerintah Irak meningkatkan keamanan demi menjaga jalannya pemilu, 10 kandidat dilaporkan tewas selama masa kampanye dan sejumlah kandidat lainnya menjadi target teror. Hashim al-Hashimi, pengamat milisi bersenjata Irak pada 4 Mei 2018 terkait hal ini mengatakan, atmosfer pemilu di Irak tidak dapat disebut atmosfer hijau atau aman, tapi sebuah atmosfer yang mengkhawatirkan, karena keamanan sampai saat ini belum diterapkan secara penuh. Beragam upaya teror terhadap para kandidat selama masa kampanye terjadi ketika kelompok takfiri dan Daesh mengaku bertanggung jawab atas upaya teror tersebut.
Salah satu karakteristik terpenting pemilu parlemen Irak tahun 2018 adalah pemilu ini digelar secara elektronik dan tidak manual. Mereka yang berhak memilih hanya dapat menyalurkan suaranya ketika memiliki kartu identitas elektronik. Hal ini membuat sejumlah kandidat mengaku khawatir akan maraknya potensi kecurangan, karena sejumlah wilayah seperti Provinsi al-Anbar ditemukan maraknya aksi jual beli suara.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa sejumlah kubu dalam negeri Irak dan sejumlah negara asing termasuk Arab Saudi yang menyadari kesulitan ekonomi warga, mengalokasikan dana besar-besaran kepada kubu yang mereka dukung dan membeli kartu elektronik warga dengan harga 125-200 dolar dan warga tersebut saat pemilu diwajibkan memilih kubu atau list yang didukung oleh kelompok ini atau Riyadh.
Patut dicatat bahwa parlemen di Irak memiliki posisi penting, karena sistem di negara ini adalah parlementer dan anggota parlemen Irak memainkan peran signifikan dalam memilih presiden dan perdana menteri.
Pemilu ini merupakan upaya untuk menyembuhkan perpecahan di negara itu dan dapat menggeser keseimbangan kekuasaan regional. Perdana Menteri incumbent Haider al-Abadi akan menghadapi dua penantang, yaitu mantan Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan Menteri Transportasi Hadi al-Ameri. Namun para analis mengatakan Haider al-Abadi memiliki peluang lebih besar dibandingkan dua pesaingnya.
Harapan juga dirasakan ekspatriat Irak di Turki. Warga Irak melakukan pemungutan suara di tiga tempat pemungutan suara di Ankara. Pemungutan suara di luar negeri dilakukan dua hari sebelum pemilu resmi diselenggarakan di Irak. Anggota Komisi Pemilihan Tinggi Independen (IHEC), Hazem al-Radini mengatakan kepada Anadolu Agency, sekitar 900.000 pemilih Irak di luar negeri memiliki hak untuk memilih pada hari Kamis dan Jumat.